Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) bekerja sama dengan Sinematek Indonesia (SI) mendigitalisasi 29 film Indonesia klasik koleksi SI. Sosialisasi dan serah terima hasil digitalisasi ini berlangsung pada Selasa, 2 April 2013 pukul 12.00 di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail (PPHUI), Kuningan, Jakarta Selatan, masih dalam suasana perayaan Hari Film Nasional. Untuk proyek tersebut, pengerjaan teknis digitalisasi dilakukan oleh PT Render Digital Indonesia.
“Pelestarian aset perfilman ini penting, apalagi peran SI sangat vital sebagai pusat informasi dan data. Dengan digitalisasi, akses terhadap arsip bisa terbuka lebih luas sehingga berguna untuk pembelajaran juga. Arsip harus dipikirkan dengan baik.” ujar Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan (Wamendikbud) Wiendu Nuryanti saat memberikan sambutan. Pada acara tersebut juga hadir Kepala SI yang baru, Adisoerya Abdy, Ketua Yayasan PPHUI Djonny Syafruddin, Taufik M. dari PT Render Digital Indonesia, serta beberapa perwakilan, baik produser maupun ahli waris, pemilik film-film yang didigitalisasi seperti Irwan Usmar Ismail, Camelia Malik, dan Budiati Abiyoga.
Tiga pertimbangan yang menjadi pemilihan 29 film ini antara lain, film yang dipilih memiliki kelebihan pada zamannya, diukur dari penghargaan-penghargaan yang pernah diraih film tersebut. Kemudian, film yang dipilih mewakili fenomena tertentu pada zamannya, baik secara estetika maupun alur cerita, serta nilai kelangkaan dan keunikan dari film itu.
Wamendikbud menuturkan bahwa bergabungnya Kebudayaan dan Pendidikan dalam satu ‘rumah’, memberikan privilege tersendiri, yakni bertambahnya anggaran Kemendikbud yang mencapai sekitar Rp 200 miliar untuk tahun ini. Maka dari itu, perlu rencana yang strategis, salah satunya membuat program-program yang berdampak pada peningkatan kualitas film Indonesia, termasuk untuk pengarsipan. Proyek digitalisasi 29 film ini sendiri menghabiskan biaya sebesar Rp 3 miliar. Sedangkan ia berharap, dari sekitar 500 koleksi film cerita yang ada di SI, semuanya bisa didigitalisasi dalam kurun waktu 5-6 tahun mendatang. Ia juga sempat menyebutkan akan mengalokasikan sekitar Rp 10-15 miliar dari anggaran untuk restorasi film. Sebelumnya, film Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail tahun 1954 juga telah direstorasi lewat sebuah proyek kolaborasi beberapa lembaga.
Dalam kesempatan yang sama, Adi Surya Abdi juga menyatakan bahwa dalam waktu dekat, sebagai Kepala SI yang baru, akan mendata ulang semua koleksi SI dan melihat kondisi yang ada, serta melakukan pemetaan posisi SI saat ini. Dengan adanya koleksi yang sudah didigitalisasi, ia mengungkapkan bahwa perangkat-perangkat di dalam SI sendiri, juga harus mengikuti dan memanfaatkan basis teknologi yang lebih baik. Semuanya bertujuan agar akses publik terhadap koleksi SI bisa lebih mudah dan efektif.
Proses teknis digitalisasi
Setelah penyerahan hasil digitalisasi secara simbolis, Taufik M dari PT Render Digital Indonesia sempat menjelaskan secara singkat proses pengerjaan digitalisasi film. Tahap awalnya tentu mengecek dan menginspeksi materi fisik seluloid yang ada. Kemudian, masuk ke tahap pemindaian, yang dilakukan secara frame by frame dan disimpan dalam format digital dengan resolusi yang paling tinggi. Kurang lebih, satu film terdiri dari 150.000 gambar yang dipindai dengan ukuran file digital mencapai 2.5 TB. Besarnya file ini dikarenakan resolusi hasil pemindaian yang dipilih adalah yang setinggi mungkin, serta memiliki warna yang lebih dalam dan tajam.
Pihaknya juga memakai mesin pemindai, di mana seluloid bebas berjalan di atas meja pemindai sementara kamera pemindai bekerja secara real time. Alat ini berbeda dengan pemindai biasanya, yang bekerja seperti proyektor sehingga butuh pengait perforasi. Sedangkan, perforasi dari film-film lama ini cenderung rapuh. Jadi, jika memakai pemindai biasa, kerja menjadi lebih riskan. Untuk proyek kali ini, film-film yang didigitalisasi cenderung memiliki kerusakan minim, sehingga pembersihan gambar masih bisa diupayakan oleh tim tersebut.
Hasil digitalisasi film-film ini, disimpan dalam format LTO (Linear Tape-Open) yang mampu menyimpan gambar dengan resolusi setinggi mungkin, mendekati resolusi materi awalnya (seluloid). Untuk kebutuhan pemutaran nantinya, format ini bisa dialihkan ke ukuran file yang lebih kecil (dalam format DVD, misalnya), tetapi penyimpanannya tetap dalam format yang terbaik. Format LTO ini merupakan standar format yang memang dipakai untuk arsip digital. Tim digitalisasi tentu harus mempertimbangkan format penyimpanan yang kompatibel dipakai untuk jangka waktu yang paling lama, yang minimal mencapai seratus tahun. Sejauh ini, format LTO ini dianggap paling memadai. Selain itu, jika disimpan dalam format LTO, maka hasil digitalisasi juga bisa dilanjutkan untuk direstorasi.
Judul Film yang Didigitalisasi
1. Tie Pat Kai Kawin (Siloeman Babi Perang Siloeman Monjet) (The Teng Chun, 1935)
2. Tengkorak Hidoep (Tan Tjoei Hock, 1941)
3. Darah dan Doa (The Long March)(Usmar Ismail, 1950)
4. Pagar Kawat Berduri (Asrul Sani, 1961)
5. Violetta (Bachtiar Siagian, 1962)
6. Penjeberangan (Gatut Kusumo, 1963)
7. Matjan Kemajoran (Wim Umboh, 1965)
8. Dibalik Tjahaja Gemerlapan (II) (Misbach Jusa Biran, 1966)
9. Nji Ronggeng (Alam Surawidjaja, 1969)
10. Apa Jang Kau Tjari, Palupi? (Asrul Sani, 1969)
11. Si Pitung (Nawi Ismail, 1970)
12. Wadjah Seorang Laki-Laki (Teguh Karya, 1971)
13. Si Doel Anak Betawi (Sjuman Djaya, 1973)
14. Ambisi (Nya Abbas Akup, 1973)
15. Atheis (Sjuman Djaya, 1974)
16. Senyum di Pagi Bulan Desember (Wim Umboh, 1974)
17. Jakarta Jakarta (Ami Prijono, 1977)
18. November 1828 (Teguh Karya, 1978)
19. Pengemis dan Tukang Becak (Wim Umboh, 1978)
20. Sorta (Tumbuh Bunga di Sela Batu) (Abrar Siregar, 1982)
21. Halimun (Sofia WD, 1982)
22. Kembang Kertas (Slamet Rahardjo, 1984)
23. Matahari-Matahari (Arifin C. Noer, 1985)
24. Beri Aku Waktu (Buce Malawau, 1986)
25. Ibunda (Teguh Karya, 1986)
26. Naga Bonar (MT Risyaf, 1986)
27. Nyoman Cinta Merah Putih (Judy Soebroto, 1989)
28. Ramadhan dan Ramona (Chaerul Umam, 1992)
29. Fatahillah (Chaerul Umam, 1997)