“Indahnya dihargai bangsa sendiri,” ucap Yudi Datau, menutup pidatonya seusai menerima penghargaan Penata Sinematografi Terbaik untuk film Dilema. Ia tentunya bukan satu-satunya pemenang malam itu.Di antara kerlap-kerlip lampu dan alunan musik megah di Benteng Vredeburg, lokasi penyelenggaraan Festival Film Indonesia (FFI) 2012, empat belas pemenang lainnya bergantian naik ke atas panggung untuk mengangkat Piala Citra. Namun, pernyataan Yudi Datau patut menjadi bahan renungan tersendiri. Sudahkah bangsa kita diberi kesempatan untuk menghargai filmnya?
Bangsa Indonesia tentunya bukan orang-orang pemerintahan saja, tapi juga jutaan rakyat yang menjadi tanggung jawab mereka. Begitu halnya dengan perfilman Indonesia. Ia tidak saja mencakup para pembuat dan pemain film, tapi juga warga Indonesia yang menonton mereka. Oleh karena itu, FFI idealnya tidak saja menjadi ajang penghargaan perfilman nasional, tapi juga kesempatan bagi masyarakat untuk merayakan sinema nasional. Sayangnya, FFI yang baru saja kita lalui masih jauh dari ideal.
Mari bicara dalam konteks Yogyakarta terlebih dahulu. Dari kacamata orang lokal, pagelaran FFI tak ada bedanya dengan akuarium berisi ikan hias. Menjelang acara, terbentuk kerumunan di gerbang masuk Vredeburg, bahkan sampai menutupi Jalan Malioboro dalam beberapa kesempatan. Bus-bus sewaan panitia datang dan berhenti depan gerbang. Turunlah sejumlah bintang film ternama. Orang-orang bersorak sorai dan mencoba mendekat. Polisi dengan sigap mengawal para artis dari kerumunan di sekitar mereka. Kejadian ini berulang beberapa kali sampai mulainya acara. Selepas acara, kerumunan yang sama masih menunggu di gerbang. Para selebriti berjalan menuju bus. Kembali polisi menghalangi.
Betul, ada alasan keamanan yang layak dipertimbangkan di balik ketatnya penjagaan polisi. Namun, tak bisa dipungkiri ada jarak yang besar antara FFI dan masyarakat sekitarnya. Acara terjadi dalam sebuah ruang tertutup, di mana hanya undangan dan media (dengan akreditasi FFI) yang bisa masuk. Tak ada kesempatan setitik pun yang diberikan pada masyarakat setempat untuk ikut serta. Atau, mengutip pernyataan seorang wartawan dari salah satu media lokal, “FFI tahun ini memang diadakan di Jogja, tapi tetap saja itu acaranya orang Jakarta”. FFI cuma numpang lewat di Yogyakarta.
Pertanyaannya kemudian: seberapa besar kesempatan yang diberikan pada pihak lokal untuk terlibat? Ada satu kejadian menarik sewaktu konferensi pers FFI di Bale Raos, Yogyakarta, 8 Desember 2012. Seorang wartawan bertanya kepada Sultan Hamengkubuwono X, yang turut hadir saat itu, perihal alasan di balik pemilihan Benteng Vrederburg sebagai lokasi perhelatan. Sultan menolak menjawab. “Silakan pihak panitia yang menjawab,” tuturnya. Beliau merasa tidak punya wewenang.
Pertanyaan yang sama jadi kian mendesak apabila kita mengingat kembali pernyataan Mari Elka Pangestu saat malam pengumuman nominasi FFI di Metropole, Jakarta, 26 November 2012. “Keputusan mengadakan FFI di Yogyakarta tentunya sudah dipikirkan masak-masak oleh tim panitia. Kami ingin membuka kesempatan yang lebih besar bagi orang-orang di daerah untuk berpartisipasi meramaikan FFI. Kalau kita ingat FFI yang dulu-dulu, bisa dilihat bagaimana keriaan masyarakat menunggu parade artis setiap FFI diselenggarakan,” jelas Menteri Perdagangan dan Ekonomi Kreatif tersebut.
Ada salah kaprah yang besar di sini. Pernyataan ibu menteri terlalu menyederhanakan potensi masyarakat dalam semesta perfilman nasional. Kesannya, interaksi yang mungkin terjadi antara publik dan film hanyalah pemujaan selebritis semata, padahal tidak begitu kenyataannya. Publik adalah penonton dan calon penonton. Tiada penonton, sebuah industri film jelas tak mungkin berjalan. Sikap yang menafikan publik ini tercermin dalam pola penyelenggaraan FFI yang begitu berat pada gegap gempita malam penghargaan dan parade artis sepanjang Jalan Malioboro. Tugas-tugas dasar yang diemban sebuah festival film malah diabaikan.
Mempertemukan
Tanggung jawab utama sebuah festival adalah mempertemukan film dengan penontonnya, salah satunya melalui pemutaran film. Tujuan besarnya tentu saja membangun apresiasi penonton melalui ruang-ruang yang dibuka oleh festival. FFI belum memenuhi kapasitas ini. Faktanya, FFI tidak pernah memutar keseluruhan film-film pesertanya untuk masyarakat. Tahun lalu, FFI hanya memutar film pemenang saja di salah satu bioskop ibukota setelah malam penghargaan, serta beberapa film pilihan waktu Safari FFI. Tahun ini, FFI mengadakan roadshow di Bandung, Makasar, Jambi, Medan, Surabaya, dan Yogyakarta. Film-film yang diputar sepanjang roadshow adalah tiga film pendek pemenang FFI terdahulu (Bermula dari A, Kelas 5000-an, Sabotase) dan dokumenter pemenang FFI tahun lalu (Donor Asi). Semuanya tidak ada hubungannya dengan FFI tahun ini.
Panitia FFI bukannya tak punya modal, mengingat bujet tahun ini mencapai 16,2 miliar. Bandingkan dengan bujet tahun lalu yang hanya 4 miliar. Kalau memang mayoritas dana tersebut habis untuk parade artis dan malam penghargaan, berarti telah terjadi alokasi dana dan pengaturan prioritas yang buruk. Di Yogyakarta, ada dua festival film yang diadakan di daerah yang sama dan waktu yang berdekatan dengan FFI: Jogja-NETPAC Asian Film Festival dan Festival Film Dokumenter. Penyelenggaraan kedua festival tersebut tidak sampai menghabiskan 3% bujet FFI tahun ini, tapi keduanya bisa mengadakan pemutaran puluhan film dalam periode lima hari. Kenapa FFI tidak bisa?
Di tingkat lokal, misalnya, panitia FFI bisa mengadakan pemutaran film-film nomine di Vredeburg, seminggu menjelang malam penghargaan. Status Vredeburg sebagai salah satu ikon Yogyakarta tentunya akan menarik perhatian masyarakat setempat. Vredebug sendiri punya sejarah yang cukup panjang sebagai lokasi pemutaran film. Sejumlah inisiatif lokal beberapa kali mengadakan layar tancap di sana, dengan jumlah penonton yang tidak sedikit. Penduduk setempat bukannya tidak sadar akan keberadaan FFI di Vrederburg. Panggung FFI sudah ada di halaman Vredeburg sebulan menjelang malam penghargaan. Ketimbang menghabiskan ruang publik untuk sebuah acara yang tertutup bagi warga setempat, kenapa tidak sekalian melibatkan mereka dalam keriaan festival?
Di tingkat nasional, panita FFI bisa menyewa satu layar bioskop di sejumlah kota, untuk mengadakan pemutaran film-film nomine untuk publik. Memutar film pemenang setelah malam penghargaan bukannya buruk, sebagaimana yang dilakukan tahun lalu, namun pemutaran sebelum malam penghargaan tentunya akan lebih efektif dalam memusatkan perhatian publik. Apalagi film-film bioskop yang lolos seleksi FFI tahun ini rata-rata punya umur yang pendek di bioskop, sekitar satu sampai dua minggu. Satu film, yakni Demi Ucok, bahkan belum beredar di bioskop. Belum lagi kita bicara film pendek dan dokumenter, yang tidak terakomodir oleh jaringan bioskop nasional. Publik perlu berkenalan dengan film-film peserta ini. Bagaimana masyarakat bisa mengamini penghargaan-penghargaan di FFI kalau mereka tidak diberikan bekal yang cukup sebelumnya?
Semboyan FFI tahun ini adalah “Film Kita, Wajah Kita”. Dengan semboyan semacam ini, hal pertama yang seharusnya FFI lakukan adalah menunjukkan film-film yang lolos seleksi kepada publik, film-film yang FFI akui sebagai perwakilan wajah bangsa. Hal tersebut sangat bisa dilakukan lewat pemutaran dan tentunya terakomodir lewat dana 16,2 miliar.
Hal berikutnya yang FFI bisa lakukan adalah menjalin hubungan yang lebih kuat dengan publik. Lemahnya relasi FFI dengan publik tahun ini tercermin dalam website FFI yang miskin informasi. Tidak ada informasi perihal film-film yang mendaftar FFI tahun ini. Tidak ada penjelasan siapa saja anggota dewan juri FFI tahun ini. Setelah malam penghargaan, tidak ada catatan juri yang dipublikasikan, padahal catatan juri ini vital sebagai pertanggungjawaban juri bagi publik. Bagaimana publik bisa merasa dekat dengan FFI kalau pihak festival tidak menyediakan corong informasi yang layak bagi mereka?
Keterlibatan publik yang kuat akan menghasilkan kemenangan yang lebih berarti. Bukannya mau mengecilkan pencapaian para pemenang FFI tahun ini, namun kemenangan mereka terjadi dalam sebuah ruang tertutup, sebuah ruang yang panitia FFI tidak buka lebar-lebar bagi masyarakat untuk terlibat. Ke depannya, FFI tidak boleh menafikan masyarakatnya sendiri. Kata “Indonesia” dalam nama FFI barulah tepat guna apabila masyarakat memang merasa memiliki.