Penilaian penulis: 4/10
Pembicaraan tentang masa depan bangsa selalu mengundang diskusi yang panjang. Begitulah yang terekam dalam Hope, film dokumenter karya Andibachtiar Yusuf, yang sebelumnya menghasilkan The Jak (2007), The Conductors (2008) dan Romeo & Juliet(2009). Hope sejatinya mengulang pesan-pesan sosial yang selama ini sering disuarakan oleh media, yakni perubahan demi kebaikan bersama. Dalam Hope, tergambarkan sebuah kondisi masyarakat Indonesia dan generasi penerusnya, yang selama ini dan akan tetap menghadapi ancaman-ancaman yang berpotensi menghambat perkembangan bangsa. Sebut saja carut marut dunia politik dan kebobrokan mental masyarakat. Solusinya adalah konsistensi dalam berharap, walau kondisi sekitar sepertinya tak pantas diberi harapan. Tentu saja harapan tersebut juga harus diimbangi dengan tindakan, karena menurut Hope hanya melalui tindakan perubahan bisa terjadi.
Walaupun pesan yang disampaikan Hope sudah sangat akrab di telinga, sangatlah tidak adil menilai film tersebut berdasarkan pesannya saja. Sinema tidak hanya bertumpu pada pesan yang disampaikannya, tapi pada relasi antar elemen-elemen di dalamnya. Relasi tersebut yang menjadi poros interaksi suatu film dengan penontonnya, baik dalam konteks hiburan maupun advokasi. Perihal advokasi, Hope menyampaikan pesannya melalui struktur tiga bab. Bab pertama berjudul The Majorities, yang melihat Indonesia dari perspektif pendukung partai-partai besar di Indonesia, macam PDI, PKS, dan Golkar. Terselip di antaranya beberapa orang yang memilih untuk tidak mendukung siapa-siapa, alias golongan putih. Bab kedua adalah The Minorities, yang melihat Indonesia dari sudut pandang orang Tionghoa. Spesifiknya: kelompok barongsai yang konstan mengharumkan nama bangsa di kancah internasional, tapi juga konstan tidak diperhatikan oleh pemerintah. Pada bab ketiga, alias The Nation, penonton menyaksikan Pandji Pragiwaksono dan Otong KOIL menarasikan opini mereka tentang berharap dan bertindak untuk bangsa.
Bila dilihat secara terpisah, masing-masing bab dalam Hope memiliki kelemahan dan kekuatannya sendiri dalam menjelaskan pendiriannya tentang harapan bangsa. Dari ketiga bab yang ada dalam film, The Majorities yang paling kuat. Bab pertama tersebut terdiri dari wawancara dengan beberapa narasumber perihal potensi kemakmuran Indonesia dalam berbagai rezim politik. Dari cara bertuturnya, terlihat kalau bab ini tidak ingin memberi jawaban, tapi memancing pertanyaan di benak penonton. Setiap narasumber yang diwawancarai adalah pendukung partai tertentu, yang tentunya memiliki pendirian politiknya sendiri, dan opininya sendiri perihal langkah yang tepat untuk membangun bangsa. Awalnya, masing-masing opini punya nilai positifnya sendiri. Ketika editing film kian intens, dan putus sambung dari satu wawancara ke wawancara lain kian cepat, terlihat bagaimana opini para narasumber saling berlawanan. Ideologi dan pendirian partai mereka masing-masing tidak kompatibel satu sama lain. Efeknya: banyak pertanyaan ‘bagaimana kalau...?’ yang menggantung di benak penonton.
Bab kedua film, The Minorities, malah kedodoran. Eksekusinya memang rapi dan mudah dimengerti. Melalui serangkaian footage dokumentasi kegiatan, terjelaskan bagaimana sebuah kelompok barongsai dari Indonesia beraktivitas dan berprestasi di kompetisi antar bangsa. Melalui beberapa adegan wawancara, terlihat bagaimana reaksi mereka terhadap pemerintah yang tidak peduli terhadap kegiatan dan prestasi mereka. Sayangnya, pembahasan hanya seputar isu itu-itu saja. Kecuali pembahasan soal relasinya dengan pemerintah, bagian kedua mengabaikan relasi kelompok barongsai tersebut dengan dunia di luar mereka. Tidak ada adegan yang menghubungkan mereka dengan orang Tionghoa yang berprofesi lain. Lebih signifikan lagi, tidak ada adegan yang menghubungkan mereka dengan kaum minoritas lainnya di Indonesia. Hasilnya: penonton mendapat fakta yang menyesakkan tentang dinginnya pemerintah Indonesia, namun fakta tersebut sangatlah sempit dan menyederhanakan realita yang ada. Salah-salah bagian ini disangka profil kelompok barongsai semata.
Penurunan performa di bab kedua segera terlupakan di bab ketiga. The Nations menggunakan resep bab pertama dalam berinteraksi dengan penonton, yakni melalui kontradiksi opini antar narasumber. Pandji dan Otong adalah dua figur yang berbeda. Satunya sukses dalam kampanye citra Indonesia di situs jejaring sosial, satunya lagi adalah penyanyi lagu cadas dengan lirik sarat kritik sosial. Satunya murah senyum dan penuh canda, satunya lagi sinis dan cenderung kasar. Kontradiksi keduanya silih berganti mengundang tawa, sekaligus menawarkan alternatif tentang berharap dan bertindak untuk bangsa. Sayangnya, seperti bab kedua, The Nations hampir tidak menawarkan hal lain di luar narasumbernya. Kecuali beberapa footage demonstrasi, tidak ada adegan yang menghubungkan kedua narasumber dengan realita di sekitarnya. Kalaupun ada, adegan-adegan tersebut lebih bercerita tentang status keduanya sebagai selebriti, seperti adegan Pandji berfoto dengan para penggemarnya, atau pemandangan riuh rendah penonton KOIL saat Otong manggung. Konsekuensinya: bagian ketiga ini jadi sangat sempit pada opini narasumber, yang mayoritas berupa pesan dan motivasi semata, dengan sedikit fakta untuk mendukung pernyataan-pernyataan tersebut.
Bila dilihat sebagai suatu kesatuan, Hope terlalu tidak konsisten untuk menghasilkan kesan yang mendalam. Kecuali tema besar filmnya, relasi antara satu bab ke bab lainnya sangatlah minim. Masing-masing bab bicara tentang subyeknya sendiri dengan caranya sendiri-sendiri, akibatnya semua bab tersebut terlihat seperti berdiri sendiri-sendiri. Satu detail teknis yang mengganggu adalah kemunculan tulisan “Bogalakon Pictures mempersembahkan” dan kemudian judul film di awal bab pertama dan bab ketiga. Pada bab pertama, muncul judul To Die For setelah tulisan Chapter I: The Majorities. Sementara di bab kedua, muncul judul Hope setelah tulisan Chapter III: The Nation.Saya tidak tahu apakah itu kesalahan atau memang suatu kesengajaan. Masalahnya, dua bab tersebut jadi terlihat bertabrakan dengan keseluruhan pembagian film. Apakah ketiga bab merupakan bagian dari satu film panjang berjudul Hope? Atau, Hope hanyalah bagian ketiga dan dua bab lainnya adalah dua film pendek dengan judulnya sendiri?
Berdasarkan cara bertuturnya dan relasi elemen-elemen di dalamnya, Hope terlihat seperti sebuah ensiklopedia tentang harapan di Indonesia. Pendekatannya terhadap subyek yang ingin dibahas datang dari berbagai sudut. Masing-masing bab menyelesaikan bahasannya secara solid, rapi, walau tidak ada kejutan baru di dalamnya. Sayangnya, layaknya membaca ensiklopedia, penonton mendapat banyak wawasan dari Hope, tapi tidak utuh dan hanya sepotong-sepotong.
Hope | 2010 | Durasi: 76 menit | Produksi: Bogalakon Pictures | Produser: Andibachtiar Yusuf, Amir Pohan | Sutradara: Andibachtiar Yusuf