Artikel/Kajian Film MPA Segera Kembali? Tunggu Dulu...

Kajian Lisabona Rahman 25-06-2011

Baiklah. Penonton Indonesia rindu film-film produksi studio besar Hollywood anggota Motion Pictures Association (MPA). Sementara ini kerinduan itu cuma bisa ditebus dengan pergi ke negeri jiran, misalnya Singapura. Begitu terbetik kabar tarif impor film yang baru akan segera diumumkan, orang segera berandai-andai bahwa kekosongan pasokan film-film MPA akan segera terisi kembali. Sayangnya dalam hal film-film MPA persoalannya tidak sesederhana itu. Sayangnya lagi, pemerintah Indonesia kelihatan sekali tidak menguasai persoalan sehingga tak mampu menanganinya.


Kusut Masai Monopoli Impor dan Distribusi

Selama importir Camilla Internusa dan Satrya Perkasa belum menyelesaikan kekurangan bayar pajak mereka berikut dendanya, Menteri Keuangan menyatakan tidak akan mengizinkan kedua perusahaan ini mengimpor film. Kedua perusahaan ini masing-masing adalah importir eksklusif film-film MPA di Indonesia. Importir ketiga yang sudah membayar pokok kurang bayar pajaknya, PT Amero Mitra, adalah salah satu importir film-film independen Amerika (non-MPA). Ketiga perusahaan ini memasukkan mayoritas jumlah film Amerika yang beredar di Indonesia.

Pertanyaannya lantas: Kenapa MPA tidak mencari mitra baru untuk mengedarkan film-filmnya. Sejak Maret lalu film mereka tidak beredar di Indonesia. Sekarang masanya summer blockbuster beredar, artinya musim panen buat produser-distributor-bioskop. Kenapa MPA begitu gigih memboikot produknya dari Indonesia? Ini aneh karena masalahnya saat ini adalah tunggakan bea masuk dan pungutan withholding tax yang tidak disetorkan oleh importir/distributor mereka di Indonesia. Tunggakan bukan urusan ataupun tanggungjawab MPA. Kita tahu bahwa persoalan pajak di Amerika adalah persoalan serius, pengusaha manapun yang kena kasus pajak pasti tamat riwayatnya. Apakah ini sekadar kesetiaan pada mitra bisnis yang sedang kena masalah atau hubungan bisnis ini sudah disegel dengan cara yang tidak patut?  

Selama ini impor yang macet hanyalah dari dua perusahaan tadi. Sejak Maret 2011 perusahaan-perusahaan importir yang lain tetap bisa memasukkan film. Hanya saja, film-film non-MPA seperti tidak kelihatan karena kalah pamor dari film-film laris dengan strategi promosi besar-besaran yang biasanya diedarkan oleh anggota MPA. Padahal, film-film MPA tidak selalu bermutu tinggi dan film-film non-MPA banyak juga yang baik kualitasnya. Pengusaha bioskop dan mal mulai merugi karena kehilangan potensi penghasilan dari para penonton film-film ini. Para pecinta film MPA mulai menumpahkan kekesalannya dan mencela kegigihan Kementerian Keuangan menuntaskan kasus tunggakan pajak ini.

"Menurut saya masalahnya bukan pada aspek fiskal, tetapi lebih kepada distribusi film di dalam negeri yang perlu banyak dibenahi. Itu bukan domain kami. Masalahnya, mau nggak MPA kerjasama dengan importir lain selain yang tiga itu? Kembali, itu bukan domain bea cukai," kata Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Agung Kuswandono kepada detik.com (30 Mei 2011).

Aneh sekali bahwa yang melihat persoalan hilangnya film-film laris MPA dari bioskop-bioskop di Indonesia sebagai persoalan distribusi justru pihak Kementerian Keuangan. Menteri Keuangan Agus Martowardojo berharap studio-studio besar Hollywood membuka kantornya di Indonesia. Dengan cara ini, menurutnya distribusi film akan lebih sehat karena tak lagi dikendalikan importir tunggal yang saat ini juga menguasai jaringan bioskop. Agus mengatakan macetnya pasokan film MPA saat ini bukanlah soal kebijakan fiskal, tapi soal monopoli sistem distribusi. "Seandainya tidak ada sistem yang monopolistik seperti sekarang, tentu [perusahaan - Red.] peredaran film akan lebih banyak di Indonesia," katanya kepada Tempo Interaktif (21 Juni 2011).

Sebetulnya pada awal 1990-an (lihat artikel Eros Djarot, Sepuluh Tuntutan Fiktif MPEAA dan Nasionalisme, 1991) permintaan yang sama sudah pernah diutarakan oleh MPA (waktu itu masih MPEA) kepada pemerintah Indonesia. MPA juga meminta diizinkan bernegosiasi langsung dengan pemilik bioskop alias mendistribusikan sendiri film-filmnya. Tapi pemerintah justru tidak mengabulkan permintaan itu dan meminta MPA ’bekerjasama’ dengan mitra lokal tunggal yang disebut importir. Sekarang anehnya justru MPA yang bersikeras tetap mempertahankan hambatan berbisnis langsung yang dulu menjadi agenda utama mereka.


Perubahan Sikap Pemerintah Indonesia

Pada awal Januari 2011 Direktorat Jenderal Pajak membuat surat edaran supaya importir membayar pajak sesuai ketentuan. Setelah ada perselisihan antara importir dan MPA dengan Kementerian Keuangan, bulan ini diputuskan cara penghitungan pajak impor yang baru. Pajak terhadap film impor diubah cara penghitungannya menjadi satu harga dan dihitung menurut durasi film (menit) serta jumlah kopi film. "Belum diputuskan. Tapi kami sudah bicara dengan Pak Jero Wacik (Kemenbudpar), harga tarifnya itu di kisaran Rp 21.000 - 22.000 per menit per copy," ungkap Agus.

Tarif baru ini sering disalahpahami sebagai kenaikan tarif/bea masuk impor. Padahal yang dilakukan sebetulnya adalah koreksi terhadap cara penghitungan yang selama ini dilakukan tanpa didasarkan pada nilai kontrak jual-beli film (baca Saatnya Membenahi Urusan Film Impor Secara Menyeluruh, JB Kristanto, 2011). Kalau disetarakan dengan perhitungan yang baru dengan satuan menit, tarif lama yang selama ini dibayar para importir kurang lebih sebesar Rp 13.000 per menit per kopi (termasuk PPN dan pungutan lainnya). Jumlah ini belum termasuk perhitungan withholding tax yang dihasilkan dari pendapatan pemutaran film. Menurut sumber FI, withholding tax akan diperhitungkan kemudian setelah urusan tarif impor film diselesaikan.  


Menkeu vs MenBudpar

Sementara Menkeu sibuk membereskan kebijakan barunya, entah apa yang dikerjakan Menbudpar Jero Wacik. Pada 9 Juni 2011 lalu ia mengumumkan bahwa persoalan film impor sudah beres dan semua film impor sudah bisa masuk pada pertengahan Juni ini. Menkeu jadi berang. "Memangnya dia (Menbudpar Jero Wacik) yang neken (SK)? Masih mau dibahas," kata Agus di gedung DPR, pada 9 Juni 2011 seperti dikutip Republika.  

Pernyataan-pernyataan yang dibuat Menbudpar memang menunjukkan dua kemungkinan: pertama, ia memang sama sekali tidak menguasai persoalan politik film impor di Indonesia atau kedua, ia pura-pura tidak tahu untuk mempertahankan persoalan monopoli dan distribusi film impor di Indonesia. Menbudpar bukannya ikut mengurai persoalan monopoli ini, malah membuat pernyataan-pernyataan asal jadi yang menyesatkan. Memang Menbudpar ini sejak awal masa bertugasnya belum membuktikan dirinya mampu membuat kebijakan-kebijakan untuk menyelesaikan persoalan nyata industri film Indonesia.

Tapi Menkeu, meskipun upayanya menuju ke arah yang benar, kelihatan juga kurang menguasai persoalan. Ia menyatakan, ”Idealnya di Indonesia terdapat perusahaan penggandaan film. Dengan demikian, saat masuk film baru, seluruh bioskop bisa memperoleh film berkualitas secara bersamaan.”

Sebetulnya saat ini di Indonesia sudah ada dua perusahaan penggandaan film yaitu PT Inter Studio dan PT Mitra Lab. Malah sempat beredar kabar bahwa satu perusahaan lagi sedang dipersiapkan bekerjasama dengan perusahaan serupa dari Thailand. Persoalannya adalah bagaimana kualitas perusahaan-perusahaan penggandaan ini bisa memenuhi kualitas dan jaminan keamanan yang disyaratkan oleh MPA. Tentu perlu diperiksa lebih lanjut yang mana yang sudah memenuhi standar.  

Menkeu juga ternyata salah kaprah, mudah-mudahan ini bukan salah kutip, tentang peran perusahaan penggandaan film dan distributor. "Indonesia harus mempunyai perusahaan penggandaan film yang bertujuan memungkinkan pemilik bioskop berhubungan dengan banyak pemilik bioskop lainnya, sehingga pemilik bioskop akan banyak belajar dan berkembang. Hal ini dapat meningkatkan kualitas film dalam negeri," kata Agus seperti dikutip Viva News.

Sebetulnya peran menjaga pemerataan jumlah film tidak mungkin berada di pihak perusahaan penggandaan. Yang bisa menentukan siapa yang boleh membeli dan memutarkan film adalah distributor. Tapi tidak mungkin juga distributor harus dipaksa membuat kebijakan sama rata-sama rasa untuk film impor laris yang harganya mahal. Lagi-lagi, kalau mau ada perilaku seperti ini pemerintah harus menciptakan suasana yang kondusif misalnya dengan memberikan insentif atau kemudahan bagi distributor yang mau menjalankan fungsi-fungsi semi-amal seperti ini.

Perlu dicatat bahwa yang dibutuhkan adalah suasana kondusif, ini bukan berarti pemerintah ikut campur urusan distribusi dan mengarang proyek-proyek dadakan distribusi film (seperti halnya proyek bikin film atau membuat booth film di festival Cannes). Justru pekerjaan rumah pemerintah adalah membuat strategi jangka panjang supaya ada insentif berinvestasi di bidang ini. Selain itu, pemerintah juga harus mengimbangi strategi perbaikan distribusi film impor dengan strategi yang sama kuatnya untuk pengembangan produksi/distribusi film lokal supaya dalam satu pelaksanaan strategi bisa diciptakan pasar film yang terjaga keberagamannya. Artinya dalam strategi ini film-film hantu harus bisa sampai kepada penonton yang memang menggemarinya, sementara para penggemar film MPA juga bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan. Saat ini semua jenis film berebut tempat di bioskop-bioskop yang sama yang dimiliki oleh perusahaan yang memegang hak tunggal impor film-film MPA pula.


Adakah Importir Baru Bertumbuhan?

Untuk mengatasi aliran film-film MPA yang macet, memang tampaknya perlu ada importir baru. Sebetulnya tanpa persoalan tunggakan pajak importir film-film MPA pun, sudah sepatutnya kesempatan untuk mengimpor film Amerika ke Indonesia tidak hanya diberikan ke tangan sekelompok perusahaan saja. Soalnya adalah dari ratusan film yang dihasilkan di Amerika setiap tahun, banyak film-film non-studio besar yang mutunya tinggi sekali dan selama ini hanya diakses oleh penonton di Indonesia melalui DVD bajakan. Makin beragam importirnya, makin besar kemungkinan film-film bermutu bisa masuk ke Indonesia secara legal. Saat ini, praktis hanya segelintir orang dari tiga perusahaan importir yang menentukan film Amerika mana yang bisa dilihat oleh penonton Indonesia.

Sementara ini beredar kabar bahwa ada calon-calon importir baru yang sudah mendapatkan izin dari Kementrian Perdagangan dan Kementrian Perindustrian, tinggal meminta nomor induk kepabeanan. Menanggapi kabar itu Direktur Jenderal Bea dan Cukai Agung Kuswandono mengeluarkan pernyataan akan memeriksa apakah perusahaan-perusahaan ini tetap dimiliki oleh para pemilik perusahaan impor film yang masih menunggak pajak. Sumber FI menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan baru yang mendaftar itu beralamat di Jl. Wahid Hasyim, Jakarta. Kantor PT Camilla Internusa dan Satrya Perkasa berada di jalan yang sama, begitu juga perwakilan beberapa perusahaan anggota MPA seperti Fox Searchlight dan Warner Bros.

Sebetulnya aneh juga mengapa Dirjen Bea dan Cukai yang harus memeriksa latar belakang perusahaan-perusahaan baru tadi. Ini bisa jadi menunjukkan kekacauan koordinasi antar instansi pemerintahan. UU no. 33/2009 tentang Perfilman jelas menyatakan bahwa perusahaan importir film harus mendapatkan izin usaha dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Lantas, kenapa hanya Dirjen Bea dan Cukai merasa perlu memeriksa latar belakang para calon importir itu? Apakah instansi-instansi lain mulai dari tingkat kelurahan sampai Kementerian Perdangangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Budpar tidak menjalankan fungsi kontrol mereka?


Bagaimana Selanjutnya?

Jelas bahwa persoalan impor film dan distribusi harus ditangani bersama-sama oleh industri film dan pemerintah. Pemerintah harus bisa mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk membuat kebijakan baru menyelesaikan persoalan impor film dan distribusi ini. Langkah positif Kemenkeu sebaiknya diimbangi oleh upaya yang sepadan dari instansi lain, terutama Kemenbudpar.

Analisis Menkeu sudah tepat, persoalan monopoli distribusi film harus dibereskan kalau mau memperbaiki kondisi industri. Ini tidak hanya akan memperbaiki kondisi peredaran film impor, tapi juga film lokal.

Sementara ini karena tidak ada lagi distributor film, para produser film harus menawarkan langsung filmnya kepada bioskop. Karena menguasai mayoritas layar dan pasokan film di Indonesia, perusahaan bioskop 21/XXI bisa menentukan waktunya suatu film bisa beredar. Jangan lupa bahwa dalam pemutaran satu tahun, jumlah film impor lebih banyak mengisi layar bioskop kita dibandingkan dengan film lokal. Karena itu bioskop manapun harus bergantung pada importir film untuk mengisi layarnya.

Tak akan ada satu bioskop pun di luar jaringan 21/XXI yang bisa menolak pengaturan pengedaran film impor kalau tak mau pasokan filmnya terganggu. Tentu saja ini bukan iklim usaha yang sehat. Dalam kondisi ini film lokal juga ikut terpengaruh karena harus berebut jatah tayang dengan film-film impor di layar bioskop yang sama. Kalau importir juga adalah distributor sekaligus pemilik bioskop, maka tentu saja film impor akan mendapat prioritas pemutaran karena si importir yang sudah mengeluarkan modal mengimpor film ingin mendapatkan keuntungan dari distribusi dan pemutaran filmnya.

Menbudpar Jero Wacik baru saja mengeluarkan pernyataan baru soal bioskop. "Kita berencana menambah layar lagi dari sekarang 600 jadi 1.000 sampai 2014. Saya sedang persiapkan aturan dan kemudahan bagi gedung bisokop baru dan layar-layar baru," katanya kepada detik.com. Kalau Kemenbudpar tidak membenahi persoalan distribusi film (baik impor mapun lokal), film apa yang akan diputar di 1.000 layar itu nanti?

UU Perfilman sudah melarang adanya integrasi vertikal dalam usaha perfilman, karena itu pemerintah harus mendorong pemisahan usaha antara bioskop dan distribusi film, baik untuk film impor maupun lokal. Tanpa menyehatkan distribusi film, mengupayakan tambahan 400 layar bioskop lagi takkan ada gunanya. Para pengusaha pun tak akan berani mengambil resiko meskipun mendapat kemudahan pinjaman modal.

Tak ada pilihan lain untuk menyelesaikan persoalan industri film saat ini selain menghentikan monopoli dan integrasi fungsi impor, distribusi dan pemutaran film di tangan satu perusahaan dominan. Masalah ini sudah ada sejak awal tahun 1990-an dan memang dimungkinkan oleh situasi politik masa itu (baca Dominasi Film Impor dan Dilema Perfilman Nasional, A Rahim Latif, 1991). Setelah 10 tahun lebih terjadi perubahan politik, mengapakah pemerintah tidak kunjung mau membenahinya?

Sekaranglah saatnya.

Baca juga "Kronologi Kasus Tarif Impor Film 2011" (Lisabona Rahman, 2011)