Artikel/Kajian Masih tentang Skandal Film Impor (Bagian 1)

Kajian H Ilham Bintang 21-07-2011

Tulisan ini merupakan rangkuman kultwit yang dipublikasikan di akun twitter Pemimpin Redaksi Tabloid Cek & Ricek, H. Ilham Bintang (@ilham_bintang) pada hari Rabu 20 Juli 2011.

Ada satu lagi skandal besar terkait dengan film impor yang bakal terbongkar sekaligus menunjukkan bagaimana pemerintah menginjak-injak undang-undang. Bulan Februari lalu, Dirjen Bea & Cukai Kementerian Keuangan RI menyingkap fakta bahwa ada tiga importir film yang melakukan pengemplangan terhadap bea masuk royalti film selama belasan tahun. Kewajiban membayar bea masuk itu sendiri sesuai dengan UU Pabean tahun 1996. Tiga importir itu diharuskan membayar tunggakan dan denda senilai 300 miliar rupiah. Sampai batas tanggal penagihan yakni 12 Maret lalu, hanya satu perusahaan impor film yang telah membayar. Pembayaran itu pun tidak seluruhnya, tapi hanya syarat untuk bisa naik banding dalam pengadilan pajak. Perusahaan ini adalah sebuah perusahaan yang biasa mengimpor film independen. Dua perusahaan lainnya dengan utang dan denda terbesar, yakni senilai 250 miliar rupiah, sampai hari ini tidak menunaikan kewajiban pembayaran itu.

Menurut ketentuan UU, dua perusahaan itu harus diblokir dan ditagih paksa. Tapi yang dilakukan pemerintah hanya blokir, tidak ada sama sekali penagihan paksa. Karena diblokir, dua perusahaan ini tidak bisa mengimpor film-film dari produsen besar AS, seperti Universal, Columbia, yang tergabung dalam MPAA (Motion Picture Association of America). Film-film box office Hollywood seperti Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2, Transformer: Dark of the Moon, X-Men: First Class, The Hangover: Part 2 adalah produksi anggota MPAA itu. Anehnya, MPAA mendukung perusahaan yang diblokir itu. Ada dua hal yang dituntut oleh MPAA. Pertama, mereka menekan pemerintah RI agar mencabut blokir terhadap dua perusahaan importir film tersebut. Kedua, MPAA tidak mau dikenakan bea royalti.

Tekanan MPAA itu disalurkan melalui orang-orang yang mengaku dekat dengan Cikeas. Mereka melalui manuvernya menekan Menkeu untuk merevisi aturan itu. Belum jelas betul pihak yang mengaku orang dekat Cikeas. Tapi yang tampil secara terang benderang adalah Menbudpar Jero Wacik. Ketika para pejabat di Kemenkeu mengungkapkan praktik busuk perusahaan importir agen MPAA itu, Menbudpar-lah yang paling lantang bereaksi. Di media pers, Jero Wacik secara gamblang mengatakan tidak mau peduli pada kenyataan bahwa para importir sebenarnya telah melakukan praktik monopoli. Bagi Menbudpar, yang penting film jenis Harry Potter masuk ke bioskop Indonesia. Jero juga terang-terangan menantang Kemenkeu dengan pernyataan amat keras. “Jangan cari pajak di film”, kata Jero Wacik. Padahal, apa yang dilakukan pejabat Kemenkeu adalah secara konsisten melaksanakan UU. Posisi UU jelas di atas Presiden. Mengubahnya pun harus lewat DPR. Jero Wacik juga tidak mau peduli pada temuan Kemenkeu yakni Omega Film adalah perusahaan dari kelompok lama yg menggunakan nama lain.

Majalah Tempo dan Harian Kompas juga sudah secara terang membongkar praktik busuk importir yang diblokir tersebut. Tapi, Jero Wacik tetap jalan terus. Luar biasa sekali kekuasaan besar yang dimiliki oleh Menbudpar sampai bisa bikin Kemenkeu kembali membuka blokir terhadap PT Omega Film dan membebaskan mereka sehingga tidak bayar bea masuk. Sebentar lagi film-film MPAA akan beredar kembali di Indonesia. Tapi perlu diketahui bayarannya amat mahal. Pemerintah RI sendiri yang menginjak-injak UU.

Kita semua harus berani mengusut apa yang membuat Menbudpar Jero Wacik berani bergelap-gelap dalam terang. Apakah dia orang dekat Cikeas itu? Kenapa amat berani? Data yang dimiliki pers (termasuk Tempo dan Kompas) jelas sekali menunjukkan permainan busuk importir itu. Lewat artikel Go To Hell With Your Films beberapa bulan lalu saya menulis dan menegaskan bahwa tidak ada yang menyangkal kita memang butuh film-film Hollywood, khususnya film produksi anggota MPAA. Film-film ini selain sebagai hiburan, bisa menjadi sumber inspirasi kehidupan dan referensi kreatif bagi sineas kita. Namun, saya tak yakin karena kegemaran pada film MPAA itu, ada di antara kita yang mau pertukarkan dengan hilangnya kedaulatan bangsa ini. Yang saya maksud adalah jangan sampai hanya karena kegemaran itu kita mau saja membiarkan pihak asing tidak mau ikut aturan di negeri ini. Jangan biarkan monopoli terus meranggas.

Ternyata saya keliru. Posisi Menbudpar dalam kasus impor film telah membuktikan itu. Sedih sekali melihat pejabat negara yang gajinya diongkosi pajak kita bersikap seperti itu. Padahal monopoli dan manipulasi pajak telah menjadi musuh umat sedunia. Amerika Serikat pun bersikap demikian. Dua soal itu kini menjadi agenda reformasi bangsa Indonesia. Pemerintahan SBY tak kurang geramnya pada urusan monopoli & pengemplangan pajak. Bahkan SBY membentuk Satgas Anti Mafia Pajak khusus untuk menangani masalah ini. Sekali lagi, pertanyaannya, kenapa Jero Wacik, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat & anggota Kabinet Indonesia Bersatu I berani melakukan hal itu? Bukankah posisi Jero Wacik yang tak ubahnya berada di saku SBY seharusnya mendukung seluruh program “junjungannya” tersebut? Kenapa Jero malah ikuti perilaku Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, yang justru berkhianat ketika posisinya juga berada di saku baju Presiden SBY?

Tulisan ini dimuat di Editor's Note cekricek.co.id

Baca juga: Masih tentang Skandal Film Impor Bagian 2, Bagian 3, Bagian 4, Bagian 5

Tulisan lain tentang impor film:

- Jero Wacik, Menteri atau Pengusaha Bioskop? (Totot Indrarto, 2011)

- Tarif Bea Masuk Rp 20.000 Tidak Berdasar (Rudy Sanyoto, 2011)

- Kekhawatiran Itu Akhirnya Terjadi (JB Kristanto, 2011)

- Film MPA Segera Kembali? Tunggu Dulu… (Lisabona Rahman, 2011)

- Kronologi Kasus Tarif Impor Film 2011 (Lisabona Rahman, 2011)

Saatnya Membenahi Urusan Film Impor Secara Menyeluruh (JB Kristanto, 2011)