Artikel/Kajian Masih tentang Skandal Film Impor (Bagian 3)

Kajian H Ilham Bintang 24-07-2011

Tulisan ini merupakan rangkuman kultwit yang dipublikasikan di akun twitter Pemimpin Redaksi Tabloid Cek & Ricek, H Ilham Bintang (@ilham_bintang) pada hari Sabtu 23 Juli 2011.

Dua film box office dunia, Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2 dan Transformer: Dark of the Moon sudah lulus sensor dan dijadwalkan diputar di bioskop di Indonesia mulai Kamis depan, tiga hari sebelum bulan suci Ramadan. Lengkap sudah eksploitasi dahaga publik menonton film box office dengan mengorbankan aturan hukum serta kerugian uang negara. Bisa diramalkan pupus harapan sejumlah film-film nasional yang dibuat khusus mengisi hari-hari libur puasa dan lebaran untuk merebut penonton. Aparat pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan serta Kementerian Budaya dan Pariwisata memiliki andil besar untuk mewujudkan semua itu.

Hanya orang yang ditulikan telinga, dibutakan mata dan hatinya yang mengatakan Omega Film (perusahaan yang mengimpor film Harry Potter 7 dan Transformer) tidak ada hubungan erat dengan Grup 21. Direktur Film Kemenbudpar, Dr. Syamsul Lussa mengatakan bahwa tidak ada hubungan Omega Film dengan perusahaan impor film Grup 21 yang saat ini diblokir.  ”Kami sudah lakukan penelitian administratif. Tidak ada hubungan antara direksi dan owner Omega dengan pelaku lama,” kata Syamsul Lussa? Adapun Ketua GPBSI, Johny Sjafruddin dalam jumpa pers Sabtu malam (23/7) menolak bicara soal Omega. “Kami pengusaha bioskop. Kewajiban kami adalah putar film,” begitu jawabannya.

Siapa di Balik Omega

Kalau pejabat gajinya dibayar rakyat untuk meneliti dan mengatakan tidak menemukan kongkalikong, boleh kita pertanyakan kompetensi teknis pejabat yang bersangkutan itu. Direktur Film, Syamsul Lussa adalah seorang doktor. Saya rasa dia adalah direktur film pertama yang bergelar Phd. Pastilah dia ahli. Pastilah dia kompeten. Maka saya terkejut ketika tadi siang saya mewawancarai dia via ponsel. Saya ulangi jawabannya, ”Hasil penelitian kami tidak menemukan hubungan owner Omega dengan pemilik Grup 21.”

Direksi Omega yang dimaksud adalah Ajay Fulwani. Padahal faktanya, Ajay Fulwani tak lain adalah kemenakan dari Haris Lesmana, salah satu bos besar di Grup 21. Fakta kedua, Ajay sudah lama bekerja di Grup 21, milik sang pamannya. Siapapun yang pernah ke kantor pamannya, asal tidak gila, pasti ketemu Ajay.

Ajay selama ini di belakang layar. Ia mendadak muncul menggantikan Syaiful Atim, direktur Omega Film yang sebulan lalu bikin heboh. Heboh, karena Syaiful ternyata hanyalah staf biasa, yang namanya dipakai sebagai direktur perusahaan supaya tidak dianggap bagian importir lama. Kasihan Syaiful Atim ini. Skandal itulah yang dibongkar majalah Tempo dan harian Kompas dan membuat PT Omega Film diblokir Ditjen Bea Cukai dan Kemenbudpar. Direktur Film pun mengakuinya.

“Tapi cuma satu hari, blokirnya lalu dicabut lagi,” kata Syamsul. Pasalnya? “Tidak tahu, kita tidak diberitahu,” katanya. Padahal, Kepala Badan Fiskal Kemenkeu telah menegaskan alasan pemblokiran Omega itu berkaitan erat dengan pelaku lama. Syamsul Lussa memang mengakui kalau Syaiful Atim, direktur lama telah digantikan Ajay Fulwani. Ketika ditanya apa alasan penggantian tersebut, Syamsul menjawab “Kita tidak tanya.” Menurutnya, itu menjadi hak sepenuhnya Omega Film.

Jadi penelitian macam apa ya yang dilakukan pihak Direktorat Film Kemenbudpar itu? Padahal pemblokiran Omega sudah menjadi berita nasional. Ditjen Bea dan Cukai bahkan dengan tegas menyebut alasan pemblokiran karena Omega terafiliasi pelaku lama. Begitulah mungkin adat pejabat yang mengurus film impor di tanah air. Ngelesnya kasar banget kayak orang-orang abad pertengahan. Jawaban dan pernyataan ala Mr. Tongky. Tahu boneka Mr. Tongky? Itu lho, boneka yang selalu mangap komat kamit, tapi kata-katanya disuarakan orang lain.

Hutang Pajak Pengimpor Film

Flashback lagi ya, supaya benang merahnya tetap terpelihara. Pada bulan Juli 2010 lalu, tiga perusahaan importir film, yakni Camila, Amero, dan Satria diaudit oleh Ditjen Bea Cukai. Hasil audit itu menemukan tiga importir itu tidak pernah membayar bea cukai atas royalti seluruh film impornya. Dasar audit itu berdasarkan UU Pabean tahun 1996. Sejak UU itu berlaku, praktis selama itu pula tidak ada pembayaran bea cukai royalti. Beruntung, ketentuan UU itu berlaku surutnya hanya dua tahun sehingga bea yang dihitung hanya film-film impor tahun 2009 dan 2010.

Akumulasi hutang ketiga perusahan itu adalah sebesar Rp 30 miliar. Tapi, dengan denda 1000%, maka total yang harus dibayar ke negara adalah sekitar Rp 330 miliar. Amero Film pada tahun 2009-2010 memasukkan 94 judul film produksi independen atau non MPAA. Bea masuk yang tidak dibayar sebesar Rp 5 miliar. Dengan denda 1000% menjadi Rp 55 miliar. Satria Film pada tahun yang sama memasukkan 94 judul film impor produksi anggota MPA. Bea masuk yang seharusnya dibayar adalah Rp 13 miliar. Mereka dikenakan denda sebesar Rp 132 miliar, sehingga total yang harus dibayar ke negara adalah sebesar Rp 145 miliar. Camila Film memasukkan 68 judul film. Perusahaan ini berhutang bea masuk Rp 12 miliar dengan denda sebesar Rp 120 miliar.

Untuk penyelesaian hutang-hutang itu, Ditjen Bea dan Cukai memberi tenggat waktu terakhir pembayaran tanggal 12 Maret 2011. Tiga perusahaan itu harus membayar hutang bea dan dendanya. Jika tidak, kasus ini diselesaikan di pengadilan. Keberatan atau banding dari pihak importir film hanya dapat disalurkan di pengadilan. Namun untuk bisa banding, importir film ini harus bayar dulu hutang pokok mereka. Tenggat waktu telah lewat. Dua perusahaan yakni Satria Film dan Camila Film menyerah. Keduanya tidak membayar hutang dan denda. Tidak juga ikut banding di pengadilan. Maka ketentuannya, perusahaan-perusahaan ini harus disita paksa.

Hanya Amero yang maju ke pengadilan untuk mengajukan banding. Dia membayar hutang pokok. Semacam strategi rupanya kalau Amero menang, dua perusahaan lain berarti bebas. Masalahnya, Amero bukanlah mitra MPA, sehingga perusahaan itu tidak bisa dipakai mengimpor film-film produksi MPA. Mitra MPA di Indonesia adalah Satria Film dan Camila Film.

Kongkalikong Importir Film

Setelah diaudit bulan Juli 2010, ketiga owner perusahaan itu berbenah alias melakukan aksi “cuci darah” pada bulan Desember 2010 lalu. Owner/direksi Camila Film mengundurkan diri.  Haris Lasmana digantikan oleh Sunaryo. Di posisi komisaris Tri Rudi Anitio bertahan. Pada waktu bersamaan Amero juga ”cuci darah”. Seluruh saham owner Amero atas nama Suryo Suherman & Sachen Haris Lasmana dijual kepada stafnya yang bernama Suprayitno dan Prapti Rahayu. Pemilik saham baru ini juga langsung menjadi direksi barunya. Begitu juga di Satria Film. Owner juga berbenah. Prapti cabut dari perusahaan itu, tapi Jimmy Haryanto dan Ruben tetap.

Itu sebabnya muncul pertanyaan, masih dapatkah uang negara diselamatkan menghadapi strategi bubar bareng owner & direksi tiga importir film ini? Sampai sekarang kita tidak pernah lagi mendengar ketentuan sita paksa terhadap perusahaan film Camila dan Satria seperti yang sebelumnya dijanjikan Ditjen Bea Cukai?

Kamis 22 Juli lalu, di sebuah situs diberitakan Menbudpar Jero Wacik berbicara di istana mengatakan impotir film harus bayar dulu hutang pajak mereka sebelum memutar lagi film-film produksi MPA. Ini mengejutkan. Mungkin saja dia sendiri yang omong begitu. Yang saya tidak percaya adalah realisasinya. Ada dua statement yang harus kita catat dan simpan bersama. Pertama, ”Saya tidak perduli monopoli, yang penting film-film Hollywod itu masuk.” Kedua, kata Jero Wacik,”Jangan cari pajak di film.” Dua pernyataan Menteri itu harus kita catat dan simpan di Sinematek. Sangat bersejarah!

Beberapa waktu lalu, saya sempat menyinggung nama Dubes RI untuk AS, Dino Pati Djalal terkait pembahasan skandal film impor ini. Apa hubungannya? Surat yang ia tulis itulah yang bikin semua pejabat berubah pikiran. Surat Dubes RI di AS Nomor 02/DB/iii/11 tanggal 8 Maret 2011 kepada Menteri Keuangan RI inilah yang menyebabkan Dirjen Bea dan Cukai Thomas Sugijata dipercepat pensiunnya. Menyuarakan keberatan MPA, surat Dino ini menjadi tekanan bagi Kemenkeu. Pendek kata, Dino keberatan pada tindakan Dirjen Bea dan Cukai.

Saya sudah membaca redaksi surat Dino. Saya sendiri geli dalam hati karena bukan hanya keberatannya yang sama isinya dengan siaran pers GPBSI, tetapi juga redaksinya. Dubes memahami keuntungan finansial yang akan didapat pemerintah apabila reassesment bea atas film impor diberlakukan. Namun, menurut dubes dampak jangka panjang sosial, ekonomi, diplomatik, dan politik dari masalah ini jauh lebih besar daripada keuntungan sektor keuangan yang bersifat sementara dan yang sebenarnya juga tidak signifikan.

Tulisan ini dimuat di Editor’s Note cekricek.co.id

Baca juga: Masih tentang Skandal Film Impor Bagian 1Bagian 2, Bagian 4, Bagian 5

Tulisan lain tentang impor film:

Jero Wacik, Menteri atau Pengusaha Bioskop? (Totot Indrarto, 2011)

Tarif Bea Masuk Rp 20.000 Tidak Berdasar (Rudy Sanyoto, 2011)

Kekhawatiran Itu Akhirnya Terjadi (JB Kristanto, 2011)

Film MPA Segera Kembali? Tunggu Dulu… (Lisabona Rahman, 2011)

Kronologi Kasus Tarif Impor Film 2011 (Lisabona Rahman, 2011)

- Saatnya Membenahi Urusan Film Impor Secara Menyeluruh (JB Kristanto, 2011)