Lima tahun setelah diamanatkan dalam Undang-undang nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman, Badan Perfilman Indonesia (BPI) akhirnya resmi berdiri. Lewat pemungutan suara pada hari terakhir Musyawarah Besar Pembentukan Badan Perfilman Indonesia, 15-17 Januari 2014 di Hotel Balairung Jakarta, ditetapkan sembilan anggota pengurus BPI untuk periode kerja 2014-2016.
Setelah panitia pelaksana mubes menghitung suara yang diberikan 74 perwakilan dari 40 organisasi perfilman di Indonesia, terpilihlah Saifin Nuha alias Alex Komang, Gatot Brajamusti, Edwin Nazir, Kemala Atmodjo, Embi C Noer, Robby Ertanto Soediskam, Anggi Frisca, Rully Sofyan, dan Gerzon R Ayawaila. Setelah para pengurus yang baru diangkat mengadakan rapat internal, juga pada hari dan tempat yang sama, Alex Komang didaulat sebagai ketua BPI.
Mengacu pada pasal 67 sampai 70 UU Perfilman, Badan Perfilman Indonesia merupakan wadah bagi organisasi dan asosiasi profesi perfilman di seantero nusantara, juga sebagai wahana untuk memfasilitasi peran serta masyarakat dalam memajukan perfilman nasional. Pendirian BPI sendiri adalah hasil dari suatu proses bertahap. Sejak 2010, studi tentang BPI dan studi kasus perihal lembaga-lembaga sejenis di negara lain banyak dilakukan baik secara perorangan, kelompok, maupun forum-forum yang difasilitasi pemerintah. Karena satu dan lain hal, usaha untuk mengolah segala hasil studi itu dalam satu forum terpadu baru terjadi empat tahun kemudian, yakni pada focus group discussion selama 21-27 November 2013 di Jakarta.
Ada 51 pemangku kepentingan perfilman nasional yang diundang untuk menikuti focus group discussion, beragam dari asosiasi profesi, insititusi pendidikan, arsip film, komunitas film, hingga penyelenggara festival. Pada penghujung rangkaian diskusi itu, diputuskan bahwa rumusan tentang status hukum, AD/ART, model pembiayaan, serta rencana kerja BPI untuk kembali dibahas dan dietapkan dalam Musyawarah Besar Pembentukan Badan Perfilman Indonesia.
Satu peristiwa di tengah rangkaian ini adalah pendirian Indonesian Motion Picture Association (IMPAS) oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pada 2 September 2013 di Jakarta, Kemenparekraf menyelenggarakan acara peresmian sembilan asosiasi perfilman, yakni Indonesian Film Directors Club, Asosiasi Produser Film Indonesia, Sinematografer Indonesia, Rumah Aktor Indonesia, Indonesian Production Designers, Indonesian Motion Picture and Audio Society, serta Asosiasi Casting Indonesia. Untuk mewadahi kolaborasi antara asosiasi-asosiasi profesi ini, Kemenparekraf mendirikan Indonesian Motion Picture Association atau yang kerap disingkat IMPAS. Perihal ini, Mari Elka Pangestu selaku perwakilan Kemenparekraf waktu itu bertutur, “Pendirian IMPAS adalah langkah penting menuju Badan Perfilman Indonesia, sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam undang-undang.”
Mari Elka Pangestu juga hadir saat Musyawarah Besar Pembentukan BPI. Kepada para peserta mubes, ia berkata, “Saya akui potensi kreatif orang film kita sangat dashyat. Kemampuan mereka sebenarnya tidak kalah dengan insan film Amerika dan Korea.” Pernyataan sang menteri membuka rangkaian kegiatan selama tiga hari mubes. Satu wacana yang terus-menerus ditekankan selama mubes adalah pentingnya untuk menjaga konsistensi dengan konsep BPI yang digariskan dalam UU Perfilman, meski tak sedikit pertanyaan yang diajukan terhadap undang-undang yang sama selama mubes. Saran yang diajukan para peserta mubes adalah agar BPI yang baru saja terbentuk untuk mengagendakan tinjauan hukum atau judicial review terhadap UU Perfilman, untuk memfasilitasi terbentuknya regulasi baru yang lebih sesuai dengan perfilman nasional pasca kehadiran BPI.
Apabila mengacu pada UU Perfilman, tugas BPI meliputi delapan hal, yakni 1) menyelenggarakan festival film di luar negeri, 2) mengikuti festival film di luar negeri, 3) menyelenggarakan pekan film di luar negeri, 4) mempromosikan Indonesia sebagai lokasi pembuatan film asing, 5) memberikan masukan untuk kemajuan perfilman, 6) melakukan penelitian dan pengembangan perfilman, 7) memberikan penghargaan, dan 8) memfasilitasi pendanaan pembuatan film tertentu.
Dalam diskusi-diskusi yang terjadi selama mubes, tugas BPI di atas telah dielaborasi dan diperluas tafsirnya sebelum dituangkan ke AD/ART. Alasannya, supaya BPI yang terbentuk nantinya tidak hanya sekadar menjadi pelaksana proyek-proyek, namun secara strategis juga turut menetapkan parameter-parameter untuk mengukur tingkat kemajuan sebuah program. Dalam koridor tugas BPI yang diperluas, BPI diharapkan dapat menjadi think tank sekaligus pendorong tumbuh kembangnya setiap lini dalam ekosistem film Indonesia, yang meliputi bidang kreasi, teknologi, produksi, ekshibisi, distribusi, studi, dan apresiasi. Perihal pembiayaan, BPI akan bersandar pada tiga sumber, yakni donasi atau iuran yang disepakati kemudian, hibah atau bantuan dari lembaga donor yang tidak mengikat, serta hibah dari APDN dan/atau APBD berdasarkan usulan pengurus BPI.
Pasca pembentukan BPI, ada dua hal mendesak yang perlu segera dilakukan. Pertama, para pengurus BPI yang baru diangkat, perlu mengdakan pertemuan dengan pihak pemerintah untuk membicarakan kolaborasi antara keduanya pada hari-hari mendatang. Kabarnya, para anggota BPI dijadwalkan melakukan audiensi pada menteri minggu ini. Kedua, bagi para asosiasi perfilman yang diwadahi oleh IMPAS dan organisasi perfilman yang terkait dengan BPI, perlu segera menetapkan status hukum. Pasalnya, saat ini masih ada beberapa asosiasi profesi anggota IMPAS dan organisasi perfilman yang masih belum berbadan hukum.
Sembilan anggota BPI periode 2014-2016:
- Saifin Huda alias Alex Komang (perwakilan Rumah Aktor Indonesia) sebagai ketua
- Gatot Brajamusti (Persatuan Artis Film Indonesia)
- Edwin Nazir (Asosiasi Produser Film Indonesia)
- Kemala Atmodjo (Ikatan Alumni Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta)
- Embi C Noer (Kedai Film Nusantara)
- Robby Ertanto Soediskam (Penulis Indonesia untuk Layar Lebar)
- Anggi Frisca (Sinematografer Indonesia)
- Rully Sofyan (Asosiasi Industri Rekaman Video Indonesia)
- Gerzon R Ayawaila (Komunikatif)