Artikel/Kajian Kritik Hikmat Dalam Nalar Keresahan

Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih dan apresiasi yang sangat mendalam kepada saudaraku Hikmat Darmawan, yang sudah meluangkan waktu menulis kritik atas film kami yang berjudul 99 Cahaya di Langit Eropa Part 1 dan Part 2. Diantara ratusan review dan kesan positif yang kami terima tentang film kami, tulisan anda yang paling menarik perhatian saya. Bukan saja karena kami mendapatkan kehormatan bisa direview oleh kritikus film sekaliber Sdr Hikmat, namun review yang ditulis berlembar-lembar dengan sepenuh hati, tentulah merupakan cerminan betapa film 99 cahaya demikian berkesan di hati penulisnya.

Tentunya kita semua memahami, film sebagai produk seni tidak bisa dipisahkan dari unsur subyektifitas, demikian halnya kritik yang melekat kepadanya. Sebagai pekerja film yang sangat baru dan awam di industri ini, tentunya kami akan sangat senang mendengarkan segala kritik yang diberikan oleh senior-senior kami.Namun sebagai orang dengan latar pendidik, saya sangat tergugah untuk menggunakan hak dialektika saya untuk juga bisa menyampaikan standing opinion atas kritik subyektif, atau tepatnya imajinatif, seperti bahasa, yang dibuat saudara Hikmat. Subyektifitas saudara Hikmat sangat terasa tercermin dari porsi yang demikian besar untuk mengkritisi fenomena sosial berhijab di masyarakat dan bukannya fokus pada substansi film kami. Sebagai imajinasi, kritik Hikmat juga terasa mewah dengan menyampaikan data dan retorika canggih terkait sejarah hijab di Indonesia, mengangkat kasus ‘racun jilbab’ sampai gerakan tarbiyah di Timur Tengah yang jelas-jelas tidak relevan dengan film kami.

Berhijab bagi seorang muslimah adalah pilihan jalan hidup (way of life) bukan sekedar gaya hidup (style of life). Hikmat mencoba mereduksi makna jilbab, sebagai usaha simbolik muslimah mengikuti fashion yang ada saat ini. Saya yakin sebagian besar muslimah yang memakai hijab akan menolak dekonstruksi ini. Karena keputusan memakai jilbab bagai seorang muslim bukanlah untuk sekedar mempertahankan simbol namun pasti terdapat substansi yang jauh lebih besar daripada itu. (Kami artikulasi dalam salah satu adegan film 99 Cahaya- Part 2)

Unsur simbolik atau substansi tidak bisa dipisahkan sebagai dikotomi dua kutub yang saling berlawanan. Sebagaimana usaha pemikir barat yang terus saja membenturkan dimensi ilahiyah (religion) versus ilmiah (science) dalam konstruksi tirani (a false Dichotomy) ‘ATAU’. Islam memiliki perspektif bahwa kedua dimensi ini harus ada secara bersamaan (Juxtaposition) ‘DAN’.  Substansi untuk berjilbab tercermin dari simboliknya: Menutup aurat sekaligus melindungi pemakainya.Keduanya harus saling bertautan secara kaffah. Demikian juga semangat film yang kami buat.

Jadi tidak adil kemudian, jika unsur simbolik baik dalam film maupun hijab yang kemudian diserang habis-habisan. Sementara substansi film tersebut sama sekali tidak disentuh oleh Hikmat. Substansi film ajakan untuk menjadi agen muslim yang baik, muslim yang selalu menebar manfaat untuk sekitarnya, toleran dan menjadi jembatan perbedaan justru tidak disinggung sama sekali. Ajakan untuk berjihad dengan pena, dan bukan pedang, serta menjauhi segala bentuk kekerasan, sepertinya tidak menarik perhatian Hikmat.

Itulah yang membuat kami menyimpulkan, kritik yang dibuat Hikmat sebetulnya adalah kritik dalam nalar keresahan. Keresahan dalam menyaksikan fenomena ‘Islam on the move’ semakin banyaknya muslimah berhijab dimana-mana (Saya yakin jumlah pemakai Hijab di Indonesia sudah lebih dari 1,1 juta). Juga keresahan yang melawan logika, bagaimana mungkin film Islami, tanpa menggunakan mainstream 3G (Ghost, Girls, Gun:  baca horror, seks dan kekerasan)  bisa menembus 1,7 juta penonton di Indonesia (kumulatif, sampai saat ini).

Jika industrialisasi yang dipakai Hikmat sebagai acuan nalar, pertanyaannya sederhana, mana yang akan anda pilih: industrialisasi horror, seks dan kekerasan atau industrialisasi semangat kebaikan dan Hijab untuk melindungi perempuan?

Agaknya ‘nalar keresahan’ Hikmat ini muncul akibat infeksi virus Islamophobia yang terus ditularkan dalam mainstream media di Indonesia saat ini. Media yang terus mendengungkan Islam identik dengan kekerasan, bom, poligami, pancung,dsb. Namun keresahan ini sangat bisa dipahami, karena memang berita negatif tentang 1% muslim radikal yang selalu digembar-gemborkan media. Sedangkan 99% muslim yang cinta damai, toleran dan sangat menghargai perbedaan tidak pernah diberi kesempatan untuk bersuara.

Kami yang mewakili mayoritas muslim cinta damai sedang mencoba BERTERIAK LANTANG melalui karya 99 Cahaya di Langit Eropa. Kami ingin menjadi the Voice of Moderate Islam yang mungkin selama ini lebih banyak diam, lebih banyak mengalah. Bahwa di tengah retorika Pluralisme saat ini, kenyataan bahwa masih ada Polwan atau pramugari yang dilarang untuk berjilbab adalah realita yang kita sesalkan bersama.
Melalui film 99 Cahaya di Langit Eropa, kami ingin menyampaikan pesan bahwa berislam bukan hanya tentang kerudung yang melekat di tempurung kepala, namun juga perilaku yang melindungi pikiran dan tindakan untuk menghargai sesama. Islam bukan hanya tentang jalan yang dipilih, namun juga jejak yang kita tinggalkan. Islam adalah iman dan amalan.

Film 99 Cahaya di Langit Eropa bukanlah produk imajinasi, film ini sepenuhnya inspirasi kisah nyata. Larangan Shalat di Mezquita, adegan wisuda, lukisan Bunda Maria, axe historique yang mengarah Mekah serta Kara Mustafa bukanlah uthak athik gathuk imajinatif kami, namun undeniable truths yang bisa dibuktikan sendiri tanpa perlu klaim-klaim lagi. Demikian juga tokoh Reinhardt, Maarja, Khan, Stefan bukanlah konstruksi imajinatif,  mereka semua tokoh hidup yang masih ada sampai sekarang. Lebih jauh dari itu, sebenarnya simbolisme benturan karakter mereka benar-benar ada disekitar kita, betapa masyarakat Indonesia telah dikepung oleh pusaran Radikalisme (diwakili Khan), Sekularisme (diwakili Stefan) dan Materialisme (Maarja). Film ini kami buat bukan sekedar menjadi tontonan namun juga tuntunan, bagaimana seharusnya Rangga dan Hanum (sebagai representasi karakter muslim mayoritas) bersikap agar tidak terseret benturan arus arus itu. Film 99 cahaya dibuat selain mengajak muslim lebih mencintai Islam, namun yang lebih penting adalah ajakan untuk menghargai perbedaan, mencari jalan keluar elegan tanpa menggunakan kekerasan. Saya rasa saudara Hikmat kalau mau objektif juga pasti akan sepakat dengan kuatnya substansi pesan dalam film ini.

Sebagai orang yang berprofesi sebagi guru, saya juga terpanggil untuk sedikit mengkoreksi kesalahan kritik yang dibuat Sdr Hikmat yang terkait substansi film. Pertama, Kota Wina sampai saat ini belum pindah ke Swiss, masih di Austria. Kedua, Lukisan Bunda Maria di Museum Louvre bukan dibuat oleh Da Vinci, melainkan Ugolino de Nerio. Mas Hikmat hanya salah dua, jadi nilai kritiknya masih delapan. Hehe.. Mohon maaf jika nilai 8/10 tidak berkenan, sekali lagi saya hanya menggunakan hak dialektika saya untuk merespon kritik dengan cara ilmiah , sebagaimana yang lazim dilakukan dalam dunia pendidikan yang sedang saya geluti sekarang.

Terakhir saya hanya ingin menyampaikan, sebagai pendidik pula saya memiliki passion dan naluri yang kuat untuk menjadikan film 99 Cahaya di Langit Eropa sebagai alat pendidikan yang menginspirasi dan mengguggah masyarakat. Penghargaan terbesar untuk kami bukanlah pada banyaknya tiket yang terjual, piala-piala festival maupun pujian kritikus, namun yang lebih penting, seberapa banyak orang yang TERGERAK untuk BERBUAT BAIK setelah menonton film kami. Karena film seharusnya bukan hanya menjadi alat hiburan semata, namun harus menjadi alat untuk mentransformasi peradaban. Peradaban bangsa sangat ditentukan kualitas produk budayanya. Film berbau kengerian (horror), seksualitas dan kekerasan yang menjadi mainstream film Indonesia saat ini sesungguhnya menjadi cerminan kondisi masyarakat kita saat ini. Kita semua sangat prihatin dengan hal itu. Untuk itulah kita bersama sama harus berbuat sesuatu.

Kami akan terus membuat 99 cahaya- 99 cahaya yang lain. Dan tentunya kami sangat mengharapkan dukungan semua sineas, kritikus, dan seluruh  masyarakat Indonesia untuk mengapresiasi film-film yang berkualitas dan mendidik lain di masa yang akan datang.


Dirgahayu Hari Film Nasional ke-64. Majulah perfilman Indonesia. Salam 99 Cahaya.

Sumber tulisan: Website resmi 99 Cahaya