Dalam FFI tahun ini, film pendek merupakan segmen dengan jumlah peserta terbanyak. Ada 98 film pendek yang terdaftar, meningkat dari 72 film peserta tahun lalu. Meski begitu, sepanjang sejarah festival film pendek di Indonesia, 98 bukanlah jumlah yang istimewa. Bandingkan dengan Festival Film Pendek Konfiden (FFPK). Pada tahun 2006, FFPK menerima 225 film pendek. Kemudian, selama tiga tahun beruturut-turut, FFPK memperoleh 181, 140, dan 128 film. Menurun terus, namun tetap lebih banyak dari jumlah yang FFI terima tahun ini. Perhitungkan juga Festival Film Independen Indonesia SCTV. Dari penyelenggaraan di tahun 2002 dan 2003, tercatat ada 1.700 film pendek peserta yang terkumpul dari berbagai provinsi.
Pembahasan mengenai kuantitas peserta menjadi penting, karena terkait erat dengan cakupan festival. Menilik daftar peserta tahun ini, terlihat kalau peserta mayoritas berasal dari Jakarta. Tepatnya, 39 film. Selanjutnya ada Purbalingga, Yogyakarta, dan Bandung, yang masing-masing terwakili oleh tujuh film. Keempat kota tersebut selama ini dikenal sebagai lahan penggiat film pendek, baik dari kalangan umum maupun pelajar. Apakah kegiatan film pendek di daerah tidak seramai di kota-kota tersebut? Belum tentu. Buktinya ada dua film peserta dari Palu (Wrong Day dan Fullan), satu dari Makassar (Potret dan Harmoni), serta satu dari Aceh (Jameun Jinoe). Jangan lupakan juga Karawang dan Sukabumi, yang total menyumbang 14 film, dua kota yang selama ini kurang terdengar dalam percaturan film pendek nasional.
Pada titik inilah, strategi publikasi FFI patut dievaluasi. Kurang beragamnya peserta menyiratkan bahwa ada daerah-daerah yang belum terjangkau oleh publikasi FFI tahun ini. Fenomena serupa bisa dilihat dari minimnya film pendek animasi. Tahun ini, tercatat ada empat film pendek animasi, meningkat dari tahun lalu yang hanya satu karya. Pertanyaannya: apakah jumlah animasi di Indonesia tahun ini sesedikit itu? Atau ada ketidakjelasan dalam publikasi FFI, sehingga para animator mengganggap seksi film pendek hanya untuk film live-action? Pertanyaan terakhir patut menjadi pertimbangan untuk penyelenggaraan FFI ke depannya.
Idealnya, FFI bisa merangkum fenomena perfilman Indonesia setiap tahunnya. Semakin banyak daerah serta komunitas yang ikut serta, semakin representatif pula kata "Indonesia" di nama FFI. Selain itu, kegiatan film pendek di Indonesia bisa semakin mudah dilihat dan dipetakan. Hal ini penting mengingat film pendek belumlah menjadi bagian sehari-hari masyarakat, baik dalam konteks pemberitaan media maupun aktivisme di level akar rumpun. Film pendek masih terbatas pada kegiatan komunitas serta ruang-ruang kebudayaan. Sejak berhentinya FFPK di tahun 2010, belum ada lagi festival film skala nasional yang bisa menjadi rujukan untuk film pendek. Posisi FFI praktis menjadi makin krusial.
Koridor Penilaian
Diketuai oleh Ariani Darmawan, dewan juri film pendek FFI 2011 berfokus pada sebuah sikap dasar. Inilah yang menjadi poin penting dalam penilaian: mempertimbangkan penggunaan medium film pendek dengan tepat, eksekusi teknis yang apik dan proporsional, logika dan struktur cerita yang baik, serta pendekatan yang berani. Sikap dasar dalam kasus ini dipahami sebagai pendirian suatu karya terhadap realita yang melingkupinya. Argumentasinya begini: ada 239 juta penduduk di Indonesia. Masing-masing punya perspektifnya sendiri-sendiri, baik dari ras, agama, maupun ideologi. Sungguh tidak bijak apabila sinema Indonesia masih terjebak dalam penyajian realita tunggal, yang menyamaratakan keragaman individu dalam simbol-simbol semata. Tujuannya adalah pencarian kemungkinan, bukan pemeliharaan kepastian.
Poin perihal sikap dasar menjadi relevan, mengingat pengaruh televisi masih terasa di mayoritas film peserta. Sebagai sebuah medium, televisi sukses menciptakan semacam keseragaman pola pandang. Ada sejumlah elemen-elemen naratif yang lazim ditemukan di sajian televisi, yang turut ditemukan juga dalam banyak film peserta. Satu-dua kali penggunaan tidak masalah, terutama kalau terkait dengan kebutuhan cerita. Menjadi masalah apabila elemen-elemen naratif tersebut digunakan terus-menerus untuk beberapa tema tertentu. Bukannya komunikatif, narasi film terancam menjadi usang, menyampaikan pesan lama untuk penonton yang sejatinya terus berkembang.
Satu tema yang cukup lazim ditemukan di film-film pendek FFI tahun ini adalah nasionalisme. Terlihat dari beberapa judul film macam Mimpi Sang Garuda, Hiduplah Indonesia Raya, Peta Nasionalis, dan Merah Putih Kehitaman.Tema nasionalisme juga yang menurut para juri paling sering terjebak dalam penggunaan elemen-elemen naratif yang monoton. Dua elemen naratif yang kerap digunakan: bendera merah putih dan artefak budaya daerah. Elemen terakhir mencakup tarian dan pakaian daerah. Atribut-atribut inilah yang dianggap sebagai hasil pengaruh televisi terhadap film pendek Indonesia.
Di televisi, terutama di iklan-iklan, keragaman masyarakat seringkali disederhanakan dengan perbedaan atribut. Seakan-akan apa yang kita kenakan sudah mendefinisikan relasi bersama yang akan dijalankan. Dalam televisi, hal tersebut bisa dipahami, mengingat industri televisi bergantung pada penyebaran ide melalui imaji dan durasi yang singkat. Kedalaman tidak menjadi soal, asalkan penonton ingat.
Dalam film pendek, pendekatan serupa menjadi tidak relevan, karena medium film lebih memberi ruang bagi kreator untuk eksplorasi. Cinta dengan budaya lokal tidak bisa dimaknai dengan mengenakan batik saja. Begitu juga dengan nasionalisme yang tidak sesederhana rangkaian shot kibaran bendera merah-putih semata. Ada realita lain yang masih bisa dieksplor di balik simbol-simbol tersebut. Eksplorasi itulah yang coba dicari oleh dewan juri film pendek FFI 2011.
Prospek ke Depan
Satu pertanyaan lain yang patut direnungkan: setelah festival, kemudian apa? Dalam penyelenggaraannya yang dulu-dulu, FFI kerap dikeluhkan karena tidak adanya pemutaran, sebuah program yang sejatinya diharapkan dari sebuah festival film. Panitia tahun ini mencoba mengatasi kekurangan tersebut dengan mengadakan Safari FFI, sebuah program pemutaran keliling lima kota besar di Pulau Jawa. Beberapa film pendek, seperti Tanya Jawab (karya Jason Iskandar) dan Sarung (karya Anis Septiani), turut diputar bersama sejumlah film panjang dan dokumenter.
Safari FFI adalah awalan yang baik. Ke depannya, akan lebih baik lagi apabila panitia FFI mengadakan pemutaran keliling khusus film pendek, setidaknya untuk kelima nominasi film pendek terbaik tahun ini (Bermula Dari A, Say Hello to Yellow, Tanya Jawab, The Black Journey, dan Payung Merah). Pasalnya, ada kekayaan tersendiri dari film-film peserta tahun ini, yang dewan juri rasa patut dinikmati juga oleh publik. Bagi pembuat film, program tersebut bisa menjadi sarana berbagi ide dan inspirasi untuk berkarya di masa depan. Bagi penonton, program tersebut bisa menjadi etalase karya sekaligus sarana apresiasi, yang kerap terlupakan di tengah eksposur media tentang film bioskop.
Harapannya, kekayaan yang dewan juri saksikan dalam film-film peserta tahun ini tak berakhir di podium penghargaan FFI saja, tapi lanjut menjelajahi seantero negeri via diskusi dan pemutaran keliling.