Sampai hari ini belum juga ada keputusan baru dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengenai tarif baru pungutan film impor.
Bioskop kelihatan sepi penonton, sementara iklan film di koran-koran pun menyusut dari satu halaman menjadi setengah halaman. Menurut sumber yang dapat dipercaya di bioskop 21 mereka terpaksa menutup hall besar berkapasitas 500 kursi seperti di Mega Bekasi dan mengurangi jam pemutaran karena kekurangan penonton. Pemutaran film tengah malam (midnight) yang biasanya ditunggu-tunggu penggemar film pun sudah dihentikan sementara.
Sejak persoalan tarif film impor menjadi pembicaraan orang ramai bulan Februari lalu, para importir film menunggu keputusan baru. Dalam pemantauan FI, persediaan film-film impor andalan yang masih tersedia di Indonesia hanya akan mencukupi kebutuhan pemutaran hingga akhir Mei 2011. Benar saja, menjelang akhir April tanda-tanda kelesuan sudah mulai kelihatan.
Adakah Musim Panen Tahun Ini?
Setiap tahun, musim panen film impor adalah pada sekitar bulan Juni-Agustus, saat film-film impor blockbuster musim panas diedarkan. Biasanya pendapatan dari film-film inilah yang akan menghidupi bioskop sepanjang tahun, menutupi pendapatan dari film-film lainnya yang kurang laku.
Penurunan jumlah film impor baru yang beredar di bioskop memang memberi sedikit keleluasaan bagi film lokal untuk beredar lebih lama. Film ”?” yang mulai beredar pada 7 April lalu, sampai hari ini masih berkeliling ke bioskop-bioskop di Jakarta, padahal sejak 2008 jarang sekali ada film lokal yang bertahan di Jakarta selama lebih dari dua minggu. Meskipun bertahan cukup lama, jumlah penonton film ini baru menuju angka 500 ribu. Barangkali kita bioskop masih bisa berharap peningkatan jumlah penonton dari film-film Indonesia lain yang akan diedarkan pada masa liburan sekolah.
Hingga saat ini ketiga importir film yang dianggap menunggak denda pajak masih menjalani proses di Pengadilan Pajak. Ketiga perusahaan yang seatap dengan perusahaan jaringan bioskop 21 ini telah membayar pokok tagihan pajak mereka, akan tetapi masih ingin menegosiasikan jumlah dendanya. Mantan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Thomas Sugijata dikutip Kontan menyatakan pada 25 April lalu bahwa ketiga importir ini belum dibolehkan melakukan kegiatan impor sebelum kasusnya selesai.
Selama ini tiga perusahaan importir film menguasai mayoritas jumlah film. Data tahun 2010 menunjukkan bahwa Camila Internusa Film, Satrya Perkasa Esthetika Film, dan Amero Mitra Film memasukkan 119 dari 180 film impor yang lolos sensor (lihat ”Saatnya Membenahi Urusan Film Impor Secara Menyeluruh”). Penghentian kegiatan impor ketiga perusahaan yang dominan ini sangat mengacaukan pasokan film di bioskop saat ini.
Sementara ini pemasok film impor ke bioskop yang tetap berjalan adalah PT Parkit Film, PT Teguh Bakti Mandiri, PT Jive Entertainment. Sampai tanggal 6 Mei lalu baru ada 85 film impor dari Amerika non-studio besar, India, Hongkong dan Thailand yang lolos sensor untuk penayangan di bioskop. Pemilik bioskop Blitz Ananda Siregar menyatakan, ”Kami berharap para importir film asing segera menyelesaikan kewajiban pajak kepada negara agar situasi tidak berlarut-larut.” Meskipun begitu ia optimis akan ada penonton yang berminat pada karya-karya Asia, ”Film-film dari Hong Kong, Thailand dan India sedang bagus-bagusnya,” kata Ananda.
Beda Pendapat antara Kemenbudpar dan Kemenkeu?
Pada awal April Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik memberikan pernyataan bahwa Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri Keuangan Agus Martowardojo telah menyepakati penerapan pajak tunggal (single tax) untuk film impor (Kontan, 6 April 2011). Kelihatannya lobi Menteri Jero Wacik ke Kementerian Keuangan kurang manjur. Dua minggu kemudian, media yang sama mengutip kembali pernyataan Menteri Jero Wacik bahwa aturan yang baru belum juga selesai disiapkan oleh Kementerian Keuangan.
Kalau keadaan ini berlangsung terus maka tahun ini akan menjadi tahun krisis bioskop di Indonesia. Meskipun penurunan jumlah film impor beredar sedikit melapangkan jalan untuk film lokal, tapi jelas bahwa bioskop tidak akan bisa hidup dari film lokal saja. Janji Menteri Jero Wacik untuk meningkatkan produksi film nasional sampai 100 judul per tahun tidak akan mengatasi persoalan krisis bioskop ini. Kemenbudpar dan industri bioskop Indonesia harus mencari jalan menemukan kesetimbangan baru antara film impor dan lokal, sambil memperbaiki situasi monopoli peredaran yang masih menghambat perkembangan bioskop di Indonesia.