Artikel/Berita Peluncuran Buku Menjegal Film Indonesia

Situasi acara peluncuran buku Menjegal Film Indonesia hari Selasa, 20 Desember 2011 di Binus Internasional, Jakarta (Foto: FI)Rumah Film dan Yayasan TIFA meluncurkan buku berjudul Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia pada Selasa, 20 Desember pukul 14.30 di Ruang 310 Binus Internasional, Senayan. "Buku ini sebagai upaya mencatat bagaimana kondisi perfilman saat ini dan akan ke mana. Kami mencoba memberikan pandangan lain dalam upaya mencatat tersebut," ujar Eric Sasono, Koordinator Tim Peneliti dan Penulis buku tersebut. Ia meneliti dan menulis bersama Ekky Imanjaya, Hikmat Darmawan, dan Ifan Ismail selama delapan bulan. "Bisa dibilang selama itu kami lebih banyak memulung data. Bahkan Ekky sampai mengecek profil Friendster pembuat film untuk mengetahui, misalnya, apa yang mereka lakukan sebelum membuat film," tambah Eric menjelaskan sumber data yang kurang.

Selain peluncuran buku, juga diadakan diskusi bersama Eric Sasono, Kemal Arsjad (Produser), dan Harjo Winoto (Peneliti Hukum Persaingan Usaha) terkait buku tersebut yang dimoderatori oleh Prima Rusdi. Kemal banyak bercerita tentang pengalamannya menjadi produser film dan melihat bahwa penonton film Indonesia yang belakangan ini menurun, salah satunya disebabkan sistem distribusi yang belum memadai. "Kami tidak memiliki posisi tawar dengan bioskop. Bioskop ditujukan untuk masyarakat kelas A – B saja, padahal penonton film Indonesia banyak di kelas C – D. Sedangkan dulu, bioskop bisa sampai masuk ke kabupaten," ujarnya.

Harjo banyak memaparkan soal persaingan usaha serta kebijakan ekonomi lain yang mempengaruhi berjalannya industri film di Indonesia, terutama soal distribusi dan ekshibisi film. "Struktur ekonomi yang ada sudah terbentuk sedemikian rupa, sehingga ketika (usaha bisnis) yang lain masuk, jadi didikte struktur yang berlaku tadi," jelasnya tentang pelaku industri film. Ia juga menambahkan posisi industri film yang masih belum pasti antara berada di wilayah kebudayaan atau wilayah bisnis murni. "Selama ini film disamakan dengan produk, yang kalau memberikan untung ya dipertahankan, kalau ternyata rugi ya bisa dimatikan," tambahnya.

Beberapa hal lain juga dibicarakan dalam forum diskusi tersebut yang memang lebih banyak membahas soal upaya distribusi dan ekshibisi, penonton, dan konteks ekonomi politik bagi industri film Indonesia. Buku ini tidak diperjualbelikan dan bagi yang membutuhkan untuk kepentingan tertentu dapat mengirimkan surat elektronik ke redaksi@rumahfilm.org. Eric juga berharap bahwa buku tentang perfilman Indonesia seperti ini bisa terus ada, dalam upaya mencatat perkembangan yang terus terjadi.