Artikel/Kajian Masih tentang Skandal Film Impor (Bagian 2)

Kajian H Ilham Bintang 21-07-2011

Tulisan ini merupakan rangkuman kultwit yang dipublikasikan di akun Twitter Pemimpin Redaksi Tabloid Cek & Ricek, H. Ilham Bintang (@ilham_bintang) pada hari Kamis 21 Juli 2011.

Rabu kemarin (20/07-2011), film Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2 dan Transformers: Dark of the Moon masuk LSF untuk disensor. Itu artinya, paling lama seminggu lagi dua film box office Hollywood itu akan diputar di seluruh jaringan bioskop 21 di tanah air. Setiap film didukung 100 copy. Yang “mengimpor” film produksi anggota MPAA itu PT Omega Film, sebuah perusahaan baru yang didirikan pada tanggal 17 Januari 2011 di depan notaris Ilmiawan Dekrit SH. Omega Film didirikan oleh pemilik Grup 21 lantaran dua perusahaan impor filmnya diblokir Ditjen Bea & Cukai karena tidak membayar kewajiban beanya. Dua perusahaan itu adalah PT Camila Internusa Film dan PT Satrya Perkasa Esthetika Film. Jumlah bea masuk dan denda yang tidak dibayar adalah Rp. 250 miliar. Omega Film mau dikesankan sebagai perusahaan impor baru yang datang dari luar Grup 21. Artinya, dia tidak harus bayari utang bea masuk.

Majalah Tempo dan Harian Kompas (ditulis kritikus film JB Kristanto) tiga minggu lalu sudah membongkar praktik busuk tersebut. Omega Film terbukti adalah perusahaan yang dibentuk baru oleh pemain lama atau pihak Grup 21. Bahkan, mereka sengaja menunjuk kurir jadi direksinya. Kementerian Keuangan pun segera beraksi. Omega Film diblokir izinnya. Tidak hanya itu, lima perusahaan baru lain dari Grup 21 juga diblokir. Omega Film diblokir tapi Menteri Budaya dan Pariwisata Jero Wacik yang bereaksi. Dua statement-nya yang pertama kali dimuat situs berita detik.com memperlihatkan dia amat berang. Statement-nya yang pertama, Menbudpar tidak mau perduli terhadap praktik monopoli, yang penting buat dia film-film sejenis Harry Potter harus masuk di Indonesia. Statement kedua, dia marah betul mengapa Kemenkeu harus menarik pajak atas royalti film impor itu. “Jangan cari pajak di film”, katanya. Kepala Badan Fiskal Kemenkeu, Prof. Bambang Brodjonegoro, Ph.D, balas mengejek Menbudpar sebagai orang yang tidak punya kesadaran berbangsa. Jero Wacik akhirnya menarik ucapannya. Meskipun sudah menarik ucapannya sendiri, tapi Menbudpar tidak berubah pendiriannya untuk tetap menolong Grup 21. Tidak ada urusan dengan historis berdirinya Omega Film pun, Jero Wacik tetap jalan terus dengan sikapnya. Yang diubah, Omega Film cuma mengganti direktur, Syaiful Atim, yang sebenarnya adalah seorang mantan staf kurir 21. Ia digantikan oleh Ajay Fulwani.

Pemblokiran Omega Film dulu dilakukan oleh Ditjen Bea & Cukai karena telah terbukti sebagai perusahaan baru bentukan dari pemain lama, yakni dari Grup 21. Dengan penunjukan Ajay Fulwani sebagai direktur baru Omega Film, justru pihak Grup 21 menantang, Omega memang perusahaannya. Siapakah Ajay Fulwani? Ajay Fulwani adalah putra dari Fulwani – importir film tahun 70-an. Ajay tepatnya adalah kemenakan dari Harris Lesmana, salah satu bos besar Grup 21.

Pertanyaannya: bagaimana penyelesaian pembayaran kewajiban pada negara sebesar Rp. 250 miliar yang sudah jatuh tempo sejak 12 Maret 2011 lalu? Rasanya kita pesimis uang negara itu bisa diselamatkan lagi meski Jero Wacik sempat mengatakan urusan itu jalan terus di pengadilan pajak. Malah ada indikasi uang negara itu sudah ke laut, dikemplang entah oleh (ide) siapa. PT Camila & Satrya Film sudah berganti direksi pula. PT Camila & Satrya Film mulai diaudit bulan Juli 2010. Akhir Desember 2010, seluruh pemilik perusahaan yang menjadi direksinya ramai-ramai mengundurkan diri. Yang ditunjuk mengganti direksi lama adalah karyawan-karyawan staf level bawah, yang menurut “orang dalam”, kalau dilakukan penyitaan harta, negara hanya dapat sepeda motor dan rumah BTN. Dari dimensi waktu pergantian, itu terjadi menjelang Direktorat Jenderal Bea & Cukai mengeluarkan surat penetapan harus membayar bea cukai dan denda sebesar Rp. 250 miliar.

Bagaimanapun, paling tidak Kementerian Keuangan serta Kementerian Budaya dan Pariwisata yang paling bertanggung jawab atas hilangnya uang negara tersebut. Dua kementerian ini pada awal kejadian seiring sejalan untuk menegakkan aturan. Namun, di tengah perjalanan, tiba-tiba mengendor. Menjelang ending, Kemenkeu kelihatan berusaha kembali berkeras, sedangkan Kemenbudpar langsung memposisikan diri seperti orang dalam Grup 21. Menurut “orang dalam” Kemenkeu, mereka mendapat tekanan dari pihak-pihak yang mengaku orang dekat Cikeas. Kita tidak tahu persis siapa mereka itu. Sempat disebut-sebut nama Hartati Murdayah Poh, Hatta Radjasa, dan Dino Patti Jalal. Adapun Jero Wacik berperan sebagai operatornya. Saya setuju pada usul untuk mengajukan skandal ini ke KPK. Yang terlibat, semuanya harus bertanggung jawab terhadap hilangnya uang negara.

Tulisan ini dimuat di Editor's Note cekricek.co.id

Baca juga: Masih tentang Skandal Film Impor Bagian 1Bagian 3, Bagian 4, Bagian 5

Tulisan lain tentang impor film:

- Jero Wacik, Menteri atau Pengusaha Bioskop? (Totot Indrarto, 2011)

- Tarif Bea Masuk Rp 20.000 Tidak Berdasar (Rudy Sanyoto, 2011)

- Kekhawatiran Itu Akhirnya Terjadi (JB Kristanto, 2011)

- Film MPA Segera Kembali? Tunggu Dulu… (Lisabona Rahman, 2011)

- Kronologi Kasus Tarif Impor Film 2011 (Lisabona Rahman, 2011)

Saatnya Membenahi Urusan Film Impor Secara Menyeluruh (JB Kristanto, 2011)