Absennya film-film dari Asia Tenggara di Festival Film Locarno sudah sering menjadi bahan pembicaraan serius di antara para programmer-nya; Maklum, sebagai salah satu festival tertua di dunia, Locarno termasuk ketinggalan dalam menyambut gelombang baru sinema di Asia Tenggara sejak masuknya era digital sepuluh tahun belakangan ini. Hal ini diakui pula oleh Mark Parenson, salah satu dewan komite seleksi di Locarno.
Ketika gelombang baru sinema Malaysia yang mulai meramaikan festival-festival film Internasional di Eropa, hanya film Sham Moh karya Ho Yuhang yang pernah masuk seksi Kompetisi Internasional pada tahun 2009. Selebihnya, karya para sutradara dari kelompok Sinema Kecil Malaysia seperti Tan Chui Mui, James Lee, Ming Jin Woo, dan yang lainnya hanya pernah ditampilkan di program Open Doors tahun 2006, semacam program pencarian bakat baru. Setelah itu, tahun 2008, Locarno pernah menayangkan film Muallaf, karya Yasmin Ahmad di program Ici Et Ailleurs.
Ini tidak hanya terjadi dengan Malaysia. Bahkan film-film Apichatpong Weerashetakul, sutradara Thailand, yang menjadi juri untuk program Kompetisi Internasional tahun ini pun, tidak pernah masuk seksi kompetisi apapun. Film karya Apichatpong yaitu Blissfully Yours dan Worldly Desires, hanya pernah diputar di seksi Open Doors dan Kompetisi Video, juga pada 2006 bersamaan dengan negara Asia Tenggara lainnya termasuk Malaysia dan Indonesia.
Dari Thailand, satu-satunya film yang pernah masuk Kompetisi Filmmakers Of The Present hanyalah Drifting Paradise karya Wang Chun-Hsiung tahun 2006. Selain itu, satu-satunya film Thailand yang pernah diputar di Piazza Grande adalah Mah Nakorn (Citizen Dog) karya Wisit Sasanatieng pada tahun 2005. Film-film yang diputar di Piazza Grande biasanya adalah film-film yang cenderung komersil karena khusus dipertontonkan di arena terbuka dimana semua orang bisa menonton.
Selama satu dekade ini, satu dua film dari Asia Tenggara muncul di kompetisi utama, seperti Gardien de Buffles (Buffalo Boy) karya Minh Nguyen-Vo asal Vietnam (dengan dana sepenuhnya dari Perancis dan Belgia) tahun 2004 di Kompetisi Internasional, Love Story karya Kelvin Tong asal Singapura tahun 2006, dan Senorita karya Vincent Sandoval dari Filipina tahun 2011 yang masuk seleksi Filmmakers Of The Present. Selebihnya, Asia Tenggara tidak punya daftar panjang di Festival Film Locarno.
“Bukan hanya di Locarno sebetulnya, di program Director's Fortnight Festival Film Cannes beberapa tahun belakangan ini juga mendapat kritikan sama,” kata Mark Peranson, programmer dan salah satu dewan komite seleksi Locarno. Karena itu, di tahun 2009, ketika Olivier Père yang kala itu menjabat sebagai direktur artistik Director's Fortnight direkrut menjadi direktur artistik Festival Film Locarno, Asia Tenggara mendapat perhatian khusus. “Tapi kami tidak ingin menetapkan kuota wilayah. Kami memang mencari film-film dari Asia Tenggara, tapi tidak lantas memilih apa saja yang tersedia,” kata Peranson.
Menurut Peranson, kendala utama bagi Locarno adalah tidak melakukan scouting dengan menempatkan programmer secara khusus di setiap wilayah, seperti yang biasa dilakukan festival-festival film besar lainnya. “Selain itu, sebisa mungkin kami menghindari film-film yang sudah pernah diputar di festival film lain sebelumnya,” kata Peranson.
Memang, dalam setiap program di Locarno—kecuali retrospeksi—hampir semua film adalah film yang baru pertama kali ditayangkan diseluruh dunia (world premiere). Hal ini memperketat pilihan film-film yang tersedia, ditambah lagi dengan selera para programmer Locarno yang menghindari film-film populer kecuali untuk program Piazza Grande. Satu hal yang juga menjadi prinsip Locarno adalah copy-paste programfilm-film yang sudah pernah ditampilkan di festival lainnya. Ada festival yang benar-benar memilih semua film-film yang pernah terseleksi Festival Film Cannes. Tahun ini, satu-satunya film yang masuk seleksi Cannes dan diputar di Locarno hanyalah Holy Motors, karena menjadi bagian dari retrospeksi karya-karya Leos Carax.
Vakansi
Prinsip-prinsip ini membuat program-program utama di Festival Film Locarno selalu segar dan penuh kejutan karena penonton menonton sebuah film tanpa 'bekal' review sebelumnya. Salah satu cara untuk tetap mempertahankan kesegaran di dua program utamanya yaitu Concorso Internazionale dan Cineasti Del Presente adalah dengan memanfaatkan jaringan yang ada antara Olivier Père, sang direktur artistik, dengan koleganya di Director's Fortnight.
Menurut Peranson, sebagai programmer, mereka bisa maklum kalau semua film-film terbaik dari seluruh dunia menjadikan Festival Film Cannes sebagai kiblat. “Semua filmmaker mengirimkan screener mereka ke Cannes, tapi di sana mereka punya batasan, dan akhirnya yang terpilih biasanya adalah film-film dari sutradara yang sudah punya nama,” katanya. Selebihnya, film-film yang tidak terjaring di Cannes tapi banyak dibicarakan di antara sesama programmer biasanya akan jadi 'rebutan'. Salah satunya, kata Peranson, adalah Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya karya Yosep Anggi Noen.
Peranson mengakui, masuknya film Indonesia di Cineasti Del Presente adalah salah satu pencapaian penting dalam sejarah festival film yang sudah memasuki usia 65 tahun tersebut. Generasi baru sinefil di Locarno hanya pernah mengenal film-film Indonesia lewat program Open Doors tahun 2006 sebagai bagian dari perkenalan kepada sinema Asia Tenggara yang kala itu menghadirkan Riri Riza (Eliana, Eliana), Garin Nugroho (Surat Untuk Bidadari), Ravi Bharwani (The Rainmaker), dan Nan Achnas (Pasir Berbisik).
Selain sutradara Indonesia di Open Doors, hanya Garin Nugroho yang pernah mendapat penghargaan khusus Video Silver Leopard (juara kedua film panjang dari Sony yang kala itu menjadi sponsor festival) untuk filmnya Puisi Tak Terkuburkan tahun 2000. Jauh sebelum itu, film Indonesia pertama yang masuk program utama adalah film berjudul Pulang karya Basuki Effendy di tahun 1955.
Maka, adanya film Indonesia—dan satu-satunya dari Asia Tenggara—di program kompetisi Locarno tahun ini menjadi istimewa. Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya termasuk film yang dikawal ketat oleh pihak Locarno yang hanya menginginkan film ini berstatus world premiere. Pihak panitia bahkan meminta para wartawan yang sudah menonton di pemutaran khusus untuk press untuk tidak menulis review sebelum pemutaran resmi untuk umum.
Tapi, pengalaman sinematik yang berbeda dengan film-film art-house Eropa khususnya dari Perancis atau Italia membuat para jurnalis saling menunggu apa yang akan ditulis oleh jurnalis lainnya. Saat artikel ini ditulis, Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya sudah ditonton publik dan dicatat sebagai film Indonesia pertama dari generasi digital yang masuk kompetisi di Festival Film Locarno.
Di Press Lounge tempat berkumpulnya para wartawan, Vakansi dibicarakan dan dianggap sebagai film yang 'aneh dan penuh kejutan' dan dimasukkan kategori art-house from the south-east, satu kelas dengan film-film Apichatpong Weerasethakul dan Brillante Mendoza yang juga pernah menjadi juri (satu-satunya film Brillante yang pernah diputar di sini adalah Serbis, sebagai bagian dari program karya juri). Salah satu wartawan mengomentari soal artis dan aktor dalam Vakansi, “They are beautiful people. Are they famous actors?”