Sejak Agustus 2011 lalu, Lewat Djam Malamtengah menjalani proses restorasi di Bologna, Italia. Film tersebut diperiksa kondisinya, kerusakan-kerusakannya, lalu kemudian diperbaiki, baik gambar maupun suaranya, sehingga film bisa kembali memiliki kualitas terbaik. Targetnya adalah mencapai kualitas film ketika pertama kali film dirilis pada tahun 1954. Pada perhelatan Festival Film Indonesia (FFI) 2011 lalu, sebagian contoh hasil restorasi Lewat Djam Malam juga sempat ditayangkan. Seluruh hasil restorasi ini diperkirakan selesai dan kembali ke Indonesia akhir Maret tahun ini.
Inisiatif restorasi film ini berasal dari National Museum of Singapore(NMS), yang kemudian bekerja sama dengan Yayasan Konfiden dan Sinematek Indonesia. Pada awalnya, pihak NMS yang diwakilkan oleh Philip Cheah menghubungi Lisabona Rahman, untuk memberitahukan bahwa NMS memiliki program restorasi film dan kali ini mereka tertarik merestorasi film Indonesia. Fokus program NMS sendiri memang tidak hanya untuk Singapura, tetapi juga Asia Tenggara. Lisabona kemudian mengarahkan pihak NMS ke JB Kristanto untuk bantuan dan rekomendasi.
"Ketika itu memang yang direkomendasikan JB Kristanto hanya muncul satu judul, Lewat Djam Malam. Alasannya, dia pemenang FFI pertama pada 1955. Kedua, film ini membicarakan hal yang masih sangat relevan sampai sekarang, salah satunya tentang korupsi. Sesederhana itu. Selain itu karena memang filmnya bagus," ujar Lintang Gitomartoyo, penanggung jawab proyek restorasi ini.
NMS kemudian membutuhkan bantuan untuk menjembatani antara NMS dengan Sinematek, sebagai lembaga penyimpanan film di Indonesia. Pada awalnya, Lisabona ditunjuk sebagai penanggung jawab atas nama pribadi. Namun, kemudian muncul ide untuk menjadikan ini bagian dari program Yayasan Konfiden. "Kebetulan Konfiden punya sumber dayanya, dan memiliki perhatian besar terhadap pengarsipan dan preservasi film, mengapa kami tidak membantu?" tambah Lintang.
Pembagian kerjanya sebagai berikut: Yayasan Konfiden mengurus pengiriman semua materi film yang ada di Sinematek ke laboratorium restorasi, sedangkan NMS mendanai seluruh biaya restorasi film dan menjadi penghubung kepada pihak laboratorium. Konfiden juga akan mengurus materi-materi pelengkap, macam subteks film, acknowledgement, credit title, sampai teks untuk booklet ketika nanti film hasil restorasi diputar untuk publik. Sedangkan kontrak proyek restorasi ini adalah antara NMS dengan Irwan Usmar Ismail, perwakilan dari pemilik film yang juga keluarga dari Usmar Ismail.
Tahapan Proyek Restorasi
Langkah pertama dalam merestorasi film adalah menentukan tempat restorasi, bukan metode restorasinya. Hal ini dikarenakan pihak yang dianggap paling paham dan bisa menentukan metode restorasi adalah tempat restorasi itu sendiri.
"Restorasi film itu butuh keahlian tersendiri dan sangat spesial sekali, sehingga proses pemilihan tempat restorasi ini melalui lelang (tender) atau proposal. Kami harus tahu lebih dulu film ini akan diberlakukan tindakan apa di sana, untuk kemudian bisa memilih. Termasuk ketika memeriksa kondisi filmnya sendiri, karena kita tidak punya ahlinya, Singapura juga tidak mengerti, maka ditanyakan ke tempat restorasinya," ujar Lintang menjelaskan. Setelah melalui proses lelang, laboratorium yang dipilih untuk menangani restorasi Lewat Djam Malam adalah L'Immagine Ritrovata, Bologna, Italia.
Pengiriman pertama ke Bologna dilakukan pada Januari 2011 lalu. Ada sembilan reel yang dikirim. Lewat Djam Malam sendiri terdiri dari sepuluh reel, mulai dari original camera negative, duplicate negative, duplicate positive, hingga sound negative. Laboratorium memerika terlebih dahulu kondisi filmnya bagaimana, baru kemudian menentukan apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki.
Hasil dari pemeriksaan awal dipresentasikan di Singapura pada bulan Maret 2011. Lisabona dan Lintang turut hadir di sana. "Pertemuan tersebut bukan sekedar menunjukkan bahwa film ini kondisinya terakhirnya seperti apa, tetapi juga menunjukkan kemungkinan-kemungkinan metode restorasinya. Misalnya, jika direstorasi dengan output 4K akan seperti apa, kalau dengan 2K akan seperti apa. Jadi, kami diperlihatkan aslinya seperti apa, kemungkinan-kemungkinan output-nya bagaimana dengan metode restorasi tertentu. Jadi, mereka mengajukan, NMS memilih dan menentukan, dengan mempertimbangkan anjuran yang kami berikan pada waktu itu," jelas Lintang.
Barulah kemudian keseluruhan reel film Lewat Djam Malam dikirim lagi ke Bologna. Sama seperti pada pengiriman pertama, reel yang dikirim juga terdiri dari original camera negative, duplicate negative, duplicate positive, dan sound negative. Semua bahan ini diperlukan agar pihak laboratorium bisa memilih dan mendapatkan materi yang paling baik.
NMS kemudian memilih proses restorasi digital yang sifatnya menurun per tahap kualitasnya. Titik mulanya adalah proses film scanning dengan kualitas 4K, kualitas yang paling tinggi. Film kemudian dibersihkan, dirapikan, dan diperbaiki dengan kualitas 3K. Hasil akhirnya dua: seluloid dan DCP kualitas 2K. Pilihan DCP kualitas 2K inidikarenakan proyektor yang lebih banyak dipakai adalah proyektor 2K, sedangkan proyektor 4K masih terbatas. Hasil akhirberupa seluloid dipilih karena masih dianggap sebagai bentuk penyimpanan data yang paling baik dan bisa bertahan selama ratusan tahun.
Kendala
7 Februari 2012 lalu, pihak laboratorium mengadakan presentasi hasil kerja mereka di Singapura. Perwakilan dari Indonesia yang datang adalah Irwan Usmar Ismail, JB Kristanto, dan Lintang sendiri. "Sebetulnya belum seratus persen selesai dikerjakan. Hitungannya mungkin baru 60-70%. Jadi, yang sudah selesai direstorasi itu suaranya, mulai dari reel satu sampai sepuluh, sudah selesai semuanya. Sedangkan untuk gambar, baru setengah dari total reel keseluruhan," jelas Lintang.
Dari hasil restorasi yang dipresentasikan, pihak lab menunjukkan ada beberapa masalah yang memang tidak bisa diperbaiki. Masalah pertama adalah jamur pada seluloid film, sehingga pada beberapa bagian, gambarnya tidak akan jernih sepenuhnya. "Dari semua copy, termasuk negatif dari Lewat Djam Malam yang dikirim ke Bologna, itu dari ujung ke ujung berjamur. Jamur ini hidup. Jadi, kalau dibiarkan, dia akan terus melebar, melebar, dan melebar, yang kemudian bisa menyebabkan gambarnya hilang. Bukan seluloidnya yang hilang, tapi gambarnya yang hilang sama sekali. Data yang terekam di seluloid itu akan hilang sama sekali," jelas Lintang.
Pada film Lewat Djam Malam sendiri, ada jamur-jamur yang tidak dapat diangkat atau dikurangi sama sekali karena jamur tersebut ada dalam frame-frame yang merupakan bagian dari adegan yang ada pergerakan di dalamnya. "Misalnya, pada adegan awal. Ada jamur yang tidak bisa diangkat karena adegannya menunjukkan Iskandar yang sedang lari dikejar oleh polisi patroli,” tambah Lintang. Namun, lewat restorasi ini, kemungkinan jamur yang hidup dan terus melebar juga sudah dihentikan.
Masalah kedua adalah bagian suara yang hilang pada menit ke 45 di reel lima. Durasi total suara yang hilang adalah 1 menit 46 detik. "Waktu itu kami sudah berpikir bagaimana caranya supaya ada suaranya dan sempat terpikir untuk dubbing. Namun, bukannya tidak boleh, tapi menurut pihak lab, hasilnya nanti tidak akan sama, dan memang tidak lazim dilakukan. Yang lazim dilakukan ketika data dari film itu hilang adalah dengan menggantinya dengan bentuk teks. Waktu itu memang solusinya membuat dua subteks sekaligus kalau suara yang hilang ini tidak ketemu," ujar Lintang.
Untungnya, suara yang hilang tersebut dapat ditemukan pada copy lain yang ada di Sinematek Indonesia. Kekhawatiran akan adanya suara yang kosong pada pertengahan film dapat dihindari. Dengan begitu, ada tahapan yang harus dilalui lagi: mengirim copy film yang bersuara komplit ke Bologna.
Rencana Pasca Restorasi
Lewat Djam Malam hasil restorasi akan diputar perdana di Singapura pada 28-31 Maret. Mereka membuat program pemutaran berjudul Merdeka!: The Independence of Indonesian Cinema and Independent Cinema. Akan ada enam film Indonesia yang diputar: tiga film Usmar Ismail (Lewat Djam Malam, Tamu Agung, dan Darah dan Doa) dan tiga film Garin Nugroho (Surat untuk Bidadari, Puisi Tak Terkuburkan, dan Mata Tertutup). "Lagi-lagi tiga orang perwakilan Indonesia tadi diundang untuk presentasi di acara tersebut, dan karena tanggal pemutaran di Singapura bertepatan dengan Hari Film Nasional di Indonesia, berarti pemutaran perdana di Indonesia baru bisa dilakukan setelahnya," kata Lintang.
Indonesia sendiri akan memperoleh file DPX (Digital Cinema Exposure) yang termuat dalam bentuk DCP (Digital Cinema Package) dan negative print 35mm Lewat Djam Malam yang sudah dibersihkan. "Semua materi film yang rusak juga akan dikembalikan dan kita juga akan mendapat copy 35mm negatif yang sudah direstorasi. Kita juga akan mendapat HD Master dari film ini," ujar Lintang, "Semua hasil restorasi yang diberikan, baik copy positif 35mm, DCP, dan juga negatif yang sudah direstorasi, akan disimpan di Sinematek Indonesia."
Berhubung proyek restorasi ini melibatkan beberapa pihak luar, momen ini membuka pintu jaringan Indonesia dengan beberapa lembaga dunia. Salah satunya Cineteca Bologna. sebuah tempat arsip di Bologna yang juga memiliki hubungan institusi dengan lab L'Immagine Ritrovata. Cineteca juga merupakan salah satu anggota dari World Cinema Foundation yang diketuai Martin Scorsese. Cineteca memang memiliki perhatian tersendiri untuk pengarsipan sejarah dan warisan budaya dunia. Lewat proyek restorasi ini, Cineteca menerbangkan perwakilannya, Cecilia Cenciarelli, ke Jakarta pada awal Februari lalu ke Jakarta. Mereka banyak mencari tahu bagaimana kondisi perfilman, baik kondisi industri maupun preservasi, khususnya di Singapura dan Indonesia. Selain itu, mereka juga mengenalkan institusi mereka dan sebaliknya.
Selain itu, Cineteca Bologna juga mengadakan festival tahunan yang memutar film-film hasil dari program restorasi yang mereka lakukan berjudul Il Cinema Ritrovato. Maka dari itu, ke depannya, film Lewat Djam Malam juga akan diputar di festival tersebut Juni mendatang. Apakah akan ada rangkaian pemutaran keliling dunia? "Untuk pemutaran ke luar masih akan dibicarakan. Apalagi karena hanya punya satu copy yang bersubteks, dan mungkin tidak semua festival tidak bisa memutar DCP. Harus didiskusikan lebih lanjut. Ada keinginan untuk bisa memutar film ini di festival-festival yang memiliki perhatian khusus atas preservasi film. Pokoknya, jika ada rencana mengenalkan proyek ini ke dunia, Indonesia-Singapura yang akan maju bersama, karena proyek ini adalah hasil kerjasama dua negara," tambah Lintang.
Pemutaran di Indonesia dan Kampanye
Untuk di Indonesia sendiri, Lintang mengatakan belum ada rangkaian kegiatan yang pasti terkait hasil restorasi film Lewat Djam Malam ini. Pastinya akan ada seremonial, baik penyerahan film dari perwakilan keluarga Usmar Ismail ke Sinematek Indonesia, maupun pemutaran perdana, sekaligus kampanye soal penyelamatan arsip film Indonesia dan membangun kesadaran publik terkait hal tersebut. "Kami belum tahu akan seperti apa, tapi yang jelas usaha ini tidak boleh berhenti karena masih banyak film Indonesia yang kondisinya jauh lebih buruk daripada film ini."
Lintang menambahkan bahwa upaya restorasi film kali ini bisa dikatakan kebetulan yang menyenangkan. Persiapan yang dilakukan sebenarnya masih kurang. "Proyek ini bisa dibilang ibarat durian runtuh. Jadi, untuk selanjutnya, tidak bisa terus mengandalkan dan menunggu kebetulan-kebetulan lain dan baru bisa merestorasi film Indonesia. Jika mau ada berikutnya, maka harus benar-benar mencari dan merencanakan. Ini bisa dimulai dengan memeriksa ulang ratusan judul film di Sinematek lagi, mengelompokkan, dan mendeteksi penyakitnya masing-masing. Nanti bisa tahu, mana yang sudah di dalam kondisi akut, ada berapa judul, dan kemudian bisa membuat prioritas," jelas Lintang.