Dalam rangkaian Festival Film Dokumenter (FFD) ke 10, topik "Membaca Kembali Film-film Kompetisi FFD (2002-2010)" mengawali program Seminar dan Diskusi Retrospektif FFD #10. Acara berlangsung di Ruang Seminar, Taman Budaya Yogyakarta, Selasa, 6 Desember 2011, mulai pukul 13.30 sampai 15.30 dengan pembicara para juri (baik yang pernah maupun masih menjuri) FFD: PM Laksono, Antariksa Id, dan Budi Irawanto, serta dimoderatori Franciscus Apriwan, Koordinator Festival.
Program Kompetisi FFD sudah diadakan dari perhelatan pertama kali, yakni tahun 2002. Dilihat dari jumlah pendaftar, setiap tahunnya terlihat perbedaan signifikan meski masih fluktuatif: bisa banyak, bisa juga sedikit, kata Budi Irawanto. Ia juga menambahkan, bahwa setiap tahunnya karya kategori pemula bertambah, meski pertambahannya lambat. Dilihat dari jumlah pendaftar seluruhnya, tahun 2002 ada 27 karya, 2003 ada 55 karya, 2004 ada 28 karya, 2005 ada 44 karya, 2006 ada 54 karya, 2007 ada 61 karya, 2008 ada 84 karya, 2009 ada 70 karya, dan 2010 ada 81 karya.
PM Laksono bercerita tentang bagaimana proses penjurian berlangsung. "Beberapa film membuat sakit kepala dan sulit sekali menontonnya. Mungkin karena euforia akan mediumnya pada saat itu. Meski secara teknis, baik pencahayaan maupun editing masih kurang." Ia juga berpendapat bahwa film-film yang masuk kompetisi menggambarkan adanya akulturasi yang dahsyat. "Ada pengaruh-pengaruh budaya luar yang bersentuhan dengan budaya setempat. Mereka bisa menghubungkan tapi ada kesulitan untuk membumikannya."
Pada tahun 2005, kategori penjurian dibagi menjadi dua: kategori pemula dan umum/profesional, dan pada tahun 2008, kategori penjurian baru dibagi menjadi tiga: kategori pelajar, dokumunter pendek, dan dokumenter panjang. Pengkategorian ini mulai diterapkan karena banyaknya karya-karya profesional yang ikut kompetisi, sedangkan FFD pada awalnya ditujukan untuk anak muda yang masih dan mau belajar membuat dokumenter, sehingga tidak adil jika karya-karya mereka dikompetisikan dalam satu kategori saja.
Kecenderungan Karya
Berdasarkan catatan penjuriannya, Laksono menemukan satu kekurangan: riset yang dangkal. "Pendalamannya tidak memadai, argumentasi lemah, data atau footage juga kurang. Walaupun keren, tapi tidak substantif, dalam arti kontekstual dan natural dengan peristiwa-peristiwa yang ingin didokumentasikan." Ia beranggapan bahwa dokumenter yang memiliki standar riset yang baik justru makin langka dan bukan makin banyak. "Ada keengganan untuk serius dan terlalu cepat puas," ujarnya.
Sedangkan bagi Antariksa, yang sebelumnya sering menjadi juri madya (menonton semua film terdaftar lalu memilih unggulan untuk dinilai juri), melihat hal yang sama soal riset. "Tidak diriset cukup baik padahal topiknya luar biasa. Mungkin karena kita juga tidak punya tradisi riset yang cukup baik, bahkan di pendidikan formal," ujarnya. Ia juga melihat ada kecenderungan karya yang condong ke gaya dokumenter karya-karya Eagle Awards. "Dari teknik, narasi, cara riset, pilihan narasumber, editing lambat." Ia juga melihat tema budaya tradisi masih sering muncul dalam film-film peserta. "Budaya sebagai sesuatu yang kesannya kuno, sebentar lagi akan hilang, maka harus dijaga kembali dan globalisasi selalu disalahkan," ujarnya.
Menurut Budi Irawanto, karya-karya FFD cukup banyak yang menyoroti kaum marjinal sebagai korban, bukan sebagai agen yang misalnya berjuang untuk mendapatkan haknya. "Posisi pembuat menjadi lebih superior dan seolah paling mengerti atas kondisi yang terjadi. Sifatnya jadi didaktik, instruksional," ujarnya. Ia juga melihat ada tema lain, misalnya dari lingkungan hidup sampai tentang difabel. Terkait yang dijelaskan Antariksa, ia juga melihat kecenderungan yang sama terkait tema budaya tradisi. "Justru belum banyak yang mengangkat soal budaya urban dan kaum muda."
Tantangan ke Depan
Berdasarkan kecenderungan-kecenderungan tadi, Laksono menyatakan bahwa FFD perlu satu indikator kesuksesan. "Misalnya, FFD sukses apabila film-film yang masuk festival, bisa merekam zamannya. Sejauh ini kan sebenarnya ada, tapi itu tidak dipakai. Juri jadi tidak memiliki indikator yang memadai. FFD bisa mengembangkan indikatornya sebagai jiwa festival itu sendiri."
Antariksa lebih khawatir soal penyeragaman terkait pola elemen dokumenter yang cenderung sama tadi. "Bahaya kalau ada penyeragaman gaya dan selera karena ada cara lain memperlakukan film. Teknik dan pendekatan berbeda, serta film yang memiliki ikatan kuat dengan pembuatnya, tidak artifisial," ujarnya. Sedangkan Budi juga mengutarakan hal yang sama soal variasi-variasi pada dokumenter.
Selain diskusi, pada hari kedua FFD, 6 Desember 2011, ada pemutaran khusus film Batik Our Love Story (Nia Dinata) dan Konspirasi Hening (Ucu Agustin). Ada pula pemutaran Waria Zone (Kiwa Noid & Terje Toomitsu), yang merupakan film yang menggambarkan kehidupan transgender di Indonesia, produksi kerja sama dengan Estonia. Satu pemutaran sempat terhambat dan mundur satu jam, tapi penonton tetap mengikuti jalannya acara dengan baik.