Penonton Indonesia kini bisa menikmati Lewat Djam Malam sebagaimana yang diniatkan Usmar Ismail 58 tahun silam. Karya Usmar Ismail tahun 1954 tersebut sudah selesai direstorasi, dan akan beredar di jaringan bioskop 21 dan Blitz mulai tanggal 21 Juni 2012.
Untuk Blitz, cabang yang akanmemutarLewat Djam Malam adalah Blitz Grand Indonesia, Blitz Teras Kota, dan Blitz Paris van Java. Masing-masing cabang akan memutar Lewat Djam Malam dua kali setiap harinya selama lima sampai delapan minggu ke depan. 21 sendiri akan memutar Lewat Djam Malam secara serentak di Jakarta dan satu kota lainnya, yang akan berganti setiap minggunya, lima kali setiap harinya selama delapan minggu ke depan. Di minggu pertama, Lewat Djam Malam akan diputar di Plaza Senayan dan Ciwalk Bandung. Untuk minggu-minggu berikutnya, mendampingi pemutaran di Jakarta, Lewat Djam Malam akan diputar secara bergantian dari Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Malang, lalu ke Balikpapan. Detail perihal pemutaran luar Jakarta untuk dua minggu terakhir masih tentatif. Sebagian dari pendapatan hasil pemutaran akan masuk ke Sinematek Indonesia, pemegang hak komersil Lewat Djam Malam di wilayah nasional, untuk menyokong preservasi film-film yang ada di koleksi Sinematek.
Sebelum beredar di jaringan bioskop nasional, hasil restorasi Lewat Djam Malam untuk pertama kalinya diputar di Indonesia pada tanggal 18 Juni 2012 di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Jakarta. Sekitar 200 tamu undangan bertepuk tangan seusai pemutaran, mengapresiasi film yang selama setahun terakhir ini diremajakan kembali di L’Immagine Ritrovata, laboratorium restorasi film di Bologna, Italia. Sebelum pemutaran, Davide Pozzi, direktur L’Immagine, menjelaskan bagaimana timnya merestorasi karya legendaris perfilman Indonesia ini. Masalah terbesar yang dihadapi saat restorasi adalah perforasi (lubang-lubang di pinggir pita seluloid) yang rusak, jamur di beberapa bagian pita seluloid, serta suara yang hilang di reel lima. Perforasi yang rusak ini menyebabkan kopi Lewat Djam Malam sulit dimasukkan ke dalam mesin pengindai, sehingga harus diperbaiki terlebih dahulu satu per satu. Proses reparasi ini menghabiskan sekitar 2000 jam untuk pengerjaannya. Sementara itu, sebagian besar jamur dapat diangkat tanpa harus mengorbankan kualitas gambar, dan suara yang hilang untungnya ditemukan di kopi lain Lewat Djam Malam yang ada di Sinematek.
Di acara yang sama, para pemegang kunci dalam proyek restorasi ini berada bersama di atas panggung mempresentasikan hasil kerja mereka selama dua tahun terakhir. Ada Lee Chor Lin dan Wenjie Zhang mewakili National Museum of Singapore (NMS), institusi yang berperan besar dalam proyek restorasi ini. Hadir juga Teo Swee Leng, yang berperan sebagai supervisor proyek ini bersama Philip Cheah. Pada bulan Januari 2010, Philip mengontak Lisabona Rahman dengan tawaran menerbitkan Katalog Film Indonesia karya JB Kristanto dalam bahasa Inggris. Penerbitan buku ini rencananya akan dibarengi dengan pemutaran film Indonesia klasik yang sudah direstorasi, namun pada waktu itu belum ada film Indonesia yang pernah direstorasi. Ketika judul Lewat Djam Malam terpilih, bermulalah proyek restorasi ini.
“Restorasi Lewat Djam Malam takkan bisa berjalan tanpa persahabatan yang sudah kita jalin ini. Saya mewakili NMS berterimakasih pada segenap teman-teman di Indonesia atas kerja keras dan kesabarannya selama ini. Kami berterimakasih juga pada World Cinema Foundation (WCF) yang mau terlibat dalam proyek ini dan membawa film ini ke audiens yang lebih luas,” tutur Lee Chor Lin dalam pidato sambutan. Dalam malam peluncuran tersebut, WCF diwakili oleh direktur operasionalnya, Douglas Laible. WCF juga diwakili secara virtual oleh Martin Scorsese, sutradara ternama sekaligus ketua WCF, melalui sebuah video singkat yang diputar sebelum Lewat Djam Malam. Dalam video tersebut, Scorsese menyebut Lewat Djam Malam sebagai “karya melodrama yang dibuat dengan penuh gairah....sangatlah membuka mata.” Scorsese mengucapkan terima kasih pada JB Kristanto yang telah memilih Lewat Djam Malam untuk direstorasi dan usahanya mengumpulkan data produksi film Indonesia hingga kini. Ucapan terima kasih turut disampaikan pada National Museum of Singapore, Yayasan Konfiden, dan Kineforum Dewan Kesenian Jakarta atas kerja kerasnya sepanjang proyek ini.
Ketika berada di panggung untuk menyampaikan pidato sambutan, JB Kristanto berkata, “Saya sebenarnya hanya dipaksa, karena saya yang paling tua. Sebenarnya yang bekerja ya yang muda-muda ini.” Ia menunjuk Lisabona Rahman dari Kineforum Dewan, serta Alex Sihar dan Lintang Gitomartoyo dari Yayasan Konfiden. Ketiganya berperan sebagai mediator antara Sinematek, National Museum of Singapore, dan World Cinema Foundation. Lisabona juga berperan dalam riset perihal teknis dan ketersediaan fisik Lewat Djam Malam. Riset ini diperlukan agar NMS dapat memperkirakan bujet restorasi yang dibutuhkan. Lintang banyak berurusan dengan manajerial proyek ini, mulai dari pengiriman materi film, penerjemahan dan penyuntingan subtitle film, hingga pengecekan hasil restorasi.
Sebenarnya, ada satu orang lagi yang seharusnya berada di atas panggung malam itu: Misbach Jusa Biran. Bersama SM Ardan, beliau merintis Arsip Film pada tahun 1971, yang kemudian berganti nama menjadi Sinematek Indonesia pada tahun 1975. Beliau juga pernah terlibat di produksi film-film Perfini, termasuk Lewat Djam Malam. Sebelum wafat pada tanggal 11 April 2012, beliau direncanakan untuk menyampaikan pidato kehormatan ketika hasil restorasi Lewat Djam Malam resmi diluncurkan.
Rencana ke Depan
Satu pertanyaan setelah Lewat Djam Malam sukses direstorasi: kemudian apa?
Ruang penyimpanan Sinematek sebenarnya terhitung cukup kondusif untuk menyimpan harta karun sejarah perfilman bangsa kita. Saat berkunjung ke Sinematek pada 9 Februari 2012, Davide Pozzi menjelaskan bahwa ruang penyimpanan Sinematek memasang suhu 10-12o Celsius dengan kelembaban 45-65%. Suhu dan kelembaban ini masih ideal untuk penyimpanan seluloid. Namun film bukanlah artefak yang awet diterpa waktu. Seluloid punya umurnya sendiri dan kondisinya akan terus menurun hingga akhirnya rusak dan tak bisa digunakan lagi. Di koleksi Sinematek terdapat 414 judul yang terdiri dari 84 kopi negatif, 17 film dalam format 16 mm hitam-putih, 58 film 16 mm warna, 53 film 35 mm hitam-putih, dan 235 film 35 mm warna. Selain itu, terdapat dokumentasi dalam format seluloid sejumlah 313 judul.
Apabila mengacu pada data yang ada di buku Katalog Film Indonesia, 414 judul film yang ada di Sinematek barulah mencakup 14% dari keseluruhan film Indonesia. Menurut data yang ada di Katalog Film Indonesia, ada 2.194 film Indonesia dari tahun 1939 sampai 2011. Koleksi yang tak banyak ini beberapa sudah mengalami kerusakan. Seluruh koleksi 16 mm hitam-putih tidak dapat diputar karena rusak dan tak lengkap, sedangkan delapan film 16 mm berwarna mengalami kerusakan ringan. Dari koleksi 35 mm hitam-putih, 23 di antaranya masuk kategori rusak dan tak dapat diputar, sementara 10 di antaranya tak lengkap. Dari sisa film 35 mm hitam-putih yang dapat diputar, tujuh mengalami kerusakan ringan. Untuk film 35 mm berwarna, sembilan di antaranya tak dapat diputar karena rusak dan 36 film rusak ringan.
Restorasi praktis menjadi isu yang mendesak. Namun, ada dua isu lagi yang lebih mendesak: akuisisi dan preservasi film. Hanya dengan begitu koleksi Sinematek tak saja menjadi representasi yang lebih menyeluruh dari sejarah perfilman Indonesia, tapi juga warisan bangsa yang bisa dinikmati oleh generasi penerus. Atas isu-isu mendesak ini, Sahabat Sinematek dibentuk dan diluncurkan bersamaan dengan hasil restorasi Lewat Djam Malam. Sahabat Sinematek merupakan badan hukum berbentuk perkumpulan nirlaba yang mendampingi kerja Sinematek, dalam bentuk penghimpunan dana dan bantuan program. “Soal pembentukan organisasi ini, JB Kristanto sempat membahasnya dengan almarhum Bapak Misbach Jusa Biran menjelang wafat. Beliau bukan hanya memberikan dukungan, namun juga semangat besar untuk terlibat langsung sebagai semacam penasehat,” jelas Totot Indrarto, inisiator Sahabat Sinematek, dalam sebuah pidato di malam peluncuran.
Keanggotaan Sahabat Sinematek bersifat perorangan dan terbuka bagi warga negara Indonesia yang peduli dan punya komitmen jangka panjang untuk membantu Sinematek. Inisiatif macam Sahabat Sinematek ini diperlukan karena restorasi Lewat Djam Malam tak bisa dijadikan cetak biru untuk proyek-proyek serupa di masa mendatang. Untuk merestorasi sebuah film, diperlukan riset mengenai seberapa banyak kerusakan yang ditanggung film tersebut. Masing-masing film memiliki derajat kerusakannya tersendiri, tergantung pada ketahanan materi filmnya dan kondisi penyimpanannya. Berarti setiap film punya “harganya” sendiri. Oleh karena itu, diperlukan inspeksi lebih lanjut tentang koleksi film yang ada di Sinematek sekarang, sehingga dapat ditentukan metode preservasi yang tepat untuk diterapkan dan film mana yang sebaiknya diprioritaskan untuk diselamatkan.
Semangat membantu Sinematek turut disuarakan oleh Ukus Kuswara (Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) dan Wiendu Nuryanti (Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan) di malam peluncuran hasil restorasi Lewat Djam Malam. “Tahun depan, kami akan usahakan untuk merestorasi satu film Indonesia,” tutur Ibu Wiendu. Sebuah janji yang patut ditunggu pembuktiannya.