Mengikuti kronologi pelaksanaannya, konflik yang terjadi di FFI 2010 sungguh bukan peristiwa yang menunjukkan harapan akan masa depan dunia film Indonesia. Tapi, melihat deret nama dan judul film para pemenang, ada benang merah tematik yang menjalin: pluralisme, sekularisme, globalisasi, dan kritik sosial. Sepertinya pelan-pelan mulai terang bahwa para juri memberi bobot penilaian lebih pada tema dan bukan pencapaian teknis pembuatan film. Bagaimana menyikapi pilihan mereka? Sepertinya keriuhan seputar FFI tahun ini lebih jelas kalau dilihat dengan kacamata politik dan bukan teknis pembuatan film.
Krisis Kepercayaan Terhadap Lembaga FFI
Sejak FFI 2006 ada gelombang protes yang begitu besar terhadap lembaga ini. Pada saat itu yang menjadi pokok persoalan adalah bahwa film pemenang Ekskul memakai musik film tanpa seizin yang berhak. Para pembuat film (yang kebanyakan generasi muda) yang menyebut dirinya Masyarakat Film Indonesia (MFI) mengajukan protes dengan beramai-ramai mengembalikan Piala Citra yang pernah mereka terima.
Protes ini dinyatakan sebagai manifestasi ketidakpercayaan terhadap lembaga FFI akan kemampuannya dalam menilai unsur-unsur suatu karya film. Selain persoalan kemampuan, FFI juga dikritik sebagai institusi yang tidak tanggap terhadap perubahan dalam industri film serta kurang transparan dalam mengelola keuangan (antara lain uang negara).
Protes ini diteruskan dalam bentuk boikot terhadap pelaksanaan FFI. Beberapa pembuat film sampai saat ini tidak mau menyertakan filmnya ikut kompetisi. Hal yang menarik adalah beberapa orang dari penandatangan pernyataan MFI ini ikut serta dalam pelaksanaan FFI 2010 baik sebagai pelaksana, komite seleksi maupun juri.
Apa yang Berubah?
Sepintas lalu konflik yang terjadi pada 2006/2007 seperti terulang lagi pada tahun ini. Pilihan lembaga FFI untuk tidak menyertakan Sang Pencerah menjadi salah satu nomine memicu protes dari banyak kalangan. Film ini mendapat pengakuan positif dari banyak penulis di media massa terkemuka di Indonesia selain juga meraih jumlah penonton terbanyak tahun ini.
Konflik yang terjadi dalam FFI tahun ini sangat berbeda sifatnya jika dibandingkan konflik yang terjadi pada 2006/2007. Kalau konflik sebelumnya menyangkut pelanggaran hak cipta dan manajemen penyelenggaraan, pertentangan kali ini lebih condong pada ”tugas” yang dibebankan kepada suatu film sebagai pembawa pesan sosial/politik. Pertentangan mengenai pesan suatu film bukan yang pertama terjadi dalam sejarah film Indonesia. Pada sekitar tahun 1965 (di luar konteks FFI) juga pernah terjadi perdebatan tentang film yang dianggap membawa pesan progresif revolusioner (sebagai wacana arus-utama) dengan yang tidak (wacana pinggiran).
Dari sisi kualitas teknis film Sang Pencerah sangat layak bertanding, bahkan beberapa unsurnya boleh jadi unggul dibandingkan nomine lain pilihan Komite Seleksi FFI. Tapi dari sisi politik Sang Pencerah mewakili wacana arus-utama dalam peta politik Indonesia (khususnya kelompok yang tidak mendukung identitas bangsa yang sekuler/plural), sementara unggulan lain boleh dibilang mewakili wacana pinggiran: percintaan antar-umat berbeda agama (3 Hati 2 Dunia 1 Cinta), buruh migran (Minggu Pagi di Victoria Park), pencopet/pengangguran (Alangkah Lucunya (Negeri Ini)), perempuan kritis (7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita) dan identitas seksual (I Know What You Did on Facebook).
Keputusan dewan juri versi tidak resmi memberi 9 penghargaan kepada Sang Pencerah, sementara dewan juri versi resmi memberikan 7 penghargaan kepada 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta. Tampak sekali bahwa dewan juri versi resmi lebih mementingkan membela pengucapan wacana pinggiran daripada arus-utama kali ini mengalahkan kepedulian terhadap pencapaian kualitas karya film.
Pilihan dewan juri versi resmi ini bisa dilihat dan dipahami dalam konteks keinginan untuk menonjolkan nilai-nilai pluralisme/sekularisme. Kalau kita lihat lagi, pada masa pasca Orde Baru film Indonesia menjadi sasaran protes dengan mengatas-namakan agama, terutama Islam, seringkali dengan menggunakan ancaman. Sejak kasus film Buruan Cium Gue tahun 2004 sampai sekarang, film-film yang dianggap bertentangan dengan nilai agama Islam mendapat banyak tekanan tanpa perlindungan apapun dari negara.
Selain itu, sejak film Ayat-ayat Cinta berhasil menggalang penonton Muslim ke bioskop tahun 2008, terjadi gelombang pasang film-film yang menggunakan simbol-simbol agama Islam sebagai tambahan bumbu kisah drama percintaan. Pengamat/peneliti Intan Paramaditha dalam tulisannya di buku Mau Dibawa Ke Mana Sinema Kita? (2010) mencatat bahwa simbol Islam diadaptasi sebagai strategi memperoleh posisi sosial yang lebih baik dalam masyarakat meskipun simbol-simbol itu hanya bersifat polesan permukaan saja.*
Keinginan untuk mendobrak wacana arus-utama tidak hanya kelihatan dalam pilihan pemenang film panjang FFI tahun ini tapi juga pada pemenang film pendek Kelas 5000an yang menceritakan tekanan yang dialami para penari tayub akibat UU Pornografi. Meskipun begitu, apakah memang film 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta betul-betul menawarkan wacana pluralisme sebagai alternatif atau sama seperti kecenderungan umum hanya menumpangkan masalah percintaan antar umat agama berbeda sebagai bumbu kisah cinta? Saya harus mengakui bahwa saya belum menonton karya ini sehingga tidak bisa memberi penilaian tentang isinya.
Kalaupun memang Sang Pencerah dan 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta menurut Dewan Juri mewakili kutub-kutub yang berbeda pandangan politik, rasanya FFI bukan forum yang tepat sebagai medan pertikaian dan eksklusi (exclusion) bukanlah langkah yang bijaksana. Jikapun ada film yang dianggap menawarkan nilai-nilai yang dianggap penting, tentunya bisa diberi penghargaan khusus sebagaimana yang sudah dilakukan selama ini sementara penilaian film sesuai standar teknis tetap dilakukan. Kalau ini bisa tercapai, justru akan terlihat bahwa profesi membuat film dapat mempertemukan pihak-pihak dengan kepentingan politik yang berbeda akan tetapi disatukan oleh keinginan mencapai keutamaan dalam seni/teknik membuat film. Persembahan paling baik yang bisa diberikan film Indonesia kepada penonton dunia hanya bisa dilakukan melalui penyempurnaan seni/teknik membuat film.
Kalau FFI berubah menjadi tempat adu kepentingan politik, bagaimana lembaga FFI pada masa depan akan menjaga kesetimbangan antara kebutuhan menyuarakan keragaman wacana dengan pencapaian teknis pembuatan film? Apakah FFI memang selamanya merasa lebih baik menjadi sarana pertentangan politik dan mengorbankan potensinya menjadi barometer pencapaian estetika film Indonesia? Jika ya, maka selain kurang terpercaya sebagai penilai kualitas film dan dicurigai tidak transparan manajemen keuangannya, lembaga FFI menimbulkan masalah baru lagi: menyodorkan diri menjadi situs persaingan politik. Bukankah situs ini lebih cocok bertempat di DPR saja?
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pendapat redaksi www.filmindonesia.or.id
----------
* Intan Paramaditha, “Passing dan Naratif “Pindah Agama”: Ayat-Ayat Cinta dan Performativitas Muslim Indonesia Kontemporer”, dalam Mau Dibawa Ke Mana Sinema Kita?, (ed.) Khoo Gaik Cheng, Thomas Barker (Penerbit Salemba Empat, Jakarta: 2010)