Southeast Asian Film Festival (SEAFF) memasuki tahun ketiga. Ada dua puluh tujuh film yang akan diputar tahun ini; enam di antaranya film Indonesia: Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya (Yosep Anggi Noen), Atambua 39C (Riri Riza), Mangga Golek Matang Pohon (Tonny Trimarsanto), Postcards from the Zoo (Edwin), Sang Penari, serta Rumah dan Musim Hujan (Ifa Isfansyah). Masing-masing film akan diputar sekali sepanjang penyelenggaraan festival dari 22 Maret-14 April 2013 di Singapore Art Museum.
Rangkaian pemutaran film ini dikurasi oleh Phillip Cheah dan Teo Swee Leng, pegiat film dan seni yang terhitung senior di Singapura. Harapannya, SEAFF dapat menjadi forum diskusi publik perihal identitas Asia Tenggara sebagai sebuah kawasan yang sejarah dan budayanya saling bertautan. Hal ini yang coba diwujudkan melalui diskusi pasca sejumlah pemutaran film. Khusus untuk film Indonesia, akan ada diskusi dengan pembuat film setelah pemutaran Atambua 39C, Sang Penari, serta Rumah dan Musim Hujan.
Dalam catatan program SEAFF, Philip menuliskan, “Satu wacana yang mengusik kita selama ini adalah bagaimana kawasan kita diimajinasikan ulang oleh kekuatan-kekuatan kolonial. Itulah kenapa Bandung disebut sebagai Paris di kawasan Timur. Itu juga kenapa bangsa Inggris begitu bersikeras membangun New Delhi, karena kota Delhi yang lama tidak sesuai akan bayangan mereka akan peradaban. Faktanya, pengimajinasian ulang yang perlu dilakukan sekarang adalah melihat kawasan Asia Tenggara dengan apa adanya.”
Terkait dengan Indonesia, Philip mengambil contoh Mangga Golek Matang Pohon. Dokumenter karya Tonny Trimarsanto ini dianggap mampu mencerminkan kehidupan masyarakat di Jakarta dan Palu melalui cerita seorang waria bernama Renita.