Tahun 2011 kemarin, Jakarta International Film Festival (JIFFest) absen dari kalender penggemar film di Indonesia. Alasannya: kekurangan dana. Dalam wawancaranya dengan FI, direktur JIFFest Lalu Roisamri menjelaskan bahwa donor asing telah menghentikan saluran dananya. Padahal, donor asing itulah yang menjadi komponen utama penyelenggaraan JIFFest selama ini, sekitar 50% dari total biaya yang dibutuhkan. Absensi JIFFest patut disayangkan, mengingat festival tersebut sudah punya kantong penonton yang cukup besar: rata-rata 15.000 orang setiap tahunnya. Selain itu, melalui lokakarya serta kompetisi penulisan naskah, JIFFest terhitung sukses meluncurkan sejumlah nama yang kini mempunyai karier yang patut diperhitungkan di perfilman nasional. Beberapa di antaranya adalah Salman Aristo, Tumpal Tampubolon, Ariani Darmawan, dan Ucu Agustin.
Pada tahun yang sama, festival-festival film mulai menjamur di seantero negeri. Dua yang patut mendapat perhatian ke depannya adalah Festival Film Solo (FFS) dan International Environmental Film Festival (IIEF). Semenjak tutupnya Festival Film Pendek Konfiden 2010 silam, FFS merupakan festival film pertama di Indonesia yang memfokuskan diri pada film pendek dalam skala nasional. Sementara itu, IIEF sukses membawa sejumlah film (salah satunya The Mirror Never Lies) ke Wakatobi, Sulawesi Tenggara, sebuah daerah yang tak terjamah oleh jaringan bioskop nasional. Format pemutarannya pun diadaptasi dengan fitur geografis Wakatobi yang dominan laut: layar tancap di pinggir pantai dengan perahu sebagai bangku penonton. Selain itu, IIEF turut mengadakan sejumlah lokakarya produksi film ke penduduk lokal.
Tentunya, di samping festival-festival baru, ada sejumlah nama lama yang masih berjalan hingga kini. Sebut saja Festival Film Purbalingga (FFP, ada sejak tahun 2007), Q! Film Festival (QFF, 2003), Indonesia International Fantastic Film Festival (iNAFF, 2007), Festival Film Dokumenter (FFD, 2001), Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF, 2006), dan Festival Film Indonesia (FFI, 1955, sempat absen dari tahun 1992 sampai 2004). Masing-masing punya fokusnya sendiri. FFP berkonsentrasi pada pengembangan komunitas film lokal, sementara iNAFF dan QFF menjadi titik temu komunitas di ibukota: iNAFF untuk penggemar film horor dan fantasi, QFF untuk kaum LGBT. Di Jogjakarta, FFD dan JAFF menjadi titik temu bagi komunitas film di Jogjakarta dan sekitarnya, sekaligus etalase perkembangan estetik di film-film yang mereka dalami: dokumenter dan sinema Asia. Di samping itu semua, ada FFI yang diharapkan bisa menjadi barometer perfilman nasional.
Cerita dari Venetia
Dua isu yang patut digarisbawahi di sini: kontribusi dan keberlangsungan hidup festival. Idealnya, festival film bisa berkontribusi ke dua pihak: pembuat dan penonton film. Untuk pembuat film, ada layar, timbal balik, serta kantong penonton tersendiri yang tidak bisa terakomodasi via jaringan bioskop. Dalam jangka panjang, festival film bisa menjadi pasar tersendiri, baik sebagai bagian dari jaringan pasar film domestik maupun internasional. Di sisi lain, festival film menjadi konsentrasi interaksi penonton-dengan-film maupun penonton-dengan-penonton. Festival tidak saja menyediakan tontonan alternatif, tapi juga memberi ruang alternatif bagi penonton untuk “merayakan” film. Lagi-lagi, ruang dan tontonan alternatif itulah yang tidak bisa didapat dari jaringan bioskop.
Tiga pilar perfilman yang bisa terlayani melalui festival film adalah ekshibisi, apresiasi, dan distribusi.Untuk mencapai gambaran ideal tersebut, festival film perlu memiliki jaminan keberlangsungan hidup. Wujudnya adalah fondasi finansial yang solid. Hanya dengan begitu bisa tercipta kontinuitas. Festival film bisa terus diadakan, berkembang dari tahun ke tahun hingga mencapai (atau setidaknya mendekati) kondisi ideal. Gambaran ideal di atas terkait dengan prinsip dasar festival film di seluruh dunia: geopolitik. Prinsip tersebut memayungi dua prinsip lainnya: bisnis dan kebudayaan. Perihal geopolitik ini bisa dijelaskan dengan sedikit retrospektif.
Isu geopolitik dalam festival film pertama kali diwacanakan pada tahun 1932. Pemerintah Italia berencana mengadakan festival kebudayaan di Venetia, dan melibatkan film sebagai salah satu produk budaya yang diekshibisikan.[i] Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Venice International Film Festival. Patut diingat bahwa Eropa waktu itu sedang tegang-tegangnya. Pasca perang dunia pertama, negara-negara Eropa sedang terkungkung oleh nasionalismenya sendiri-sendiri. Di waktu yang bersamaan, film bersuara sudah mapan dalam khazanah perfilman dunia. Suara terkait dengan bahasa, dan oleh karenanya menjadi penanda kultural suatu film. Konsekuensinya, film tidak saja dilihat sebagai medium artistik dan komoditas pasar, tapi juga perwakilan jiwa-raga suatu bangsa. Kondisi inilah yang menyulitkan distribusi film lintas negara. Masing-masing negara protektif dengan produk kebudayaannya sendiri.
Pemerintah Italia pun mendesain Venice International Film Festival sebagai sebuah ruang di mana keragaman bahasa tidak jadi soal. Sebaliknya, keragaman bahasa menjadi sebuah kondisi yang melahirkan banyak potensi. Tercipta etalase yang memamerkan kekayaan budaya film Eropa. Tercipta pula program kompetisi yang menakar film dari segi artistik dan intelektual. Konsekuensinya, kemenangan suatu film di festival tidak saja menjadi pengakuan bagi kehandalan pembuat filmnya, tapi juga bagi perkembangan seni dan budaya negara asal pembuat film. Italia sebagai negara penyelenggara festival pun mendapat kredit sebagai kontributor perkembangan sinema, baik dari penggiat film lokal maupun internasional. Nilai-nilai inilah yang membuat festival film penting. Nilai-nilai serupa tetap dijunjung ketika sekarang sudah tercipta jaringan festival film lintas negara, yang turut menjadi tulang punggung pasar film internasional.
Inisiatif Pemerintah
Festival film berarti juga merupakan perkara identitas bangsa. Lantas, bagaimana dengan peran pemerintah Indonesia terkait dengan festival-festival film di negeri ini? Secara konstituisional, pemerintah mendukung. Dalam UU no. 33 tahun 2009 tentang Perfilman, pasal 37 secara gamblang menjelaskan bahwa kegiatan apresiasi film “wajib mendapat dukungan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah”. Kegiatan apresiasi film yang dimaksud meliputi “festival film”, “seminar, diskusi, dan lokakarya”, serta “kritik dan resensi film”. Terkait dengan festival film, pasal 37 sayangnya belum sepenuhnya tercermin pada realita yang ada.
Absensi JIFFest tahun 2011 adalah satu indikasi. Ketergantungan JIFFest terhadap donor asing sesungguhnya takkan terjadi apabila pemerintah mau menyokong festival tersebut secara finansial. Mengutip pernyataan Lalu, “Komponen pendanaan festival di luar negeri yang jadi referensi kita selama ini adalah 30 persen dari negara, 30 persen dari kota, dan 40 persen dari swasta. Kami tidak kesulitan mencari 40 persen swasta. Yang 30 persen negara dan 30 persen kota, selama ini disubstitusi dengan donor asing.” Menurut Lalu, JIFFest pernah mendapat bantuan cukup besar oleh pemda Jakarta pada tahun 2006. Sayangnya, bantuan dana tersebut tidak berkelanjutan.
Permasalahan serupa turut ditemukan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival. Dalam wawancaranya dengan FI, direktur JAFF Budi Irawanto menjelaskan bahwa festivalnya selama ini murni mengandalkan dana dari sponsor swasta dan sumber dana independen. “Kami berharap ada kontribusi dari pemerintah. Maksudnya bukan seratus persen ya, karena dukungan dana seratus persen dari pemerintah akan tidak sehat juga. Kami sendiri pun masih bisa mengusahakan kebutuhan dana sisanya secara independen,” jelas Budi. Penyelenggara JAFF sendiri pernah dua kali mendapat bantuan dari pemerintah: tahun 2006 dari pemerintah daerah sebagai bagian dari program ulang tahun kota Jogja, dan tahun 2008 dari Kementerian Pariwisata. Namun, serupa seperti JIFFest, dukungan tersebut tidak berkelanjutan.
Pemerintah sendiri bukannya tidak punya kepentingan terhadap festival film. Tahun kemarin, ada ASEAN Film Festival yang diselanggarakan pada bulan November di Bali. Festival tersebut merupakan inisiatif dari Kementerian Pariwisata dan Perekonomian Kreatif. Di satu sisi, inisiatif ini patut diapresiasi sebagai usaha pemerintah untuk mempromosikan budaya nasional. Di sisi lain, muncul pertanyaan: kenapa tidak sekalian juga mendukung festival-festival yang selama ini secara konsisten telah melakukan hal serupa? JIFFest dan JAFF pada akhirnya bukan saja mempromosikan film, tapi juga mempromosikan kota, negara, dan budaya bangsa. Begitu juga dengan festival-festival “lama” lainnya, macam Festival Film Purbalingga dan Festival Film Dokumenter.
Adalah sebuah prestasi sendiri ada festival-festival film yang mampu mengusahakan dananya secara independen, dan mampu bertahan hingga sekarang. Langkah berikutnya adalah bagaimana pemerintah menyikapi potensi yang sejatinya banyak ini, menjadi sesuatu yang terintegrasi pada perkembangan perfilman nasional. Salah satunya melalui dukungan finansial. Inilah pekerjaan rumah yang patut ditindaki pemerintah sesegera mungkin.
[i] Marijke de Valck. Film Festivals: From European Geopolitics to Global Cinephilia. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2007.