Artikel/Kajian Masih tentang Skandal Film Impor (Bagian 5)

Kajian H Ilham Bintang 27-07-2011

Tulisan ini merupakan rangkuman kultwit yang dipublikasikan di akun twitter Pemimpin Redaksi Tabloid Cek & Ricek, H Ilham Bintang (@ilham_bintang) pada hari Selasa, 26 Juli 2011.

Kultwit yang saya tuliskan ini tidak menggunakan nama anonim, artinya bisa dipertanggungjawabkan secara profesional. Tanggung jawab wartawan ialah melakukan penelitian, pengujian data, wawancara, serta konfirmasi dari berbagai sumber. Ini bagian dari prinsip kerja jurnalistik.

Kebenaran atau ketidakbenaran keterangan sumber yang dikonfirmasi adalah bagian yang harus dihormati, termasuk kalau ia berbohong. Wartawan—apakah ia juga merangkap politisi atau pengusaha—tetaplah berkewajiban mengawasi tegaknya aturan. Apapun risikonya.

Itu tadi pengantar kultwit saya, supaya kita tidak gampang menyulut kemarahan lantaran ada bagian kultwit yang menyingung perasaan atau kepentingan. Singkatnya data mestinya di-counter dengan data, bukan dengan apriori dan asumsi, apalagi dengan semangat partisan. Dialog pasti macet.

Baiklah, saya mulai dengan apresiasi tinggi pada Ibas (Edhie Baskoro) yang begitu cepat melakukan klarifikasi atas sinyalemen keterlibatnya dalam Omega Film. Tidak jelas, apakah klarifikasi Ibas disampaikan langsung kepada media pers atau hanya disalurkan lewat siaran pers yang dibagi-bagikan. Isinya sejauh yang saya ikuti tidak ada interaksi dengan wartawan, hanya “satu arah”, seperti fatwa, maka titik-komanya sama di semua media.

Maksud saya “siaran pers” Ibas juga tidak dilengkapi data, cek ulang pada sumber yang disebut namanya, juga substansi masalahnya. Betapa pun saya sangat menghormati keterangan Ibas. Apalagi dia sempat bicara khusus dengan Menbudpar Jero Wacik.

Maksud saya keterangan sumber tentu sangat dipengaruhi oleh sumber yang memberikan input, juga oleh cara ketika disampaikan ke publik. Ibas seperti sangat mendukung Jero Wacik. Ini yang saya ragu: apakah dia tahu sikap Menbudpar mendukung monopoli dan mengabaikan pajak.

Seluruh rakyat tahu sikap Menbudpar seperti itu. Bukan hanya ucapan tapi juga dalam tindakan sikap itu sangat menonjol. Ini yang saya ragukan: apakah Ibas tahu Jero Wacik seperti itu. Ini menjadi tugas kita mengkonfirmasi kembali kepada Ibas.

Berikut ini beberapa fakta—yang buat saya termasuk amanah—yang diabaikan oleh Menbudpar dalam pelaksanaan tugas sebagai Menbudpar. Kesatu, data jumlah penonton film impor dan Indonesia di bioskop. Data itu perlu untuk memantau apakah setoran pajak dipenuhi? Kedua, bagaimana perkembangan perjuangannya meringankan beban pajak atas film nasional. Padahal hal-hal itu dulu yang diamanatkan SBY kepada dia.

Ingat janji Menbudpar bahwa pada Hari Film Nasional, 30 Maret lalu, akan umumkan hasil final keringanan pajak film nasional? Tapi sampai sekarang hasil itu tidak ada. Jangankan hasilnya, lanjutan pembahasannya saja tidak. Pernah dengar Menbudpar keluarkan SK yang mengharuskan semua copy film impor yang diputar di Indonesia dicetak di lab dalam negeri? Entah apa sebabnya, SK itu kembali dicabut oleh Menbudpar. SK itu tidak sampai seumur jagung.

Keterlibatan Jero Wacik memanjakan film impor bisa dilihat dari situ. Faktanya pajak impor itulah yang menjadi prioritasnya. Saya juga ragu apakah Ibas tahu bahwa untuk menolong film impor (baca MPA) aparat Menbudpar menerabas banyak aturan. Apakah Ibas juga tahu bahwa Jero Wacik membuat laporan ”palsu” ke Presiden SBY bahwa film-film Hollywood memboikot Indonesia?

Datanya: yang memboikot itu cuma produksi anggota MPA. Film Hollywood lain tetap membanjiri bioskop Indonesia. Setiap tahun Hollywood memproduksi 600 judul. Hanya sekitar 20 persen produksi film anggota MPA. Selebihnya film Hollywood tetap masuk ke Indonesia. Jero Wacik mengklaim semua produksi MPA merupakan film berkualitas. Padahal, The King's Speech yang produksi non-MPA, adalah film terbaik pilihan Academy Award alias peraih piala Oscar 2011.

Tiap tahun Jero Wacik mengirim delegasi ke Cannes. Tapi saya ragu apakah Ibas tahu bahwa yang dibawa Jero Wacik ke sana mayoritas stafnya. Saya ingat Presiden SBY mengatakan telah memeerintahkan agar Menbudpar merintis jalan untuk memasarkan film Indonesia ke Cannes. Tahukah Ibas bahwa setiap pergi ke festival internasional, Menbudpar hanya menawarkan Indonesia sebagai daerah lokasi syuting film-film produksi asing.

Menbudpar mengklaim telah berhasil menaikkan tarif bea masuk film impor dari 0,43 sen dollar/meter menjadi Rp. 22.000/menit. Saya ragu apakah Ibas tahu pada momen sama Jero Wacik juga “berhasil” menangguhkan beban PPn atas royalti semua film impor. Saya yakin Ibas tahu bahwa PPn itu absolut, diatur UU, dan posisinya di atas Presiden. Sedangkan menteri hanya pembantu Presiden.

Saya ragu Ibas tahu yang Jero Wacik lakukan demi masuknya film-film produksi MPA. Dalam sejarah film Indonesia yang demikian ini tak pernah terjadi. Entah bagaimana Jero Wacik melapor sehingga Ibas seperti mahfum. Bukan tidak mungkin preseden PPn bisa ditangguhkan, tapi itu sangat selektif, terbatas untuk kepentingan hajat orang banyak. Bukan untuk kepentingan importir film Omega?

Penangguhan PPn atas royalti film impor berarti pemerintah (negara/rakyat) yang menanggung beban itu. Penonton film Harry Potter dkk ikut menikmati uang rakyat yang sepatutnya bisa digunakan untuk mengentaskan orang miskin. Saya ragu Menbudpar melaporkan semua itu pada Ibas waktu bicara soal film. Menurut tweeps?

Catatan Redaksi: Tulisan ini sudah mengalami penyuntingan dan penambahan yang diambil dari Bagian 6 seri tulisan H Ilham Bintang.

Tulisan ini dimuat di Editor’s Note cekricek.co.id 

Baca juga: Masih tentang Skandal Film Impor (Bagian 1Bagian 2, Bagian 3, Bagian 4)

Tulisan lain tentang impor film:

Jero Wacik, Menteri atau Pengusaha Bioskop? (Totot Indrarto, 2011)

Tarif Bea Masuk Rp 20.000 Tidak Berdasar (Rudy Sanyoto, 2011)

Kekhawatiran Itu Akhirnya Terjadi (JB Kristanto, 2011)

Film MPA Segera Kembali? Tunggu Dulu… (Lisabona Rahman, 2011)

Kronologi Kasus Tarif Impor Film 2011 (Lisabona Rahman, 2011)

Saatnya Membenahi Urusan Film Impor Secara Menyeluruh (JB Kristanto, 2011)