“Kalau saya memberikan judul jumpa pers ini, judulnya adalah akhirnya film Hollywood bisa ditonton kembali di Indonesia. Akhirnya,” ujar Jero Wacik, Menteri Budaya dan Pariwisata (Menbudpar RI), Kamis, 28 Juli 2011 pukul 16.00. Ia menggelar konferensi pers di Gedung Sapta Pesona, Merdeka Barat, Jakarta terkait diputarnya kembali film-film Hollywood di bioskop Indonesia.
Dalam jumpa pers tersebut, hadir juga Dirjen Nilai Seni Budaya dan Film, Ukus Kuswara, Direktur Informasi Kepabeanan dan Cukai, Susiwijono dan perwakilan dari Pusat Pendapatan Negara Badan Kajian Finansial (BKF), Djoko Sutojo, serta ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonsia (GPBSI), Djonny Syafruddin. Menteri Keuangan Agus Marto berhalangan hadir karena ada rapat lain dan pada awalnya jumpa pers ini juga mengundang tokoh perfilman.
Hari ini film Harry Potter and The Deathly Hallows Part 2 sudah tayang di beberapa bioskop di Indonesia dan akan disusul dengan Transformers: Dark of The Moon. “Dalam dua minggu ini, akan ada dua film Hollywood masuk dan akan ada dua lagi yang mengantri dan akan terus mengalir.”
Film Impor dan Bioskop
Dalam persoalan impor film ini, dua instansi pemerintahan yang bertanggung jawab adalah Kementerian Keuangan dan Kementerian Budaya dan Pariwisata. Pada awal pertemuan kemarin, Jero Wacik menegaskan bahwa kepentingan yang tarik-menarik antara dua kementerian memang biasa terjadi. “Dua-duanya punya tugas. Tugas Menteri Keuangan adalah mencari pajak, karena beliau punya target mencari pajak yang banyak. Untuk apa? Untuk membangun negeri. Sedangkan tugas saya, sebagai Menbudpar, adalah bagaimana perfilman itu maju.” Baginya, industri film di Indonesia masih tergolong infant industry, industri yang masih bayi, jadi jangan dulu dikenakan pajak banyak-banyak.
Jero menjelaskan bahwa tugasnya adalah bagaimana rakyat bisa melihat (menonton) film, bagaimana bioskop bisa bertambah banyak, karena menurutnya, di situ ada lapangan pekerjaan. “Jadi saya tugasnya adalah bagaimana bioskop itu makin banyak. Tapi bioskop akan makin banyak kalau filmnya banyak. Itulah mengapa film harus dimajukan. Saya tidak mau kalau filmnya diputar, penontonnya tidak ada. Logikanya begini. Film Indonesia sekarang sudah ada seratusan. Layar bioskop di Indonesia, jumlahnya 676 layar. Kalau filmnya hanya 100, layarnya 676, terus tidak boleh ada impor film, mau apa yang diputar di gedung bioskop? Jadi kita memerlukan film impor. Ya dari Hollywood, film India, film Hongkong, dan lain-lain.” Jero juga menambahkan bahwa ada kaitan antara naiknya pendapatan per kapita rakyat dengan kebutuhan layar bioskop ini. “Karena income per capita rakyat sekarang sudah naik. Kalau kesejahteraan menaik, layar 600 akan kurang, jadi mesti ditambah.”
UU No. 33 Tahun 2009, Impor, dan Monopoli
Jero Wacik kemudian menjelaskan duduk persoalan kasus impor film yang sempat bermasalah ini. Menurut penjelasannya, untuk mendorong film Indonesia, Bapak Presiden menginstruksikan di sidang kabinet agar perpajakan perfilman ditata. Tujuannya, agar industri perfilman bisa ringan pajaknya. Kuantitasnya bertambah dan mutunya bagus. “Tentu, film asing juga sekalian rupanya ditata oleh Menteri Keuangan, ada audit di sana. Importir film yang dulu monopoli. Importirnya cuma satu, distributornya satu, yang punya gedung bioskop juga cuma satu. Itu namanya monopoli. Tapi itu dulu. Kita ke depannya, tidak ingin begitu. Maka dibuat aturan.” jelasnya.
Menurut penjelasan Jero, berdasarkan audit tersebut muncul kasus karena adanya royalti yang belum dibayar. Akibat persoalan ini, maka para eksportir jadi memberhentikan sementara filmnya untuk masuk ke Indonesia. “Kita tetap cari cara, bagaimana caranya agar film bisa masuk. Konon, menurut Twitter atau jejaring sosial, ada satu juta penonton yang suka film Hollywood, yang katanya kemarin mau demo karena film-filmnya tidak masuk. Ada juga yang mau nonton di Singapura. Lama-lama, saya dapat SMS, kapan masuk filmnya, karena film nggak masuk, bioskop hampir bangkrut, maka bisa terjadi PHK, dan pemerintah pasti nggak mau itu. Jadi pemerintah berpikir, bagaimana caranya bioskop tetap hidup, kalau bisa bertambah.”
Jero Wacik menekankan bahwa tugasnya adalah bagaimana film-film ini bisa masuk dan tidak bisa menunggu proses hukum yang dijalani tiga perusahaan importir atas kasus pajaknya. “Tugas saya kan bagaimana caranya memasukkan film. Karena kalau urusan hukum kan pasti lama. Nah, di era Pak SBY ini, ada UU baru yakni UU RI No. 33 thn 2009, tentang perfilman. UU ini salah satu misinya adalah menghilangkan monopoli. Saya salah satu yang mendorong agar tidak boleh monopoli. Negeri ini adalah negeri semua orang, mari kita berbagi-bagi. Itulah misi UU ini. Jadi, kalau ada importir film, maka dia wajib memberi siapa pun yang punya gedung bioskop yang mau memutarkan film, tidak boleh tidak. Walaupun tetap saja ada dalil bisnisnya, ya. Siapa pun nanti importir, atau berapa pun importir, silakan saja. Pemerintah tidak bisa mengatur bisnisnya. Pemerintah hanya bisa, siapa yang mau impor film, silakan, ajukan permohonan, kami memberikan izin. Importir film, distributor film, dan pemilik bioskop, harus bekerja sama, saling mendapat untung semua. Di era sekarang, dengan UU ini, terbuka semua. Artinya, tidak ada monopoli lagi.”
Menbudpar juga menjelaskan bahwa saat ini jumlah layar bioskop sebanyak 676 layar, 80% milik 21 dan XXI (yang dulu 100%), Blitz Megaplex kira-kira 10%, dan sisanya gedung-gedung yang lain. Ia mengatakan, “Saya berharap, kalau saya punya cita-cita jadi 1.000 layar, yang 400 ini harus new comer, pelan-pelan monopoli ini berkurang. Cuma kan saya tidak bisa mengatur. Yang tadinya habis monopoli, ya sekarang pelan-pelan, meski sekarang masih ada mayoritas.”
Izin Importir
Mulai pada sesi tanya jawab, banyak pertanyaan seputar PT Omega dan orang-orang di baliknya, terkait dengan izin impornya yang sempat muncul, diblokir, kemudian dicabut lagi blokirannya. Namun, Jero menjelaskan bahwa itu bukan wewenangnya. “Siapa pun yang mengajukan izin, kami memang cek, siapa direksinya dan komisarisnya. Sepanjang direksi dan komisarisnya berbeda-beda, kami izinkan. Selama itu tidak sama persis dengan pemilik bioskop, ya itu bukan monopoli. Begitu aturannya di sini. Kemudian, untuk mendapatkan NIK, itu dari bea cukai mengecek juga. Jadi, dua lapis ini. Persoalan monopoli atau tidak, negara memberikan kewenangan kepada lembaga KPPU, untuk menyatakan apakah monopoli atau tidak, bukan Budpar. Jadi, tidak ada perkecualian, siapa saja. Jadi, kita kasih izinnya kalau memang memenuhi syarat.”
Ia juga menyatakan pendapatnya mengenai monopoli itu sendiri, “Kalau tidak 100%, ya sudah tidak monopoli. Dalam UU ini, kalau importir, distributor, dan pemilik gedung film tidak berada dalam satu garis, tidak monopoli. Ini kan masalahnya, ada nggak yang mau bikin gedung bioskop? Kalau nggak ada kan ya berarti yang itu-itu saja. Pemerintah kan tidak bisa bikin gedung bioskop. Namun, kalau di antaranya kemudian ada yang mati, ya jangan salahkan pemerintah. Apakah nanti dapat film impor atau tidak, ya itu bukan urusan saya. Namun, kalau memang mau bikin, ya saya tidak melarang.”
Ketika ditanya mengenai tiga perusahaan yang masih berada dalam pengadilan pajak, Jero Wacik menjawab, “Tiga perusahaan yang berperkara tetap diurus. Yang perkara pajak, pengadilan pajak, tetap berjalan, saya tidak ikut campur. Kalau menunggu ini sampai selesai, yang belum tahu kapan, keburu mati dan berhenti gedung bioskopnya. Itu yang ingin saya amankan.”
Sebagai tugasnya untuk mempertahankan bioskop yang sudah ada dan memasukkan film Hollywood agar bisa ditonton publik, Jero memiliki pertimbangan sendiri. “Dalam pikiran saya, kalau misalnya, kalau pun negara rugi 25 miliar, untuk rakyatnya, fine buat saya. Triliunan saja negara berani mengeluarkan uang untuk rakyatnya. Begitu kira-kira cara berpikirnya. Jadi, jangan semua dihitamputihkan. Korban sedikit di sini, dapat di sana.”
Menbudpar dan Film Indonesia
Selain membicarakan film impor dan persoalannya, dalam jumpa pers kemarin, Menbudpar juga menjelaskan rencana-rencana Menbudpar untuk perfilman Indonesia. Yang pertama, yakni menyelesaikan urusan dan proses keluarnya PP untuk UU No. 33 Tahun 2009 tentang perfilman.
Kemudian, peraturan pajak mengenai bahan dan peralatan film yang diusulkannya kepada Menteri Keuangan terdahulu, yakni Sri Mulyani. “Di Indonesia dulu, pajak untuk bahan dan peralatan film, dianggap barang mewah. Pajak untuk barang mewah itu 40%. Ya berat sekali industri film dalam negeri, kalau pajaknya sebesar itu. Saya mengusulkan agar bahan-bahan film diturunkan pajaknya menjadi nol persen. Dan sekarang, Pak Agus Marto, sudah mengeluarkan SK, semua bahan-bahan dan peralatan untuk film, pajak bea masuknya menjadi nol persen.”
Selain itu, Kemenbudpar juga memiliki kebijakan memberikan subsidi untuk pembuatan film yang bertema kepahlawanan dan film-film yang bisa membangun karakter, khususnya untuk anak-anak. Untuk anggaran ini, Menbudpar sudah mengajukan anggaran ke DPR dan sudah disetujui. Tidak hanya itu, Kemenbudpar juga sudah mempersiapkan Indonesian Film Finance, di mana produser yang mau membuat film, bisa meminjam dana dengan bunga yang rendah.
Satu lagi. Kemenbudpar berencana untuk membuat sistem online yang bisa menghubungkan gedung bioskop dengan Kemenbudpar, sehingga data penonton untuk film-film yang diputar di bioskop dapat diumumkan secara rutin oleh Kemenbudpar, sesuai peraturan yang tertera di UU No. 33 Tahun 2009.