Enam film dari Jakarta, Palu, Makassar, dan Surabaya mengisi acara tahunan Boemboe Forum, yang diselenggarakan oleh Boemboe bekerja sama dengan Klub Kajian Film IKJ dan Kineforum Dewan Kesenian Jakarta, Sabtu 9 Juli 2011 pukul 11.00–21.00 di Fakultas Film dan TV (FFTV) IKJ dan Kineforum TIM, Jakarta. Boemboe Forum adalah sebuah kegiatan presentasi, pemutaran, dan diskusi film-film pendek. Acara ini memasuki tahun ke-8.
Enam film tersebut adalah Dunia Sempit (Billy Christian, Jakarta), Mampus 2: Hilang (Jaka Wiradinata, Surabaya), Paotere (Andi Arfan Sabran, Makassar), Fullan (Eldiansyah Ancha Latief, Palu), Cuma 5 Ribu (Yusuf Radjamuda, Palu), dan Mamalia (Tumpal Tampubolon, Jakarta). “Film-film ini dipilih dari hasil yang kita dapat setahun ke belakang. Lihat film itu di mana, menemukan filmnya di mana, dapat kiriman dari mana. Namun, sebenarnya yang kita pilih orangnya, yang kita tahu dia aktif di komunitasnya. Yang kita harapkan, kedatangannya ke sini membuat dia dapat sesuatu, lalu disebarkan lagi ke lingkungannya.” ujar Lulu Ratna dari Boemboe.
Sesuai dengan konsep kegiatannya yang berupa forum, dan bukan festival, kegiatan ini bukan sekedar mempertemukan film-film pendek dari beberapa daerah di Indonesia dalam satu ruang-waktu, tetapi juga mempertemukan para pembuat film sekaligus dengan penontonnya. Lulu menegaskan, “Itu yang sebenarnya dicari teman-teman kan? Dia ketemu sama audiens, yang mengapresiasi, dan memberikan feedback, nggak cuma menonton saja. Jadi, forumnya tuh ‘hidup’.” Andi Arfan Sabran, salah satu sutradara film peserta, juga menganggap konsep forum ini menarik. “Sesama pembuat film pendek jadi sharing, yang di Palu bagaimana, yang di Jakarta bagaimana.”
Menariknya Boemboe Forum tahun ini juga karena adanya pembahasan langsung oleh Klub Kajian Film IKJ terhadap film-film yang diputar. Puput Kuspujiati, salah satu pembahas, menganggap bahwa film-film tahun ini lebih bervariasi, terutama dilihat dari asal daerah yang berpartisipasi. “Film pendek bukan hanya dari Jakarta saja. Kecenderungan lokalitasnya bervariasi. Latar belakang orang-orang Makassar pasti berbeda dengan orang Palu, berbeda lagi dengan di Surabaya. Masalah sosial yang muncul di setiap daerah juga berbeda.”
Puput juga menemukan bahwa empat film yang diputar berbicara mengenai kekerasan, baik secara fisik maupun nonfisik. “Bahwa kekerasan, dalam alam bawah sadar kita, selalu ada di masyarakat. Kekerasan di Jakarta, yang coba diutarakan oleh Billy (sutradara Dunia Sempit) misalnya, bersifat bullying. Tidak terlihat, tapi membuat orang lebih tertekan. Mungkin ini lebih kuat di Jakarta, berbeda dengan kota-kota lain. Terkadang kota membentuk karakter atau menciptakan masalah baru terhadap seseorang, baik secara fisik maupun nonfisik.” jelas Puput.
Acara yang berlangsung di kelas GA 2A FFTV IKJ dan Kineforum ini dihadiri sekitar 40-50 pengunjung. Sebagian besar mengikuti acara dari awal sampai akhir, sebagian lainnya hanya mengikuti satu atau dua sesi. Salah satu pengunjung, Naya Anindita dari Voice of Young Indonesian Filmmaker, mengemukakan pendapatnya, “Film-film yang diputar bagus banget, diskusinya juga hidup. Baik dari filmmaker, mahasiswa, maupun penonton lain, diskusinya terbuka banget. Untuk selanjutnya, mungkin ruangannya bisa lebih luas lagi, ya.”
Untuk rencana Boemboe Forum 2012, Lulu ingin mencoba sesuatu yang baru. Entah menyelenggarakan forum ini di luar kota atau mengundang tamu dari luar, atau hal-hal lain yang belum dicoba sebelumnya.
Boemboe sendiri masih akan terus berjuang menempatkan posisi film pendek di Indonesia sebagai sesuatu yang penting. “Kita menganggap pembuat film pendek itu sebagai generasi baru film Indonesia masa depan. Kalau di Eropa, biasanya ada pemutaran film pendek sebelum film panjang. Jadi, ada keinginan untuk ke arah sana juga. Kami mencoba mengangkat film pendek itu setingkatfilm panjang. Mereka enggak cuma sekedar film pendek, tetapi juga sama pentingnya. Kami juga mencoba menjembatani agar film-film pendek Indonesia ini bisa ke luar.” ujar Lulu.