Artikel/Berita Optical Sound Transfer? Di Jakarta Saja!

Berita Lisabona Rahman 30-11-2010

Menuju paruh akhir 2010, pengusaha penunjang produksi film di Indonesia pun berbenah. Interstudio, perusahaan jasa teknis dan laboratorium film, menambah fasilitasnya dengan mesin optical sound recorder. ”Dengan begini film Indonesia bisa utuh lahir di Indonesia lagi,” kata Sandy Sanyoto, penanggungjawab Interstudio, saat ditemui di kantornya di bilangan Pasar Minggu, Jakarta pada 25 November 2010.

Perusahaan yang mengkhususkan diri pada jasa laboratorium film ini didirikan pada tahun 1976 oleh Njoo Han Siang bersama dengan Achmad Salim, Wim Umboh, Soehardjo Sindhukusumo dan Aloysius Sugianto. Laboratorium ini diarahkan untuk dapat memproses film hitam-putih dan berwarna, serta memproses suara.

Meskipun sejak tahun 1980-an teknologi transfer suara sudah ada di Indonesia, tapi yang tersedia hanya memungkinkan suara film dibuat dalam format mono. Tentu saja format ini sudah sangat ketinggalan zaman. Setelah produksi film bangkit kembali dari masa surutnya pada tahun 1990-an, film Indonesia sudah diproduksi dengan format suara stereo atau stereo surround. Selama ini, karena fasilitas laboratorium dalam negeri belum memungkinkan, para pembuat film Indonesia harus membawa karyanya ke luar negeri untuk menjalani proses transfer suara.

Supaya tidak kalah dengan fasilitas laboratorium film di negara-negara tetangga, Interstudio membeli mesih LLK5 produksi MWA Albrecht GmbH dari Jerman. Dengan bangga Sandy menerangkan, ”Mesin ini yang terbaik di antara jenisnya. Selain di Jakarta, mesin ini juga dipakai di studio Peter Jackson di Australia. Tapi mesin kita tipenya lebih baru daripada mereka.” Dengan mesin baru ini Interstudio dapat memproses format suara stereo maupun stereo surround. Mereka juga menyediakan kemungkinan menghasilkan format suara dengan lisensi Dolby.

Sandy lebih jauh menjelaskan bahwa perusahaannya menambah investasi sebesar kurang lebih 700 ribu dolas AS dengan membeli mesin baru ini. Ia memproyeksikan bahwa investasi ini dapat kembali jika dalam satu tahun perusahaannya bisa memproses paling tidak 40-50 judul film panjang. Peningkatan jumlah produksi film Indonesia sejak 3 tahun terakhir kelihatannya membuat Interstudio berani mengambil langkah ini. Film Indonesia pertama yang menjalani proses gambar maupun suara dengan fasilitas ini adalah Rindu Purnama karya debut Mathias Muchus sebagai sutradara yang diproduksi oleh Mizan Productions.