Artikel/Berita FFI 2011: Kuantitas FTV Belum Seiring Kualitas

Festival Film Indonesia 2011Pada Festival Film Indonesia 2011, tidak hanya Piala Citra yang diperebutkan, tetapi juga Piala Vidia yang diberikan untuk Film Televisi (FTV) yang terbagi dalam 13 kategori. Peserta FTV dalam FFI tahun ini cukup banyak: 72 judul. Ini menunjukkan bahwa FTV merupakan salah satu program unggulan di stasiun-stasiun televisi. Dari jumlah itu hanya 12 film televisi yang berhasil masuk unggulan. Dari 12 judul itu, enam di antaranya produksi PT Demi Gisela Citra Sinema. Dan ada satu judul dari PT Karno’s Film, Si Doel Anak Pinggiran, yang meraih unggulan di seluruh 13 kategori. Angka-angka itu menunjukkan bahwa kuantitas belum seiring kualitas.

"Juri menilai karya, bukan siapa pembuatnya. Dasar penilaiannya berupa gagasan, estetika, dan teknis, dan kami mengapresiasi tema-tema yang variatif dan penggarapan yang serius. Termasuk juga eksplorasi, detail, musik, dan latar belakang yang menyatu dengan cerita. Kami menonton semua filmnya dan kemudian ada proses tabulasi," ujar Nina Armando, Ketua Penjurian Film Televisi.

Agus Widjoyono, salah satu anggota dewan juri FTV juga menambahkan bahwa walaupun jumlah FTV yang terdaftar sangat banyak, tetapi temanya masih cenderung seragam. "Ceritanya sama, hampir 80 persen dari yang terdaftar adalah cerita cinta, bahkan musiknya juga hampir sama. Logika sehari-hari dan logika cerita juga kurang dijaga. Skenario, sebagai basis FTV, masih rapuh dan lemah argumentasinya, sehingga bisa dibilang penjuriannya menjadi kurang menantang."

Minat Penonton dan Persaingan

Jumlah film televisi yang banyak berkaitan dengan tingginya minat penonton terhadap film televisi serta persaingan industri televisi itu sendiri. Stasiun televisi SCTV menayangkan empat kali FTV dalam sehari pada pukul 10.00, 12.30, 17.30, dan 22.00. Jika masing-masing berdurasi dua jam atau delapan jam per hari, maka program FTV sendiri sudah sepertiga dari total slot setiap hari. "Kalau rating tidak bagus, kita tidak akan membuka empat slot. Dari audience share, FTV pagi bisa mencapai 25-29 persen. Artinya, dari jumlah penonton TV pada saat itu, 25-29 persen menonton FTV kami. Lalu, siang hari mencapai 21-24 persen. Sore hanya 14-15 persen, karena persaingan lebih ketat. Malam juga sekitar 15 persen," ujar Banardi Rachmad, Kepala Divisi Akuisisi SCTV.

Bahkan, ketika FTV yang diputar pada malam hari harus bersaing dengan tayangan box office film-film asing, FTV hanya kalah dengan film-film asing yang besar. "Kalau dengan film asing yang drama, tapi tidak legendaris, FTV masih menang. Itu mengapa kita tidak harus membeli film barat terlalu banyak. SCTV mengembangkan FTV lokal dan menjadikannya ciri khas dan kekuatan." ujar Banardi.

Dari empat slot per hari tadi, dua penayangan awal biasanya merupakan FTV re-run, sedangkan untuk dua penayangan akhir adalah FTV produksi terbaru. "Untuk FTV terbaru, biasanya ditayangkan di jam-jam yang secara komersial jumlah pengiklannya lebih besar. Harapannya penonton banyak, sehingga biaya produksinya bisa tertutup. Kira-kira dalam seminggu kita butuh sepuluh FTV, kecuali Sinema Wajah Indonesia yang penggarapannya lebih lama, ditayangkan dua minggu sekali." jelas Banardi.

SCTV sebenarnya punya perhatian khusus menayangkan film-film nasional yang sempat diputar di bioskop. Meskipun jumlah film nasional sudah banyak, tetapi tetap tidak cukup jika ditempatkan di slot reguler. Maka, untuk mengisi kebutuhan akan tayangan berformat seperti film, tetapi bisa ditonton secara reguler, muncullah film televisi.

SCTV memiliki dua program film televisi: FTV SCTV dan Sinema Wajah Indonesia. "Ada semacam template pada FTV yang ada, seperti ceritanya seputar cinta segitiga, cinta beda status, cinta tapi benci. Program Sinema Wajah Indonesia adalah salah satu cara untuk mengangkat FTV agar kualitasnya lebih bagus, tidak kalah dengan film bioskop, dan tidak terjebak pada template tadi. Tema yang dibuat mempertemukan antara idealisme dengan unsur populer yang lebih komersial, tidak terlalu berat, tapi tetap bisa dinikmati." ujar Banardi. Sinema Wajah Indonesia ini bekerja sama dengan rumah produksi Demi Gisela Citra Sinema, yang enam FTVnya masuk unggulan FFI tahun ini.

Soal perbedaan ini juga dipertegas oleh Hakim Ahmad, bagian Kreatif dari Demi Gisela Citra Sinema. "Kita memang tidak main-main dan menawarkan ada yang baru. Termasuk Pak Deddy (Deddy Mizwar) ini pakai standar film, walaupun untuk TV. Untuk editing Pak Deddy juga punya standar lumayan tinggi. Ini memang FTV, tapi kalau bisa tetap 'film look', sehingga penonton merasa asyik dan terhibur,” ujarnya.

Dari proses produksinya, FTV Sinema Wajah Indonesia biasanya menghabiskan 10 hari syuting dan kira-kira sebulan untuk grading dan mixing. Maka dari itu, ia tayang setiap dua minggu sekali. Itu pun kalau filmnya belum selesai 100 persen, slot-nya diisi dengan program lain. Berbeda dengan FTV reguler yang lima hari syuting dan dalam waktu dua minggu sudah siap tayang. "Kalau (angka) penontonnya bagus, nilai penerimaannya bagus, mungkin akan bisa lebih banyak frekuensi tayangnya." jelas Banardi mewakili pihak SCTV.

SCTV sendiri bekerja sama dengan beberapa rumah produksi seperti Demi Gisela Citra Sinema, Dharmawangsa Studio X, Screenplay, Rapi Films, Starvision, dan Frameritz untuk mendapat suplai FTV. Menurut Hakim, sistem pembeliannya bersifat beli-putus. Menurut Banardi, SCTV sebagai stasiun televisi juga ikut menentukan cerita dan pemain.

Berapa harga belinya? "Angkanya variatif, tergantung kualitas pemain, lokasi, dan biaya produksi lainnya." ujar Banardi. Dilihat dari biaya produksi, Viva Westi, sutradara Bakpao Ping Ping menyebut angka sekitar Rp 300 juta – 500 juta. Hal ini juga dipertegas Hakim, "Jauh di bawah satu miliar."

Batu Loncatan

Film televisi dan film bioskop sama-sama membutuhkan keseriusan dalam penggarapan. "FTV itu perlu digarap secara profesional dan serius, bukan sekadar kesempatan atau numpang lewat saja. Membuat FTV juga membutuhkan jalan panjang. Ada sutradara film yang ketika menggarap FTV bisa gagap," ujar Agus yang juga sempat lama bekerja di TVRI. Ia juga menambahkan analogi perbedaan FTV dengan layar lebar, "Bedanya cuma kalau film layar lebar itu sebagai tuan rumah dan orang berdatangan menonton, sedangkan FTV sebagai tamu yang masuk ke rumah orang."

Viva Westi, yang bergelut di televisi dan juga layar lebar, bercerita tentang pengalamannya sendiri memproduksi baik FTV maupun film layar lebar. "Sebelumnya memang saya banyak di televisi. Mau serial, mau FTV dangdut, apapun saya bikin, karena jadi sutradara di TV atau film hanya beda media selebihnya sama. Pertanggungjawabannya sama. Saya selalu bilang, tidak susah atau bingung ketika membuat film, karena FTV mengajarkan banyak hal. Kemudahan-kemudahan yang didapat di film tidak didapatkan di TV. Pertama, waktu produksi FTV itu pendek. Kalau dari jumlah adegan sebenarnya sama. Membuat film layar lebar durasi 90-120 menit, FTV juga sama. Saya membutuhkan waktu 30 hari untuk syuting film layar lebar, sedangkan di FTV hanya 5-7 hari. Jadi menurut saya, harusnya film layar lebar itu luar biasa lebih baik treatment-nya, dan bisa lebih berhati-hati. Kita bisa menyelesaikan empat sampai lima adegan film adalah satu hari, sedangkan FTV bisa 20 adegan per hari," ujarnya. Ia juga menambahkan di FTV tempat untuk belajar mengatasi masalah di lapangan. Misalnya, kalau tiba-tiba hujan, sutradara harus bisa mengakali, karena tidak bisa menambah hari. Tekanan ketika mengerjakan FTV bisa memberikan pembelajaran yang baik ketika mengerjakan film.

Harapan untuk FTV

Menurut pendapat Banardi pribadi, FTV akan tetap menjadi tayangan yang dinanti pemirsa. "Ia tidak bertele-tele, ditonton sehari selesai dan tidak harus menunggu seri berikutnya. Sebuah tayangan sederhana yang akan tetap memiliki penonton. Namun, variasi, inovasi, dan kreativitas yang akan menentukan FTV ini akan seperti sekarang terus atau naik." Dengan adanya penghargaan, seperti FFI atau FTV Awards, diharapkan ada inovasi pada tayangan FTV Indonesia.

Viva Westi menambahkan, "Jangan membuat cerita yang ceritanya bisa terjadi di mana saja. Kota-kotanya jangan cuma jadi latar belakang saja, tetapi ada unsur setempat juga. Ada apa di kota itu, kebiasaan dan adat seperti apa, yang membuat orang menambah pengetahuan lagi tentang Indonesia."