Akhir Agustus ini, edisi perdana ARKIPEL International Documentary & Experimental Film Festival siap meramaikan perfilman nasional. Festival yang diselenggarakan Forum Lenteng ini akan berlangsung selama enam hari, dari 24 sampai 30 Agustus, di lima titik di Jakarta: Goethe-Institut, Kineforum dan Teater Kecil di Taman Ismail Marzuki, serta Sinematek Indonesia dan Usmar Ismail Hall di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail. Total ada 75 film dari 29 negara yang akan diputar; semua pemutaran gratis.
36 film peserta merupakan hasil seleksi International Competition, dan empat di antaranya menjadi pembuka ARKIPEL di Goethe-Institut: Climax (Shinkan Tamaki-Jepang), Les fantomes de l’escarlate (Julie Nguyen Van Qui-Prancis), Momentum (Boris Seewald-Jerman), dan Hermeneutics (Alexei Dmitriev-Russia). Ada pula tiga film Indonesia yang akan ikut berkompetisi: Perampok Ulung (Marjito Iskandar Tri Gunawan), Canggung (Tunggul Banjaransari), dan The Flaneurs #3 (Aryo Danusiri).
39 film lainnya terbagi dalam program-program kuratorial, pemutaran khusus, serta presentasi hasil kerjasama dengan Images Festival dan Bangkok Experimental Film Festival. Ada sepuluh program kuratorial yang ARKIPEL sajikan; masing-masing membahas satu sampai tiga film dalam suatu kerangka pembacaan sosial, politik, budaya, sejarah, maupun estetika sinema. Harapannya, pembacaan ini bisa menjadi poin diskusi sendiri di kalangan penonton. Total ada tujuh film Indonesia yang akan diputar dan didedah dalam program-program kuratorial ini: Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (Hafiz Rancajale, 2013); Apa Jang Kau Tjari, Palupi? (Asrul Sani, 1969); Denok & Gareng (Dwi Sujanti Nugraheni, 2012); Negeri di Bawah Kabut (Shalahudin Siregar, 2011); Dongeng Rangkas (Forum Lenteng, 2011); dan Naga yang Berjalan di Atas Air (Otty Widasari, 2012).
Salah satu pemutaran khusus di ARKIPEL adalah pemutaran perdana Elesan deq a Tutuq (Jejak yang Tidak Berhenti), dokumenter hasil kolaborasi Syaiful Anwar, Gelar Agryano Soemantri, dan Muhammad Sibawaihi. Film ini bercerita tentang pergaulan sosial masyarakat Sasak di Desa Pemenang, Lombok, menghadapi budaya baru yang dibawa wisatawan-wisatawan asing beberapa tahun belakangan.
Selain memutar film, ARKIPEL turut mengadakan forum-forum diskusi, terbuka untuk umum, membahas isu-isu terkini dalam perfilman nasional. Ada tiga topik yang dibahas dalam penyelenggaaan festival kali ini: pengarsipan film, aktivisme lewat sinema, dan kritik film.
Jadwal pemutaran film dan kegiatan ARKIPEL selengkapnya dapat dilihat di situs resmi festival.
Pembacaan Sosial
ARKIPEL merupakan respons Forum Lenteng terhadap perkembangan global dalam konteks sosial, politik, ekonomi, dan budaya melalui sinema dokumenter dan eksperimental. Hafiz Rancajale, selaku direktur artistik festival, menjelaskan bahwa “Gagasan festival ini adalah menyuarakan bagaimana persoalan-persoalan kebudayaan dapat dibaca dalam kurun waktu tertentu. Idealnya, festival film dapat menjadi event yang menghadirkan capaian puncak sutradara-sutradara dari berbagai kalangan, baik secara estetika dan kontennya.”
Forum Lenteng sendiri, berdomisili di Lenteng Agung, Jakarta, dikenal sebagai komunitas yang aktif bergerak dalam pembangunan basis pengetahuan sinema di Indonesia. Program-program mereka, dalam sepuluh tahun terakhir, dekat dengan pengkajian fenomena sosial-budaya lewat medium film dan pemberdayaan komunitas di daerah-daerah. Tiga di antaranya: Akumassa, Senin Sinema Dunia, dan Doc Files.
Forum Lenteng dengan tegas menggariskan gagasan sinematik yang ingin ditampilkan dan didiskusikan dalam ARKIPEL. “Film dokumenter yang dimaksud Forum Lenteng adalah film dokumenter yang merujuk pada bahasa film yang berlaku dalam tradisi sinema, bukan film dokumenter televisi. Dalam tradisi sinema, film dokumenter juga dapat menghadirkan drama, konflik, imajinasi, dan ruang kritik bagi penonton. Hal ini tentu berkaitan dengan bagaimana eksperimentasi bahasa sinema yang dilakukan oleh sutradara dalam mengemas kenyataan,” tutur Hafiz, “Sedangkan film eksperimental yang dimaksud Forum Lenteng adalah bagaimana eksperimentasi medium dan konten dalam film menghadirkan kebaruan secara estetika. Hal ini merujuk pada sejarah sinema avant-garde dalam sejarah sinema dunia. Eksperimentasi di sini, bukan hanya dalam konteks filmnya saja, namun juga bagaimana film digunakan dalam tindakan yang mengaktivasi persoalan-persoalan sosial kebudayaan di ranah publik.”
Yuki Aditya, direktur festival, mengharapkan ARKIPEL bisa jadi titik temu antara khalayak dan film-film yang tak biasa ditemukan. “Niat kita membuat festival selain untuk mencari ‘suara-suara’ baru berbakat dalam membuat film dan bereksperimentasi dengan mediumnya, juga sebagai ruang diskusi yang lebih luas. Luas dalam artian menyebarluaskan pengetahuan tentang film dokumenter dan eksperimental ke audiens lebih banyak dari sekedar di Forum Lenteng saja dan juga eksposur terhadap film-film yang selama ini belum banyak diketahui banyak orang. Dengan kata lain, menyediakan alternatif tontonan dan menyediakan ruang diskusi alternatif untuk orang-orang yang suka menonton film.”