Pengantar: Tulisan ini merupakan orasi berkenaan dengan Hari Film Nasional ke 64 yang diselenggarakan oleh Badan Perfilman Indonesia tanggal 27 Maret 2014 di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia. Persoalan yang dikemukakan pernah menjadi diskusi dan polemik tanpa ujung dan kemudian dilupakan (ingat: "Mencari Wajah Indonesia"). Gagasan yang dikemukakan dalam orasi ini merupakan salah satu jawaban.
Puan-puan dan Tuan-tuan yang Berbahagia,
Maafkanlah saya jika pada malam ini, di sini, dalam perbincangan yang sengaja didekatkan dan memang memperingati Hari Film Nasional setiap tanggal 30 Maret, saya akan sedikit mengganggu kebahagiaan Puan-puan dan Tuan-tuan.
Mengapa kebahagiaan itu harus diganggu? Tiada lain dan tiada bukan, karena kebahagiaan kita semua, artinya termasuk saya, sebagai pendukung, pemilik, dan penghayat Hari Film Nasional Indonesia mungkin merupakan kebahagiaan yang semu. Nah! Kebahagiaan semu macam apakah itu?
Berdiri di sini, malam ini, saya tidak akan berbicara tentang mutu film nasional, dan bukan juga tentang sukses tidaknya film dengan beban makna ‘nasional’ itu sebagai komoditas, melainkan suatu kondisi yang berhubungan dengan pengertian ‘film nasional’ itu sendiri, yakni bahwa apa yang selama ini diterima begitu saja sebagai ‘nasional’, sebetulnya adalah suatu kondisi ‘pascanasional’.
Jika identitas nasional disepakati sebagai salah satu faktor terpenting dalam kehidupan suatu bangsa, termasuk bangsa Indonesia, maka kondisi pascanasional itu takterhindarkan lagi untuk disadari keberadaannya—taklebih dan takkurang agar kita terbebaskan dari cengkeraman cita-cita pseudo-nasional.
Puan-puan dan Tuan-tuan yang Saya Hormati,
Pertama, kita bereskan perkara istilah pasca itu dulu. Istilah ini tersadur dari post, seperti yang terdapat dalam postmodernism, yang sama sekali bukan berarti lanjutan atau periode baru. Dalam pascamodernisme—ketika kata modern sendiri berasal dari modus yang berarti ‘cara’—kata pasca bermakna perkembangan dan transformasi tertentu yang berlangsung dalam rangka modernitas (Bertens, 1996: 351), sehingga ‘pascanasional’ sebagai kemungkinan sebetulnya sudah terkandung dalam ‘nasional’, yang oleh situasi global menjadi berbagai dimensi nan tumpang tindih.
Akibatnya, pengertian ‘nasional’ dalam representasi ‘film nasional’ tak dapat dibatasi dalam hanya satu pengertian dan satu identitas yang terisolasi secara utuh, karena hubungan antara film nasional dan kebangsaan hanyalah suatu kemungkinan, bukan suatu esensi. Film nasional tidak mencerminkan atau mengungkap suatu ‘esensi’ kebangsaan atau kebudayaan—melainkan bahwa kebangsaan dan kebudayaan bagi film nasional adalah unsur-unsur yang tersedia untuk dijelajahi (Choi, 2006: 312).
Ya, ‘film nasional’ telah berada dalam kondisi pascanasional, yang takdapat diwakili hanya oleh pengertiannya yang paling klasik, seperti: film Indonesia dibikin oleh manusia ber-KTP Indonesia, bermodal Indonesia, tentang Indonesia, bermain di Indonesia, berbahasa Indonesia, dan lain sebagainya, yang disebut pertimbangan teritorial (Choi, 2006: 310-1).
Pertimbangan teritorial ini tidak lagi bisa diandalkan, karena dengan segenap persyaratan formal yang hanya seolah-olah saja merupakan jaminan keindonesiaan yang absolut itu, film Indonesia ternyata belum sahih disebut sebagai film dengan identitas nasional. Apalagi jika secara tekstual film Indonesia tersebut sesuai dan sepadan belaka, dengan naratif visual film-film yang jauh sebelumnya sudah merupakan ciri-ciri film bangsa lain.
Jika paspor sebuah film tidak mungkin dijejaki dengan pendekatan teritorial, maka identifikasi atas kebangsaan atawa identitas nasional pun berpindah kepada teks alias film itu sendiri—artinya, film itulah yang harus menunjukkan, apakah seperti memiliki identitas nasional atau tidak. Jadi, sebagai alternatif dari yang teritorial, pertimbangannya adalah fungsional tidaknya sebuah film dalam keberhadapannya dengan film-film yang memang telah menguasai budaya dan pasar film dunia sejak tahun 1910.
Dengan kata lain, meskipun 100% merupakan produksi Indonesia, bagaimanakah pertanggungjawabannya sebagai representasi identitas nasional, jika secara tekstual hanyalah mengacu dramaturgi film Hollywood!
Nah, pigimana dong?
Konsekuensinya, usaha membedakan diri dengan film Hollywood ini takselalu berarti identitas nasional bisa lebih jelas, ketika justru memang berusaha melepaskan diri dari hegemoni wacana itu. Apa boleh buat, bagi fim-film yang berkepribadian mandiri ini, sehingga dengan lepas dari hegemoni cara bertutur Hollywood memungkinkannya terhubungkan dengan suatu identitas nasional, justru bukan pertimbangan teritorial yang akan mendukungnya, melainkan pertimbangan fungsional, yakni jelas tidak meminjam bahasa Hollywood; dan pertimbangan relasional, yakni bahwa film dengan identitas yang baru ini, betapapun kontemporer dan revolusioner pemberontakannya, secara tekstual tetap dapat dipertanggungjawabkan hubungannya dengan kebangsaan dan kebudayaan Indonesia.
Adapun mangsudnya: hubungan antara sejarah nasional dan film nasional hanyalah salah satu cara bagi film nasional untuk menegaskan dirinya sendiri—bahwa film nasional bisa diterima (akal) hanya sebagai hubungan, bukan esensi, yang keberadaannya tergantung kepada perbandingan dengan film Hollywood maupun film nasional (negara-bangsa) lain.
Pertimbangan relasional ini, dengan begitu juga menggugat dikotomi nasional—transnasional, karena jika film nasional semula dikatakan sebagai produksi domestik, beredar di dalam batas wilayah negeri, (diandaikan) menarik bagi publik sendiri, dan film transnasional didanai secara internasional, yang disebut film nasional sebetulnya keluar-masuk antara kedua cara produksi ini. Film “seni” model punya Garin Nugroho misalnya, meski (hanya) beredar dalam berbagai festival internasional, dan dibeayai dana non-Indonesia, secara tekstual terhubungkan dengan kuat kepada akar budaya, yakni dalam kenyataannya non-Hollywood, sehingga mendapatkan fungsinya sebagai representasi negara-bangsa yang disebut Republik Indonesia.
Kemungkinan terakhir ini menunjukkan peluang yang diberikan kepada film Indonesia oleh kondisi pascanasional.
Puan-puan dan Tuan-tuan yang Sangatlah Saya Muliakeun,
Perkara kedua, nasionalisme itu sendiri, di samping memang ada yang ‘tertutup’ seperti Nasional Sosialis Jerman dahulu kala, yang membuka diri hanya bagi ras Arya; dan anehnya, dengan segala pengalaman buruknya, Israel, yang mengutamakan keturunan Yahudi sebelum mempersilakan yang lain, pada dasarnya yang berkembang di dunia seusai Perang Dunia II adalah nasionalisme ‘terbuka’, yang tidak peduli asal-usul, ras, etnik, apapun, asal bersepakat dalam kesetaraan menjaga keutuhan wilayah dan konstruksi kebangsaan baru (Crespigny & Cronin, 1975: 147-60). Tentu, nasionalisme adalah produk modernitas, yang sebetulnya wajar saja ketika dunia berada dalam kondisi pascamodern, tersesuaikan pula menjadi berkondisi pascanasional.
Padahal, dalam hal Indonesia, sejak awal pergerakan kebangsaan, akar pascanasionalisme sudah tumbuh pada perbincangan nasionalisme itu sendiri. Dalam catatan sejarah, pemuda sudah bersumpah untuk menjadi Indonesia dan hanya Indonesia dalam aspek geopolitik, kebangsaan, dan bahasa pada 1928, tetapi apa yang terjadi sebelum dan sesudahnya?
Tahun 1913, dengan bahasa Belanda, Soewardi Soerjaningrat memang menyatakan sikapnya yang anti-Belanda, tetapi yang lebih pro-Jawa daripada Indonesia. Dalam tulisan yang judulnya harus saya hapalkan waktu SD, Als ik een Nederlander was (Sekiranya Saya Seorang Belanda),Soewardi yang kelak lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara menggugat perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda di Hindia Belanda, karena perayaan kemerdekaan penjajah di tanah jajahannya pastilah merupakan ironi sebesar-besarnya.
Setelah memeriksa teks tersebut, izinkan saya sekadar menggaris bawahi, bahwa bagi Soewardi agaknya masih dimungkinkan adanya penjajahan yang etis, kolonialisme yang bertanggungjawab, demokrasi dalam penjajahan, dan bahwa kemerdekaan dapat diberikan.
Dua tahun sebelumnya, dalam Takut akan Demos, Tjipto Mangunkusumo yang menulis dalam bahasa Belanda, bahkan menganggap sistem kolonial baik-baik saja, tetapi ‘jika dijalankan dengan adil’. Teks ini secara samar-samar memperlihatkan pemikiran bahwa peradaban dan pengetahuan Barat atau Eropa itu baik—dalam konteks Hindia Belanda saat itu—untuk pribumi, agar dapat selamat dalam kehidupan budaya masa depan. Meski begitu, menurut Tjipto, tampaknya belum sepenuhnya dipahami bahwa peradaban dan pengetahuan itu memang akan berguna oleh orang Jawa maupun orang Belanda sendiri. Padahal orang Jawa, yang bukan budak tentunya, mampu memanfaatkan pengetahuan Barat itu demi kepentingan mereka sendiri.
Sedangkan Soetomo dalam Pertandingan Bukan Persaingan, yang ditulis dalam bahasa Jawa dan terpublikasikan tahun 1932, dengan konsep gamelannya beranggapan, jika setiap peran dalam produk Barat maupun pribumi dimainkan dengan serasi, niscaya terbentuk masyarakat yang ideal tanpa mempersoalkan kecenderungan politiknya—dan penyerasian ini menjadi tugas priyayi (Scherer, 1985: 314-26).
Bahwa ketiga nasionalis ini mengawali polemik Jawa atau Belanda mulai tahun 1911 dan masih berpolemik juga pada 1932, artinya setelah Soempah Pemoeda 1928, membuktikan bahwa dalam perbincangan nasionalisme Indonesia saja sudah lama tumbuh akar pascanasionalisme, yang ketika memasuki abad XXI menjadi sangat kompleks dengan kebertumpangtindihan luar biasa yang menjadi ciri globalisasi, tempat identitas nasional yang klasik takdapat menampungnya lagi.
Padahal, film Indonesia tentunya diharapkan ‘Indonesiawi’ juga bukan? Masalahnya, bagaimana dapat memastikan keberadaan suatu identitas Indonesia, jika konsep identitas itu sendiri sangat terbuka?
Puan-puan dan Tuan-tuan yang Mulia lagi Budiman,
Persoalah ketiga, ya, mohon dimaklumi bahwa konsep identitas itu sendiri mendapat perumusan sebagai suatu produksi, bukan esensi yang tetap dan menetap, karena identitas selalu berproses, selalu membentuk, di dalam—bukan di luar—representasi. Ini juga berarti otoritas dan keaslian identitas dalam konsep ‘identitas budaya’ berada dalam masalah (Hall dalam Woodward, 1997: 51), karena sebenarnya memang tidak ada esensi identitas yang bisa ditemukan, melainkan sebaliknya identitas merupakan konstruksi pecahan-pecahan identitas berganda (Barker, 2004: 94). Identitas hanya bisa ditandai dalam perbedaan, sebagai suatu bentuk representasi dalam sistem simbolik maupun sosial, untuk melihat diri sendiri tidak seperti yang lain (Woodward, 1997: 8-15).
Ini membuat identitas nasional menjadi bentuk identifikasi imajinatif pada negara-bangsa, seperti terungkap melalui simbol dan wacana, membuat bangsa bukanlah sekadar formasi politik tetapi juga sistem representasi budaya, tempat identitas nasional terus menerus mengalami reproduksi melalui tindak terwacana. Kebudayaan bukanlah entitas yang statis, melainkan dibentuk oleh praktik dan makna yang terus berubah, yang beroperasi pada berbagai tingkat sosial, sehingga setiap kebudayaan nasional terberi dipahami dan berlaku melalui berbagai kelompok sosial. Dengan begitu, pemerintah, kelompok etnik, dan kelas akan merasakan suatu identitas nasional dengan berbagai cara. Representasi budaya nasional adalah berbagai potongan dari berbagai simbol dan praktik, yang telah menjadi latar depan komplikasi masalah historis yang spesifik, demi sejumlah keperluan oleh kelompok-kelompok sosial yang terpisah (Barker, 2004: 131).
Begitulah, jika nasionalisme merupakan pengertian abstrak, identitas nasional adalah—disadari atau tidak—praksis perwujudannya. Dengan begitu maka sahihlah film-film Indonesia diterima sebagai film nasional, takpeduli ikut FFI atau tidak, dalam konteks pascanasional.
Puan-puan dan Tuan-tuan yang Saya Percaya Masih Tetap Berbahagia,
Hari Film Nasional, yakni tanggal 30 Maret, diambil dari hari shooting pertama film Darah dan Doa karya sutradara Usmar Ismail, yang pemutaran perdananya saja di Istana Merdeka pada pertengahan 1950, disaksikan oleh Presiden Soekarno, nyaris hanya lima tahun dari proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Tentu saja, dengan segala kesederhanaan, ini adalah suatu ‘proyek nasional’ yang bahkan secara resmi dan sadar dapat dianggap sebagai bagian dari politik identitas.
Tentu harus dimaklumi, bahwa konsep politik identitas memberi perhatian atas penyelenggaraan dan perawatan hak-hak budaya demi kepentingan klaim identitas dalam masyarakat dan kebudayaan, dalam suatu formasi koalisi tempat setidaknya nilai-nilai dihayati bersama. Politik identitas merupakan perangkat-bagian dari politik budaya, yang berkepentingan dengan kuasa untuk memberi nama, dan membuat sejumlah deskripsi bermakna tetap (Barker, 2004: 95).
Film itu sendiri lebih populer dengan sebutan The Long March, sebuah fim tentang ‘revolusi fisik’ Indonesia, tetapi yang sebagai gagasan sebetulnya teracu kepada long march Tentara Merah yang legendaris di bawah pimpinan Mao Zedong di Republik Rakyat Tiongkok, atas usulan Sitor Situmorang yang kemudian menulis ceritanya (Ismail, 1963).
Jika mengingat bahwa seni maupun media film itu sendiri jelas tidak terdapat akarnya dalam tradisi pra-Indonesia, dan latar belakang gagasannya pun berdasarkan perjuangan kaum komunis Tiongkok yang ideologinya kelak dianggap sebagai musuh ideologis negara Pancasila, masih sahihkah film ini menjadi monumen ‘film pertama’ Indonesia?
Mohon maklum lagi, bahwa sebagai lanjutan konsep identitas dan politik identitas, dalam hubungannya dengan posisi The Long March sebagai proyek nasional, terdapat konsep proyek identitas yang merupakan gagasan identitas sebagai proyek yang mengacu kepada penciptaan naratif identitas-diri, yang berlangsung terus menerus menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Meskipun teori kebudayaan menegaskan identitas terpecah dan berganda, dalam kehidupan sehari-hari diri terus menerus dijabarkan dalam pengertian naratif atas diri. Dengan runtuhnya bentuk tradisional atas identitas sebagai akibat modernitas, tetapi yang berarti juga meningkatkan banyaknya sumber bagi konstruksi identitas, maka tugas membangun identitas menjadi sebuah proyek. Dengan ini identitas menjadi sesuatu yang diciptakan, sesuatu yang selalu berada dalam proses (Barker, 2004: 96).
Begitulah, identitas The Long March sebagai film pertama yang secara resmi merupakan proyek ideologis nasionalisme, pun bukanlah suatu esensi Indonesia, melainkan konstruksi Indonesia. Ini tentu juga berlaku bagi film Indonesia manapun, takpeduli itu dibeayai Perusahaan Film Negara, perusahaan swasta, independen, patungan, apalagi kalau sepenuhnya produksi asing, karena selain pertimbangan teritorial yang konvensional tadi, berlaku pula pertimbangan fungsional (hanya jika secara tekstual non-Hollywood, barulah sahih sebagai film Indonesia, meskipun produksi Indonesia) dan pertimbangan relasional (kontingensi dengan ‘sesuatu yang Indonesia’, siapapun pembuatnya). Maka, situs perjuangan politik identitas menjadi sangat terbuka.
Dengan argumen semacam ini, maka bukan hanya Usmar Ismail yang dapat dianggap sebagai pelopor film nasional, sebagai bagian dari proyek identitas nasional, karena secara tekstual kepeloporan film-film Usmar Ismail yang modernis bertandem dengan film-film D Djajakusuma sebagai seorang tradisionalis. Jika melalui pengungkapan persoalan-persoalan Indonesia setelah kemerdekaan seorang Usmar membangun identitas Indonesia baru, melalui film-film seperti Harimau Tjampa (1953), Tjamboek Api (1958), dan Lahirnja Gatotkatja (1961), Djajakusuma menggali akar identitas Indonesia. Dengan kata lain, jika sinema Indonesia semula diniatkan sebagai representasi Indonesia modern, keberadaan tandem Ismail-Djajakusuma membuktikan terdapatnya gejala-gejala kondisi pascamodern, ketika istilah itu masih jauh dari dikenal, karena modernitas di Indonesia ternyata tidak menyingkirkan, melainkan hidup bersama dengan tradisi.
Dalam rentang wacana seperti itulah sinema Indonesia telah diperkaya oleh film-film seperti Apa jang Kau Tjari, Palupi? (Asrul Sani, 1973) yang mempertanyakan modernitas, Si Mamad (Sjuman Djaya, 1973) yang mengungkapkan ironi korupsi kelas bawah, Wajah Seorang Laki-laki (Teguh Karya, 1971) yang memberi alternatif sejarah kolonial Indonesia, Pengantin Remaja (Wim Umboh, 1971) yang mengesahkan keberadaan anak muda perkotaan, Suci Sang Primadona (Arifin C.Noer, 1977) yang menggugat moralitas urban, Titian Serambut Dibelah Tujuh (Chairul Umam, 1982) yang menyingkap drama kehidupan beragama di pedesaan, trilogi Inem Pelayan Sexy (Nya’ Abbas Akup, 1976/1977/1977) sebagai kritik sosial yang mampu sekaligus menghibur, sampai Marsinah (Slamet Rahardjo Djarot, 2002) yang menegaskan praktek busuk aparat nan berlumuran darah.
Setelah Reformasi 1998, tanpa mengabaikan kontribusi Riri Riza [Eliana, Eliana (2002) dan Atambua 39 C (2012)], Rudi Soedjarwo [Ada Apa dengan Cinta? (2001) dan Mengejar Matahari (2004)], Hanung Bramantyo [Sang Pencerah (2010)dan Soekarno (2013)], dan banyak nama lagi, saya ingin menunjukkan pencapaian penting sinema Indonesia yang merupakan gejala terbaru dan mungkin terpenting, yakni pencapaian film bukan dalam perkara artistik, dan bukan pula kelarisannya sebagai barang dagangan, melainkan sebagai media perjuangan ideologis.
Bermain dengan statistik, dalam sejarah film yang jika dimulai dari masa pra-kemerdekaan, dihitung dari pertunjukan film pertama, sebetulnya memasuki tahun ke-114 (Saptatia DN dkk., 2011), tercatat terdapatnya 33 perempuan sineas, yang bagi negeri seperti Indonesia ini bukan sekadar jumlahnya—melainkan bahwa 29 di antaranya sedang bekerja di negeri ini pada hari ini juga, lompatan jumlahnya dalam skala global pun adalah fenomenal.
Bagaimana angka-angka statistik ini berhubungan dengan suatu perjuangan ideologis? Karena jika empat perempuan sutradara pada masa pra-kemerdekaan maupun pra-reformasi memang berjenis kelamin perempuan, tetapi pandangan dunianya tetap dalam dominasi pandangan patriarkis, maka dalam berbagai kajian selama dekade mutakhir tercatat terdapatnya pertanyaan, gugatan, perlawanan, dan tuntutan kesetaraan dalam film-film para perempuan sutradara ini atas kedudukan perempuan (Michalik, 2013).
Dalam kenyataannya, menurut saya, para perempuan sineas ini, bukan hanya sebagai sutradara, tetapi juga sebagai produser, penulis skenario, editor, dan juga kamerawan, bahkan telah mengambil alih berbagai posisi yang sebelumnya mutlak merupakan dominasi lelaki, dengan profesionalisme yang takjarang lebih dari setara, untuk mengungkap kenyataan dunia dalam suatu pandangan perempuan. Dengan kata lain, garis bawah pencapaian sinema Indonesia mutakhir memang juga dalam dimensi artistik maupun komersial, tetapi yang lebih perlu dinyatakan sekarang adalah pencapaiannya dalam bidang politik, tepatnya politik gender.
Bagaimanapun, dengan segala gangguan atas kebahagiaan perihal hubungan film Indonesia dan identitas nasional, yang sempat saya bangkitkan pada awal catatan ini, di sini kita semua ikut menjadi saksi, betapa film-film yang dihasilkan para pembuat film seperti Christine Hakim, Nia DiNata, Mira Lesmana, Shanty Harmayn, Nan Triveni Achnas, Upi Avianto, Lasja F Sutanto, Ucu Agustin, dan siapapun mereka yang sekaum seperjuangan, dengan bahasa-filmnya masing-masing telah menorehkan jejak politis dalam pembelaan perempuan, yang tidak seperti akan pernah bisa dihapuskan lagi.
Puan-puan dan Tuan-Tuan,
Dengan segala hormat, saya akhiri pidato ini sampai di sini.
Salam!
Daftar Pustaka:
Barker, Chris., The SAGE Dictionary of Cultural Studies (London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Publications, 2004).
Bertens, K, Filsafat Barat Abad XX., Jilid II: Prancis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996).
Choi, Jinhee, Noel Carroll (peny.), Philosophy of Film and Motion Pictures (Malden, Oxford, Victoria: Blackwell Publishing, 2006).
Crespigny, de Anthony, Jeremy Cronin (peny.), Ideologies of Politics (Cape Town: Oxford University Press, 1975).
Ismail, Usmar., “Film Saya yang Pertama”, majalah Intisari No. 1., Tahun I, 17 Agustus 1963.
Michalik, Yvonne (peny.), Indonesian Women Filmmakers (Berlin: regiospectra, 2013).
Saptatia DN, Henny., Fahmi Taftazani, Alfon Satria Harbi, 111 Tahun Kronika Perfilman Indonesia (1900-2011), (Jakarta: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, 2011)
Scherer, Savitri Prastiti., Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiran Priayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX, terjemahan Jiman S. Rumbo (Jakarta: Sinar Harapan, 1985).
Van der Veur, Paul W., (peny.), Kenang-Kenangan Dokter Soetomo (Jakarta: Sinar Harapan, 1984).
Woodward, Kathryn (peny.), Identity and Difference (London, Thousand Oaks, New Delhi:SAGE Publications, 1997).