Dalam dokumenter tidak hanya aktivisme yang utama, tetapi juga harus tetap estetis, demikian pernyataan Hafiz (Forum Lenteng) dalam diskusi dengan topik "Sejarah Dokumenter Indonesia Pasca Orde Baru". Diskusi ini merupakan bagian dari acara Festival Film Dokumenter (FFD) 2011. Pembicara lain dalam diskusi ini: Budi Irawanto (National University of Singapore) dan Katinka Van Heeren (Belanda). Diskusi yang berlangsung Kamis, 8 Desember pukul 10.00 di Ruang Seminar, Taman Budaya Yogyakarta, dipandu Hatib Abdul Kabir (Etnohistori) sebagai moderator.
Hafiz menjelaskan bahwa dokumenter di Indonesia mulai marak diproduksi sejak berdirinya TVRI. Pada masa Orde Baru, bentuk dokumenter lebih banyak berupa propaganda dan bersifat ortodoks, dalam artian sebagai upaya mempertahankan kekuasaan yang berlaku pada saat itu. Lalu, pasca reformasi, banyak dokumenter yang mencoba mengungkap apa yang ditutup-tutupi pada era Orde Baru. Dari bentuknya, cenderung lebih banyak yang seperti karya jurnalistik sehingga dokumenter jadi semakin jauh sebagai bagian sinema itu sendiri. Seusai presentasi, ia memutar film A Man. A Road. A River karya Marsellvs L. dari Brazil sebagai gambaran eksplorasi dan eksperimentasi dokumenter.
Presentasi Budi Irawanto lebih menyoroti soal keragaman dalam dokumenter pada Orde Baru dan pasca reformasi yang ternyata tidak banyak berbeda. Jika pada Orde Baru keberbedaan dan keragaman Indonesia digambarkan harmonis dan rukun lewat dokumenter, maka dokumenter pasca Orde Baru juga masih menggambarkan keragaman yang seolah-olah tidak ada potensi konflik di situ. "Identitas etnis masih dalam tahap rekognisi dan belum banyak dipersoalkan secara kritis," tulisnya. Ia juga merasa bahwa perlakuan kreatif terhadap dokumenter masih kurang sehingga memungkinkan terjebak hanya pada rangkaian dokumentasi. Baginya, dokumenter juga bisa sebagai edukasi imajinasi dan bukan sekedar pemaparan. Sedangkan Katinka berbagi cerita tentang pengalamannya menjadi juri dan mendapati bahwa banyak pembuat dokumenter yang terjebak pada pakem tertentu.
Selain diskusi tentang dokumenter pasca reformasi, pukul 14.00 dilanjutkan diskusi tentang "Praktik Dokumenter dalam Perkembangan Media" dengan Dian Herdiany (Kampung Halaman) dan Nicolaas Warouw (Antropologi UGM), dimoderatori Ferdi Thajib (Kunci-Cultural Studies). Salah satu yang menarik dari panel ini adalah pernyataan Dian Herdiany bahwa walaupun karya dokumenter semakin banyak dan beragam topiknya, tetapi cara melihat pembuatnya masih sama. Hal ini terkait dengan lokakarya yang belakangan cukup marak.
Pada hari yang sama, ada tiga pemutaran film kompetisi FFD tahun ini. Pemutaran film-film kompetisi film pendek bagian kedua yaitu Indonesiaku di Tepi Batas, No Place Like Home, dan Ten Days for Five Centuries. Lalu dilanjutkan pemutaran kompetisi film panjang Hidup untuk Mati pukul 19.00 dan berdiskusi dengan Tino Saroengallo (sutradara), serta pukul 20.30 berlangsung pemutaran film Walk Together, Rock Together yang juga dilanjutkan diskusi dengan sutradara Edmond Waworuntu.