Artikel/Kajian Dari BKIF ke Konsorsium Sampai Asosiasi

Kajian A Rahim Latif 21-02-2011

Dimuat di Berita Buana (tanggal muat sekitar tahun 1990)

Kebijakan film impor selama kurun waktu lima Pelita telah dijelaskan oleh Harmoko (menteri penerangan ketika itu, ed). Menurut Antara (20/7/90), dalam kesempatan dengar pendapat dengan Komisi I DPR-RI, Menpen telah menguraikan riwayat pembentukan Asosiasi Importir Film Indonesia (AIFI), yang dimulai pada Pelita I dengan pendirian Badan Koordinasi Importir Film (BKIF).

Pada Pelita II, BKIF diubah menjadi Konsorsium Importir Film (KIF), dengan anggota 76 importir. Jumlah kuota film impor masa itu terakhir 360 judul per tahun. Kemudian pada Pelita III, KIF diubah lagi menjadi Asosiasi Importir Film (AIF), dengan anggota tidak kurang dari 26 importir dan kuota per tahun 250 judul.

Pada Pelita IV dan V sekarang ini, AIF tetap dipertahankan terdiri dari tiga asosiasi, dengan 16 importir, masing-masing 6 importir film Mandarin, 5 importir Asia non-Mandarin, dan 5 importir Eropa-Amerika.

Tahun 1990, jumlah kuota film impor 160 judul, turun 10 judul dibanding tahun sebelumnya, mengingat kebijakan Pemerintah Indonesia menempatkan film impor tidak lebih dari sekedar suplemen belaka.

Ketika itu, Menpen Harmoko juga menyatakan, “selama dasawarsa terakhir, dalam upaya menjadikan film Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri, kegiatan di bidang impor film telah mengalami penciutan jumlah perusahaan dan penurunan jumlah kuota cukup drastis.”

Bersama kenaikan jumlah bioskop, yang menurut data Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) mencapai 2.306 gedung terdiri atas 2.853 layar, penurunan kuota membantu perkembangan industri film nasional. “Dan sekaligus membuktikan bahwa kebijakan Pemerintah Indonesia menciptakan suasana yang menunjang cukup memberikan hasil,” demikian Menpen Harmoko.

Bila keberhasilan yang dimaksud diukur dari sisi turunnya jumlah kuota film impor setiap tahun dan meningkatnya jumlah bioskop, memang tidak perlu disangkal hal ini merupakan sebuah prestasi yang besar. Akan tetapi, bila ukuran keberhasilan adalah kenyataan kondisi perfilman nasional dewasa ini, maka penilaiannya pun harus bertolak dari pertanyaan, sejauh mana perfilman kita telah mencapai sasaran untuk menjadikannya tuan rumah di negeri sendiri? Karena, kenyataannya, kesimpulan bahwa segala kebijakan yang ada telah membuahkan hasil yang baik bagi pengembangan film nasional, jadi tidak relevan bila diproyeksikan pada kondisi nyata perfilman kita yang sekarang ini justru berada dalam keadaan yang sangat memprihatinkan.

Kenyataan ini ditandai oleh makin merosotnya mutu film nasional, akibat tumpulnya kreativitas, makin menciutnya pasar bagi film nasional di negerinya sendiri, dan makin membengkaknya pasar bagi film impor. Disusul pula dengan kematian pengedar film nasional dan munculnya pengedar tunggal daerah yang berafiliasi dengan kekuatan film impor. Sebuah kondisi yang menekan film nasional sampai pada titik yang membuatnya tidak berdaya. Begitu pula dengan gugurnya bioskop-bioskop ke dalam kekuasaan satu tangan yang nota bene lebih mengutamakan film impor sebagai primadona ekonomi perfilman.

Untuk memahami kenyataan dan sekaligus mendudukkan masalah pada proporsinya yang benar, ada baiknya bila uraian tentang perjalanan riwayat pembentukan BKIF, Konsorsium dan Asosiasi berikut liku-liku dan politik dagang yang menelitinya, kita telusuri bersama dalam rangka mencari kebenaran objektif. Agar semua pihak dapat melakukan penilaian yang dilengkapi oleh data dan fakta praktek lapangan.

Di sekitar tahun 1962/63, Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) yang didalangi PKI yang sampai merembet pada pemboikotan terhadap film-film Inggris, India, dan bahkan juga Malaya pada zaman ganyang Malaysia, menyebabkan dunia perfilman dan perbioskopan di Indonesia waktu itu memasuki hari-hari kelabu. Sementara film-film nasional tak mampu mengisi kekosongan karena jumlah produksi makin merosot dari hari ke hari dan film-film dari negeri blok timur (kebanyakan asal RRC dan Rusia), juga tak berhasil mengubah selera penonton yang sudah “fanatik” pada film-film Amerika, India, dan Malaysia.

Akibat keadaan itu, banyak bioskop tutup. Banyak juga yang lantas berganti wajah antara lain dengan menyulap gedungnya sebagai panggung sandiwara, wayang orang atau bahkan gudang beras, sehingga sisa bioskop paling banyak hanya 350 gedung. Sebelumnya, jumlah bioskop di Indonesia mencapai 800 buah.

Keadaan jadi makin gawat ketika pemerintah akhirnya menghentikan kegiatan AMPAI (perwakilan film Amerika) tepat pada tanggal 17 Agustus 1964. Keadaan ini segera disusul merosotnya produksi film nasional ke tingkat terendah (hanya 1-2 judul) sewaktu penghianatan PKI terjadi tahun berikutnya.

Ketika penghianatan itu berhasil ditumpas, pemerintah orde baru juga mengambil langkah-langkah untuk menggairahkan kembali kehidupan perfilman dan perbioskopan. Menpen B.M. Diah, waktu itu, menempuhnya antara lain dengan cara membuka kran film impor.

Importir film nasional yang tergabung dalam Giprodfin (Gabungan Importir-Produsen Film Indonesia) segera membanjiri pasar, mula-mula dengan film-film Eropa, terutama eks Italia, yang kemudian disusul dengan film-film Amerika independen maupun major companies (MGM, Fox, dan sebagainya) yang tergabung dalam MPEAA. Jumlahnya pernah mencapai 700-an judul.

Setiap judul film dikenakan dana RP 250 ribu yang merupakan pembayaran saham produksi dan rehabilitasi perfilman nasional. Setiap judul film impor tidak boleh melebihi 2 copy dan 4 trailer (cuplikan film).

Dengan banjirnya film impor, bioskop-bioskop yang tutup berfungsi kembali dan bioskop baru banyak didirikan, termasuk bioskop bertaraf internasional. Tercipta kembalinya movie going habit juga “mengatrol” sejumlah film nasional yang sedari dulu berkaitan dengan film Barat, khususnya Amerika. Antara lain film 'Bernafas dalam Lumpur' (Sarinande, Turino Djunaedy), yang mengemparkan dan meledak luar biasa di seluruh Indonesia.

Sementara itu, kalau di zaman Orla film Cina yang banyak masuk adalah eks RRC, maka di zaman Orba adalah film-film yang kemudian disebut film mandarin yang berasal dari Hongkong dan Taiwan. Pada awalnya, film Mandarin itu tidak mendapatkan pasaran di Indonesia. Bahkan bioskop pinggiran pun enggan memutarnya. Ini bisa dimengerti, karena golongan etnis Cina masih mengalami trauma dari pengkhianatan PKI 1965. Tetapi lambat laun menjadi sangat menentukan dalam percaturan bisnis film impor di Indonesia. Apalagi setelah jumlah anggota Giprodfin membengkak dengan munculnya importer-importir baru yang sebelumnya tak mempunyai latar belakang bisnis film.

Ekses dari pembengkakan anggota Giprodfin adalah perebutan judul film impor, khususnya film Mandarin yang dianggap mempunyai potensi komersial yang pasti (sure shot). Mau tak mau, impor film Mandarin menjadi berlebihan dan jegal-jegalan sehingga pemerintah menganggap perlu untuk menertibkannya.

Pada tahun 1972, Menpen Boediardjo mengeluarkan kebijakan yang menunjuk CV Asia Baru sebagai importir tunggal film Mandarin. Nah, kebijakan menunjuk Asia Baru sebagai importir tunggal film Mandarin itu nantinya akan menjadi preseden pemusatan kegiatan pengimporan film selain film Mandarin. Sebab tak lama kemudian, pemerintah menetapkan pembentukan BKIF atau Badan Koordinasi Importir Film, yang diarahkan pada sistem single buying agency, “demi pengamatan lalu lintas film impor karena terdapatnya praktek-praktek yang tidak menunjang Deppen dalam membina perfilman nasional.”

Patut dijelaskan, yang dimaksud pemusatan pengimporan film bukanlah pada struktur organisatorisnya, tetapi pada praktek pelaksanaannya. Jadi meskipun Asia Baru sebagai BKIF Mandarin punya sejumlah anggota, tetapi tiap anggota tetap bisa mengedarkan sendiri filmnya setelah membayar semacam import fee (dana impor) ke kas Asia Baru.

Lewat kronologi di atas, satu hal yang harus digarisbawahi, tekad untuk mengamankan lalu lintas film impor dan pembinaan perfilman nasional dalam kenyataannya tidak mampu memenuhi harapan. Hal ini disebabkan oleh adanya praktek yang menunjukkan bahwa mereka yang oleh pemerintah ditunjuk untuk melaksanakan segala penertiban dan pembenahan itu justru bertindak tak lebih sebagai penarik pungli dengan jalan menarik dana dari kocek para anggota importir. Akibatnya, yang membaik bukan suasana perfilman kita, tetapi kantong mereka sendiri.

Dalam pada itu, film nasional merayap perlahan-lahan. Beberapa produsen mulai memproduksi film drama yang bertema remaja dan percintaan setelah ternyata film 'Pengantin Remaja' arahan Wim Umboh yang dibuat tahun sebelumnya, masih bergaung di tahun 1973.

Secercah harapan yang tumbuh ini, tentunya masih saja merupakan “awal” kebangkitan yang belum menjamin lahirnya masa depan yang cerah, mengingat di tengah suasana kebangkitannya, film impor telah dapat berkiprah dengan kebuasan ekonominya yang tidak segan-segan melahap segalanya, termasuk film nasional. Sehingga masalah film impor ini menjadi kendala yang pantas diangkat sebagai masalah klasik yang kehadirannya selalu berulang.

***

Menjelang akhir 1972 dan memasuki 1973 keadaan perfilman secara umum kacau-balau. Persaingan tak sehat antara importir saat itu dirasa sangat mengganggu. Maka dengan pertimbangan bahwa BKIF (Badan Koordinasi Importir Film) telah menimbulkan gejolak dan gontok-gontokan, Menpen Mashuri membubarkannya.

Lalu tahun 1976 Mashuri membentuk 4 konsorsium importir film (KIF) dengan masing-masing anggotanya 21 importir kecuali PT Suptan Film, yang tiba-tiba muncul menggantikan kedudukan CV Asia Baru sebagai importir tunggal film Mandarin, beranggota 8 importir.

Selain bertekad, “menunjang kebijakan pemerintah dalam Pembina perfilman nasional dan lebih menetapkan sistem perfilman, khususnya di sektor pengimpor film,” sebagaimana diucapkan Menpen Mashuri, ”KIF juga dibentuk dengan tekad memberantas segala penyelewengan yang menyebabkan kenaikan harga film impor.”

Kuota diturunkan menjadi 350 judul. Jumlah copy tetap 2 ditambah 1 copy 70 mm yang memang terbatas jangkauannya karena langkanya bioskop yang bisa memutar film berukuran 70 mm. Bila salah satu copy rusak, dapat diganti dengan copy tambahan atau pengganti, masing-masing hanya satu kali dengan ketentuan hak edar masih berlaku sekurang-kurangnya 1 tahun.

Surat keputusan bersama (SKB) 3 Menteri (Menpen, Mendagri, Mendikbud) tentang wajib edar dan wajib putar film nasional (bioskop diwajibkan memutar film nasional sekurang-kurangnya 2 judul dalam sebulan), berhasil diterbitkan pada era Mashuri ini. SKB 3 Menteri itu dilengkapi pula dengan SK Menpen tentang pembentukan Badan Pembinaan Perfilman Daerah (Bapfida) guna mengawasi kelancaran dan pemutaran film nasional di daerah.

Dengan demikian P.T. Perfin sebagai pengedar tunggal film nasional akhirnya hanya berfungsi sebagai coordinator yang mungkin lebih tepat disebut sentral booking – pengatur jadwal tanggal main – dengan imbalan jasa 5% (lima persen) dari hasil pemutaran tiap film nasional.

Seyogyanya Perfin membeli langsung film nasional dari produsen. Tapi apa daya Perfin hanya dibekali surat penunjukan tanpa dukungan uang sebagai modal yang dapat memperjelas fungsi Perfin. Apa boleh buat, Pengedar Film Daerah (Darfida) yang lebih dikenal dengan nama KPF-lah yang berperan membeli film nasional dari produser dan mengedarkannya.

Kebijakan lain Mashuri adalah mengaitkan aktivitas impor film dengan produksi film nasional. Jelasnya, untuk setiap produksi film anggota KIF, importir bersangkutan diberi imbalan jatah 3 film impor. Bagi importir yang tidak berproduksi, diwajibkan membeli 3 buah sertifikat produksi dengan nilai nominal Rp3 juta per buah agar dapat mengimpor 1 judul film melalui KIF masing-masing.

Lebih lanjut, bagi setiap importir film yang berproduksi, meskipun sebelumnya telah memperoleh jatah kuota film impor dan atau sertifikat produksi film, masih diberi jatah kuota film impor di luar kuota sebanyak 1 judul untuk setiap 1 Citra yang diperolehnya dalam FFI dan 1 judul lagi bila berdasar hasil penyensoran Badan Sensor Film (BSF) dinyatakan sebagai “Film Anak-anak” dan/atau sebagai “Film Sejarah/Epos Perjuangan Indonesia”.

Keributan besar terjadi ketika film Operasi Tinombala dinilai sebagai film teladan dan diberi imbalan jatah 9 film impor. Padahal film itu belum selesai. Lebih kontroversial lagi, sebuah film yang bahkan cerita dan judulnya belum diciptakan sudah dinilai sebagai film teladan dan memperoleh jatah film impor sebagai panjar!

Tak kurang Raden Mas Sutarto, pensiunan ketua BSF, dengan terbuka mempermasalahkan hal ini. Yang jadi masalah tentunya: bagaimana dan dari mana Direktorat Bina Film Deppen bisa menilai sebuah film nasional sebagai “Film Teladan” atau bukan sebelum film tersebut selesai dibuat? “Apa ini bukan permainan?” Tanya R.M. Sutarto. Wallahualam!

Barangkali ada juga baiknya diketahui bahwa P.T. Jati Film Jaya dalam kedudukannya sebagai salah satu pelaksana KIF Eropa-Amerika memerlukan biaya yang sangat besar bagi film Operasi Tinombala dan satu produksi film cerita mengenai perjuangan semasa revolusi fisik yang judulnya belum ditentukan. Maka jatah 9 judul film impor itu (yang kemudian dialihkan untuk kepentingan pihak ketiga dengan imbalan tertentu) merupakan “anugerah” Deppen bagi Jati Film Jaya untuk menyelesaikan kedua film tersebut.

Impor film yang dikaitkan dengan produksi memang menyebabkan produksi film nasional tahun 1977 meroket sampai mencapai 135 judul, jumlah produksi setahun terbanyak sepanjang sejarah perfilman kita. Namun, ketentuan wajib produksi oleh kebanyakan importir lebih banyak sekadar dijadikan alat memperoleh keuntungan dari bisnis impor film. Apalagi dengan lahirnya kebijakan terhadap film Operasi Tinombala yang kualitasnya sangat di bawah standar dan yang sebelumnya telah dinyatakan sebagai film teladan. Hal ini menimbulkan preseden buruk yang berkelanjutan dan cenderung berulang serta berdampak negatif bagi pertumbuhan film nasional.

Dengan bermaksud mengamankan perfilman agar tidak dijadikan sekadar mencari keuntungan semata, tahun 1978 ketika Ali Moertopo menjabat Menpen, kebijakan impor film melalui KIF diubah. Sebagai gantinya, Ali Moertopo mengenalkan Asosiasi Importir Film atau AIF. Jumlah importir film yang semula 71 dikurangi hingga tinggal 26 importir.

Sejalan dengan itu, Ali Moertopo juga membatasi jumlah kuota film yang boleh diimpor. Untuk tahun itu, ditetapkan 260 judul ditambah 25 film anak-anak. Dan tiap judul film dikenakan dana Rp25 juta, yang dimaksud sebagai sertifikat produksi.

Untuk tiap judul film yang diimpor, diizinkan memasukkan sebanyak-banyaknya 6 copy dengan hak edar maksimal 5 tahun. Dengan peningkatan jumlah copy, maka terhadap copy film yang sudah rusak tidak diizinkan diganti baru. Dan dalam konsentrasi profesi para importir film, ketentuan wajib produksi dihapus.

Mengenai mekanisme AIF yang merupakan penyempurnaan KIF yang pada masa kerjanya hanya berorientasi komersial semata-mata, pengertian single buying agency benar-benar akan dilaksanakan. Melalui AIF yang sudah dibekali petunjuk-petunjuk film impor yang bagaimana yang boleh dimasukkan di Indonesia, Ali Moertopo berharap jenis film-film yang masuk – kalaupun tidak 100% - adalah yang bernilai kultural edukatif.

Produksi film nasional anjlok. Sebagian besar orang film, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, menunjuk kebijakan Ali Moertopo yang tidak lagi mengaitkan impor film dengan produksi sebagai penyebab merosotnya jumlah produksi film nasional. Diakui bahwa kebijakan wajib produksi telah berhasil meningkatkan jumlah produksi. Tapi sebagian besar film-film itu tidak pantas lahir dan bertentangan sekali dengan usaha bangsa Indonesia dalam meningkatkan derajatnya. Karenanya penghapusan wajib produksi merupakan koreksi terhadap kebijakan terdahulu, ujar Ali Moertopo almarhum.

Dalam pada itu, di kalangan anggota AIF Eropa-Amerika yang pelaksanaannya dari P.T. Archipelago Film “beralih secara di bawah tangan” ke P.T. Daramage Film, timbul kekacauan yang menyebabkan keresahan. Pangkalnya ialah adanya pungli di atas dana resmi yang Rp3 juta. Pungli itu mencapai Rp10 sampai Rp30 juta per film, yang ditentukan besar kecilnya sesuai film yang dimasukkan. Film Superman I dikenakan pungli Rp30 juta. Daramage ternyata juga melakukan pungli terhadap para KPF daerah yang sekaligus memperciut jumlah KPF.

Untuk setiap KPF yang ingin melanjutkan usahanya di bidang peredaran film di daerahnya, misalnya KPF Jawa Timur di Surabaya dikenakan “wajib setor” sebesar Rp12,5 juta sehingga timbulnya heboh besar. Sebab saat itu di Surabaya sekurangnya ada 32 KPF yang sah diakui Darfida setempat. Semuanya diminta membayar.

Setelah sekitar 10-an KPF terpaksa membayar karena khawatir tidak bisa meneruskan usahanya, tiba-tiba Daramage secara sepihak menunjuk pihak Honolulu Film, KPF yang berpusat di Surabaya sebagai pengedar tunggal film Eropa-Amerika untuk seluruh wilayah edar Jawa Timur Besar (Jatim, Jateng, Kaltim, Kalsel, Indonesia timur termasuk Bali, NTT/NTB) dengan imbalah ratusan juta.

Dengan fasilitas monopoli peredaran film Eropa-Amerika di seluruh wilayah tersebut, tentu saja Honolulu Film menarik kembali jumlah imbalan yang disetorkannya ke Daramage Film dari para pengusaha bioskop dan KPF atas penunjukan sebagai pengedar tunggal oleh Honolulu di wilayahnya masing-masing. Sementara terhadap bioskop dan KPF yang tidak membayar setoran, mereka dikenai sanksi tidak diberi pasokan film oleh Honolulu.

Kendati demikian, bioskop dan KPF yang menolak setoran dan karenanya tidak memperoleh pasokan film Eropa-Amerika masih dapat meneruskan usahanya dan bersaing dengan Honolulu sebagai pengedar tunggalnya dengan film-dilm nasional dan Asia non-Mandarin. Adapun film Mandarin yang sudah jauh merosot pamornya, tidak banyak berbicara dalam konflik ini. Hanya di Jawa Tengah film Mandarin cukup berarti untuk melawan sistem Honolulu.

Sanggar Film – KPF Jateng yang bermarkas besar di Semarang – memang sudah sejak sebelumnya ditunjuk sebagai pengedar tunggal film Mandarin di wilayah tersebut oleh pihak Suptan. Sanggar berhasil merontokkan Dwi Sendang, KPF yang ditunjuk Honolulu untuk peredaran film Eropa-Amerika.

Dengan bekal film-film nasional, Asia non-Mandarin, dan Mandarin, Sanggar Film memang “sakti” di Jawa Tengah. Tak lama kemudian Honolulu sendiri pun roboh.

Gugurnya Honolulu makin memperkuat keyakinan insan film daerah betapa ampuhnya film nasional sebagai senjata vital untuk melawan kekuatan yang ditunjang hanya dengan film Barat. Sejak masa itu film nasional boleh dikata unggul di daerah. Apalagi dari hari ke hari makin baik sehingga berkenan di hati masyarakat penonton setempat.

Dukungan para pengusaha bioskop yang beroposisi dengan Honolulu dan para kaki tangannya juga amat menentukan dalam mengangkat film nasional. Kendati harganya cenderung naik terus, para KPF selalu membelinya dengan senang karena ditunjang pihak bioskop dan masih untung. Dengan melambungnya film nasional, film Mandarin-lah yang paling menderita.

Masih mungkinnya kemenangan film nasional dalam bersaing melawan film impor tentu sangat berkaitan dengan adanya pembatasan jumlah copy yang hanya dapat dimiliki setiap judul tidak lebih dari 6 buah. Kebijakan ini membatasi ruang gerak film impor dan memberi peluang lebih besar bagi peredaran film nasional.

***

Pada tahun 1983 ketika, Harmoko menjadi Menpen, mekanisme pengimporan film melalui Asosiasi Importir Film (AIF) tetap berlanjut. Namun jumlah importir film diciutkan menjadi delapan belas. Demikian pula kuota tinggal 200 judul, dengan pembagian: 100 judul untuk film Eropa-Amerika, 50 judul masing-masing untuk Mandarin dan Asia non-Mandarin.

Setiap judul tetap 6 copy dengan tambahan 9 copy maksimal. Dana sertifikat produksi tetap Rp3 juta bagi tiap judul dan Rp1 juta untuk setiap copy tambahan. Dana tersebut digunakan untuk bantuan modal produksi film nasional, bantuan modal PT Perfin, bantuan modal penambahan sarana pertunjukan, terutama pembangunan gedung bioskop semi permanen di kabupaten dan kecamatan, serta lain-lain yang berhubungan dengan perfilman.

Ketentuan lain menyebutkan bahwa film yang dimasukkan harus film bermutu dan bernilai kultural edukatif. Sementara untuk lebih memperbanyak jumlah film pendidikan, penerangan, dan hiburan untuk anak-anak dan para remaja, jumlah film impor jenis anak-anak atau film semua umur yang boleh dimasukkan ditetapkan maksimal sebanyak 25 judul untuk setiap tahun film impor. Dan sama seperti ketentuan yang berlaku sebelumnya tentang film anak-anak dan film semua umur, maka jenis film tersebut kali ini pun dibebaskan dari wajib bayar dana sertifikat produksi dan tidak diperhitungkan ke dalam jumlah kuota sebagaimana tersebut di atas.

Sungguhpun sebagian besar film yang dimasukkan tidak memenuhi kriteria “bermutu dan bernilai kultural edukatif”, dan kuota film anak-anak mungkin tidak tercapai sama sekali, P.T. Citra Jaya Film selaku pelaksana AIF Eropa-Amerika pada umumnya paling mulus melaksanakan tugasnya sehingga tidak menimbulkan gejolak. Juga tidak terdengar adanya pungli-punglian dari para anggota, pengusaha bioskop maupun KPF.

Kerjasamanya dengan Perfin Pusat memberi angin segar bagi film nasional. Terjadi peningkatan kualitas film nasional selama periode AIF ini (Doea Tanda MataTeguh Karya, Kembang KertasSlamet Rahardjo Djarot, Secangkir Kopi Pahit – Teguh Karya, Serpihan Mutiara RetakWim Umboh, Tinggal Landas buat KekasihSophan Sophiaan, dan lain-lain).

Tiga KPF yang ditunjuk untuk menangani peredaran film Eropa-Amerika di wilayah edar Jawa Timur masing-masing Gita Sarana Indah, Metro, dan Pacific Film mendapat pembagian film secara adil. Sistem pembayaran cukup lunak. Tidak menekan. Sama sekali tidak terlihat gejala untuk menguasai bioskop. Padahal, terdapat banyak film-film ‘kuat’ yang dapat membuat pihak bioskop bertekuk lutut, seperti Rambo I, Indiana Jones I, salah satu episode James Bond. Bahkan film ‘kecil’ yang terbukti ‘meledak’ dengan judul Flashdance.

Semua pihak diberi kesempatan seluas-luasnya oleh Citra Jaya Film untuk “hidup dan saling menghidupi” agar tercapai pemerataan kesempatan berbisnis sesuai kemampuan masing-masing. Terbuka dan luwes, sehingga mencerminkan saling ketergantungan dan saling membutuhkan.

Sanggar film Semarang yang dipercaya melaksanakan peredaran di wilayah Jawa Tengah membagi film Eropa-Amerika pada Dwi Sendang yang di masa Honolulu pernah berusaha mematikannya. Bahwa Dwi Sendang kemudian lebih aktif dengan peredaran film nasional tentunya berdasar pertimbangan keuntungan bisnis. Film Kejarlah Daku Kau Kutangkap dan Naga Bonar yang diedarkan Dwi Sendang dengan sukses memperkuat asumsi itu.

KPF yang mengkhususkan diri hanya mengedarkan film nasional tidak mengalami hambatan dalam bentuk apapun dalam rangka meneruskan usaha sesuai profesi atau spesialisasinya, karena tidak terjadi monopoli bioskop untuk pemutaran film impor langsung oleh Citra Jaya Film maupun melalui tangan-tangan KPF setempat. Bioskop pun diberi kebebasan memilih dan memutar film apa saja, dari mana saja dan kapan saja.

KPF yang sudah biasa menikmati untung besar dengan film-film Rhoma Irama, Warkop, dan drama percintaan, drama keluarga, serta remaja, bagaikan ketiban rejeki ketika mereka ‘mencetak’ duit sebanyak-banyaknya dari film 'Pengkhianatan G-30-S PKI' dan 'Sunan Kalijaga' produksi Tobali Indah Film.

Keuntungan KPF dari kedua film tersebut segera mereka tuangkan (recycle) kembali ke film nasional lain, kendari harga belinya naik berlipat ganda. Mereka tetap membeli sebab peredaran lancar, bioskop mendukung, dan masih untung. Dan dengan makin perkasanya film nasional, film Mandarin makin terpojok. Ia menduduki peringkat terbawah, kecuali di 8 wilayah Jawa Tengah (berkat olahan Sanggar), Kalimantan Barat (Pontianak) dan barangkali sebagian dari wilayah Sumatra, kota Medan terutama. Selain itu, nasib film Mandarin di mana-mana “jeblok” menurut istilah Jawa Timur-an.

Meski masa kerja AIF ini adalah 5 tahun terhitung sejak tanggal ditetapkannya, tiba-tiba terjadi perubahan yang amat mencolok di tubuh AIF Eropa-Amerika di tahun 1985; Citra Jaya Film digantikan oleh perusahaan lain tanpa sebab-sebab yang jelas. Jumlah anggota AIF Eropa-Amerika pun mengalami penyusutan lagi, sehingga menjadi 5 importir saja, 3 di antaranya baru sama sekali. Sementara pada AIF Mandarin dan Asia non-Mandarin tidak ada perubahan. Jumlah anggotanya tetap sama, masing-masing 6 dan 5 importir.

Kuota menurun tinggal 190 judul, yaitu Eropa-Amerika tetap 100 judul, 45 judul masing-masing untuk Mandarin dan Asia non-Mandarin. Tiap judul tetap 6 copy dan 12 copy tambahan. Berarti copy tambahan meningkat lagi. Dana sertifikat produksi tetap Rp3 juta untuk 6 copy pertama dan 1 juta untuk tiap copy tambahan.

Nah, tergesernya Citra Jaya Film sebelum masa berakhir dan dirangkulnya AIF Eropa-Amerika yang baru oleh pihak Suptan sejak masa itu, memberikan “hikmah” tersendiri bagi pihak Suptan untuk mendorong film Mandarin tampil kembali di pasaran. Apalagi AIF Asia non-Mandarin ikut-ikutan berlindung dalam pelukan Suptan setelah beberapa anggota lamanya antara lain PT Soraya Intercine dan PT Panorama Film digantikan kedudukannya oleh perusahaan lain yang baru sama sekali dan sekali lagi tanpa sebab.

Maka Suptan leluasa mendiktekan bioskop untuk harus juga mengambil film Mandarin yang sudah tersisih itu. Dan dengan film Eropa-Amerika yang dijadikan kartu mainnya, film Mandarin bernafas kembali di bioskop-bioskop secara bebas.

Patut kiranya digarisbawahi bahwa bernaungnya ketiga AIF tersebut di bawah atap Suptan sebenarnya lebih merupakan perpanjangan jari-jari gurita monopoli Suptan daripada tujuan efisiensi dan memurahkan harga film impor. Harga film jadi makin mahal dan ini merupakan beban yang harus dipikul oleh para pengedar tunggal yang dibentuk Suptan di mana harga setoran pun ditentukan oleh pihak Suptan sendiri.

Belajar dari pengalaman yang diperoleh dari kasus Honolulu Film, semula para KPF mencoba melawan monopoli film impor yang diberlakukan oleh Suptan dengan konsentrasi penuh hanya kepada film nasional. Tetapi perjuangan mereka kandas karena para pengedar tunggal Suptan mewajibkan bioskop memutar 12 sampai 14 judul film impor per bulan. Sebagai akibatnya, peredaran film nasional tergencet.

Kasus-kasus amoral seperti AC bioskop rusak pada saat jadwal pemutaran film nasional, pembukaan loket penjualan karcis bioskop yang dipercepat dan ditutup sebelum waktunya, mempercepat jam pemutaran film utama, mencopot film nasional yang masih ramai dipadati penonton untuk kemudian diganti film impor adalah contoh-contoh dari sekian banyak praktek tak terpuji yang dikembangkan kaki-tangan Suptan. Kasus ini dialami pula oleh film kebanggaan seluruh bangsa Indonesia Tjoet Nya’ Dhien ketika beredar di daerah, seperti pernah diberitakan beberapa media massa. Selain itu, mereka pun tak segan-segannya mematikan suatu usaha yang akan tampil sebagai saingan atau bersifat menyaingi.

Akhirnya, para KPF pun gugur satu demi satu. Lebih-lebih setelah Suptan memperluas sayap monopolinya dengan menguasai gedung-gedung bioskop, baik secara langsung maupun melalui “kerjasama”, yang disusul dengan pembangunan sinepleks yang sebelumnya merupakan lahan subur bagi film nasional selama bertahun-tahun.

Para KPF kehilangan hak hidupnya sama sekali. Bioskop pun tidak punya alternatif lain kecuali menyerah di bawah belas kasihan Suptan. Kalau toh sampai sekarang masih ada segelintir KPF yang bertahan, dan sebagian kecil bioskop tidak mau menyerahkan kedaulatannya kepada pihak Suptan, keadaan mereka sudah tidak sehat lagi dan lonceng kematian menghadang mereka sewaktu-waktu.

Sementara film impor bergerak dengan sangat leluasa, menggempur film nasional dengan jumlah copy yang di tahun 1987 ditingkatkan lagi jumlahnya: 6 copy plus 15 copy tambahan. Dana sertifikat produksi untuk 6 copy pertama Rp3,5 juta, sedangkan 15 copy tambahan masing-masing Rp500 ribu.

***

Memasuki akhir Pelita V atau tahun tinggal landas, film nasional masih tetap merana. Salah satu sebab utamanya adalah masalah peredaran.

Tergencetnya peredaran film nasional di daerah karena matinya KPF, menggerakkan para produser film kita untuk mengadukan nasibnya pada PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia), yang telah menyadari betul adanya kemacetan dan hambatan bagi anggota PPFI untuk menjual/mengedarkan filmnya di daerah. PPFI lalu mengambil langkah seperlunya dengan berbagai pihak, termasuk Suptan.

Langkah ini menghasilkan kesepakatan tentang keharusan pihak pengedar tunggal Suptan di daerahnya masing-masing untuk menampung film nasional sekaligus melancarkan peredaran dengan cara tertentu (surat PPFI tanggal 18 Agustus 1987). Namun kesepakatan itu tidak berjalan sebagaimana dijalankan. Sehingga “niat baik” yang dijanjikan tidak lebih dari angin sorga belaka!

Mungkin bermaksud memberi kesan bahwa pihak Suptan memikirkan nasib perfilman nasional, Suptan lalu memproduksi film bekerjasama dengan Teguh Karya/Cap Ikan, yakni melalui film 'Ibunda'. Namun kerjasama dengan Cap Ikan tak lagi berlanjut. Alasannya, pihak Suptan menderita kerugian besar yang konon mencapai Rp1,5 miliar! Padahal, kalangan perfilman tahu pembiayaan untuk film Ibunda ditarik dari kocek para pengedar tunggalnya.

Mungkin juga untuk menunjukkan bahwa pihak Suptan kali ini benar-benar memperhatikan film nasional dan sekaligus “mengambil hati” pemerintah, Suptan bersedia membeli hak edar film Djakarta 66 dari PPFN. Mengingat dari segi politis film ini tidak sekadar film tontonan tetapi mempunyai misi penyebarluasan dan pemahaman sejarah lahirnya orde baru dengan tokoh sentral Soeharto selaku tokoh utama orba.

Di sisi lain, dari segi ekonomi, bayangan keuntungan miliaran rupiah yang diperoleh para KPF melalui film Penghianatan G-30-S PKI juga menjadi salah satu pertimbangan Suptan membeli film tersebut. Ini terbukti dengan rencana dibebankannya para pengedar tunggal untuk membayar jumlah uang tertentu (Rp1 miliar per daerah Jawa) untuk menutupi dana pembelian yang dikeluakan Suptan.

Dengan syarat yang dirasa sangat berat, para pengedar tunggal Suptan banyak yang maju-mundur. Pertama, karena masih banyaknya kewajiban pembayaran film impor yang dibebankan pada mereka. Kedua, karena saat diedarkannya Djakarta 66 sarana penunjang dalam bentuk SK wajib nonton mulai dibudidayakan untuk tidak berlaku. Ketiga, yang terpenting, penyebab dari ketakutan dan ketidakpercayaan pihak pengedar tunggal itu berangkat dari bayangan realitas pemasaran film nasional yang telah mereka hancurkan sendiri saat membangun kerajaan film impor lewat kolaborasi dengan Suptan. Mereka sangat sadar bahwa pasar film nasional sudah berantakan. Akhirnya Suptan menyerahkan peredaran Djakarta 66 ke tangan para pengedar tunggalnya dengan sistem persentasi atau bagi hasil.

Tepat sebagaimana diperkirakan, Djakarta 66 mengalami kegagalan total yang seharusnya tak perlu terjadi. Film karya Arifin C. Noer yang bertema perjuangan Presiden Soeharto di awal orde baru ini pada dasarnya ini adalah film berbobot yang nilai komersialnya tak perlu diragukan. Apalagi jika mengingat Djakarta 66 adalah lanjutan Penghianatan G-30-S PKI yang sukses luar biasa itu. Tapi karena konstelasi pemasaran telah dibuat sedemikian rupa akibat ulah sistem Suptan sendiri, tidak heran jika film nasional berbobot terkebiri oleh suasana yang diciptakan sendiri itu.

Tentu saja kerugian finansial yang mungkin diderita akibat kegagalan Djakarta 66 bisa ditutup pihak Suptan dengan satu dan lain cara. Tetapi film dibuat tidak hanya mengejar keuntungan kembalinya modal plus keuntungan materi, namun juga keuntungan pesan-pesan atau misi yang ingin dicapai. Dan tujuan itu – seperti telah dibentangkan di atas – terpotong secara tragis oleh praktik-praktik manajemen lapangan yang diberlakukan Suptan.

Pendeknya tragedi, pemasaran Djakarta 66 dan sebagian besar film nasional berbobot yang bernasib serupa sebagaimana dikeluhkan produser kita sebenarnya adalah tragedy pemasaran film nasional pada umumnya yang besar kemungkinan tidak diketahui dan tidak disadari dampak negatifnya oleh pihak-pihak berkompeten. Termasuk – barangkali – Menpen Harmoko.

Alhasil, jika dikembalikan pada sanggahan-sanggahan mengenai tidak adanya monopoli film impor dan peredarannya, yang diberlakukan pihak Suptan beserta aksesnya ke peredaran film nasional, kasus matinya peran KPF dan gagalnya peredaran Djakarta 66 dan lain-lain, justru telah membuktikan tergencetnya pertumbuhan sehat film nasional yang bersumber pada sistem monopoli itu.

Bahwa peredaran film nasional sampai sekarang masih saja babak-belur, terutama di daerah, kini makin terbukti dan diperkuat kenyataannya dengan tampilnya apa yang menamakan dirinya Masyarakat Ekonomi Perfilman Indonesia sebagai “juru selamat”. MEPI yang terdiri dari unsur PPFI, GPBSI, AIF (Suptan) serta Perfin, sekitar pertengahan tahun lalu telah menjadikan wilayah edar V (meliputi Jawa Timur termasuk Bali, NTB, NTT dan Timtim) sebagai proyek uji coba dalam mengatasi kendala yang menghadang kelangsungan peredaran film nasional selama ini.

Sejauh mana usaha ini akan berhasil masih ada tanda tanya besar. Satu hal rasanya patut diingatkan, bahwa segala upaya bila tidak dijebol akar penyebabnya, tetap akan sia-sia belaka. Satu saja pihak menodainya seperti sudah pernah terjadi sebelumnya, MEPI pun akan dianggap cuma melakukan lip service belaka. Sudah waktunya sandiwara tidak lucu ini diakhiri!

Kuota untuk tahun 1990 memang telah diturunkan lagi, sehingga menjadi 160 judul dengan rincian: film Eropa-Amerika 80 judul, Mandarin 45 judul, dan Asia non-Mandarin 35 judul. Tapi ada kebijakan baru mengenai jumlah copy, yaitu bila jumlah copy untuk setiap film yang diperbolehkan (6 + 18) tidak terpenuhi bagi judul film yang bersangkutan, sisanya dapat dipakai untuk menambah copy bagi judul film lain.

Jelasnya, film dengan judul A dimasukkan cuma 6 copy, maka sisanya yang 18 copy dapat dipakai untuk film dengan judul B. Dengan demikian, film berjudul B yang dimasukkan sepenuhnya (6 + 18), akan mendapat tambahan 18 copy dari sisa copy film dengan judul A. Sehingga film B beredar dengan jumlah keseluruhan 42 copy (6 + 18 + 18).

Bila ungkapan yang mengibaratkan judul film adalah senapan dan copy film adalah pelurunya, kebijakan ini sama juga artinya jumlah senapan dikurangi, tetapi jumlah peluru diperbanyak. Rinciannya sebagai berikut: Pada Pelita I, film impor sebanyak 700 judul dengan 2 copy. Maka yang mengisi gedung-gedung bioskop tanah air waktu itu adalah 1.400 copy. Sedangkan pada Pelita V film impor yang 160 judul dengan 6 + 18 copy, punya kekuatan membendung gedung-gedung bioskop dengan 3.840 copy film yang siap edar. Apa ini tidak merupakan permainan politik sulap-sulapan?

Dengan makin banyaknya peluru yang tersedia bagi sebuah senapan, maka dapat dipastikan daya tembaknya akan lebih gencar lagi. Siapa korban berondongan senapan yang dibekali banyak peluru itu? Jawabnya sudah pasti film anak-anak negeri.

Bila produksi film impor secara konsekuen ditempatkan sebagai suplemen belaka, logikanya yang terbaiklah yang harus didatangkan dan bukan sebaliknya. Sudah sekian lama mayoritas mutu film impor dipertanyakan. Mutu film impor sangat berpengaruh bagi perkembangan dan perkembangan film nasional, juga dalam rangka pembentukan selera penonton.

Herannya, untuk mendorong mutu film impor, hanya sekitar 10% dari kuota tersebut yang harus mempertunjukkan film-film bermotivasi kultural, seperti film-film peraih penghargaan dalam berbagai Festival Film Internasional. Dengan adanya kebijakan ini, semakin sah saja pihak Suptan untuk memasukkan film “sampah” sebanyak 90%. Kebijakan ini ternyata sangat bertolak belakang dengan kebijakan terdahulu tentang keharusan hanya pengimpor film bermutu dan bernilai kultural edukatif yang lahir dari Menpen yang sama.

Sementara jumlah film anak-anak produksi dalam negeri belum memadai, maka untuk memberikan kemudahan bagi penonton kanak-kanak, setiap film impor yang dinyatakan sebagai “film anak-anak” oleh BSF mulai tahun ini dapat di-dub (diisi dialog) bahasa Indonesia. Mengapa kebijakan ini harus dikaitkan dengan langkanya film anak-anak domestik? Bukankah sejak Pelita I, pada tiap tahun film impor, sudah selalu disediakan kuota tersendiri bagi pengimporan film anak-anak, bahkan yang pemasukannya dibebaskan dari kewajiban membayar dana sertifikat produksi?

Tapi apa yang terjadi? Kebijakan ini sampai Pelita V tidak juga dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Alasannya klise: mengimpor film anak-anak itu rugi. Di mana obligasi moral pihak Suptan dan peran sertanya dalam menunjang kebijakan pemerintah? Keengganan Suptan mengimpor film anak-anak sebenarnya telah membuka kedoknya sendiri. Suptan tidak sudi mengurangi keuntungan bisnis monopoli impor filmnya walau sesen pun. Padahal, rugi sedikit (kalau toh rugi) dari keuntungan berlimpah tak bisa dibilang rugi.

Jelaslah, bagi Suptan bisnis film hanya dagang semata-mata. Hal ini tentu bertentangan dengan kebijakan pemerintah yang menegaskan bahwa film harus tidak diperlakukan tidak sebagai barang dagangan semata. Kemudahan bagi masuknya film anak-anak sudah diberikan sejak Januari 1990. Yaitu dengan diizinkannya dubbing bagi film impor anak-anak. Lalu mengapa baru satu judul (Sleeping Beauty) saja yang dimasukkan hingga sekarang? Uji coba?

Baiklah. Namun bila film Putri Tidur yang sudah diisi dialog Indonesia itu benar-benar “tidur” alias jatuh di pasar, apakah Suptan juga lantas akan “tidur” selamanya? Atau mencari-cari akal baru lagi guna mendapatkan kemudahan dalam bentuk lain? Dan bagaimana kalau hanya satu judul film itu saja yang dimasukkan ke mari sepanjang tahun ini?

Kita sekarang ada dalam suasana keterbukaan. Dan kita lebih diberi kebebasan untuk bersikap terbuka, tanpa harus menanti petunjuk. Karenanya, insan perfilman sangat membutuhkan keterbukaan dan keikhlasan Menpen Harmoko untuk meluruskan dan menempatkan masalah perfilman pada proporsi yang sebenarnya. Hanya itu.