Kabar naas tiba di kompleks keuskupan Lembah Ndona pada suatu hari di pertengahan Maret 1932. Monsinyor Arnold Verstraelen, uskup Nusa Tenggara saat itu, mengalami kecelakaan mobil dalam perjalanan ke Seminari di Todabelu. Seekor kuda kaget mendengar derum mesin mobil di jalanan Flores yang tenang dan lantas lepas kendali. Pengemudi mobil yang ditumpangi Uskup tak dapat menguasai kemudi dan menabrak batu besar. Uskup Verstraelen meninggal seketika.
Pada saat yang sama, Pastor Simon Buis sedang menyelesaikan film reka-ulang dari Flores-nya yang kedua, Amorira. Setelah keberhasilan film sebelumnya, Ria Rago, ia mempersiapkan film yang lebih kolosal melibatkan penduduk dua desa sekitar Likowali dan para perwira militer pemerintah kolonial di Bajawa. Meninggalnya Monsinyor Verstraelen berarti hilangnya saka guru penopang produksi film untuk pencarian dana operasional misi Flores.
Monsinyor Verstraelen adalah sang produser film-film misionaris dari Flores yang telah menarik perhatian banyak anak muda untuk membaktikan diri sebagai padri. Ia adalah anggota Societas Verbi Divini, ordo (perkumpulan rohaniwan) yang giat menggalang perhatian dan dana melalui produksi media, antara lain melalui penerbitan majalah dan pembuatan film. Di Jerman popularitas media buatan SVD bahkan menghasilkan istilah plesetan kepanjangan nama ordo ini menjadi “Sie verkaufen Drucksachen” (mereka menjual barang cetakan). Majalah Katholieke Missien terbitan mereka mencapai oplah 100.000 eksemplar pada tahun 1920-an dan 1930-an. Film-film produksi Soverdi, rumah produksi ordo ini, terus berkeliling mengumpulkan dana. Monsinyor Verstraelen termasuk salah satu tokoh SVD yang sangat giat memanfaatkan majalah dan film untuk menggalang dana misi Flores.
Ketika Ria Rago diluncurkan di Utrecht, Belanda, pada Desember 1930, Monsinyor Verstraelen sendiri yang tampil mengantar film itu. Ia juga berkeliling Eropa dan Amerika memimpin acara-acara penggalangan dana selama lebih dari setahun, dengan atau tanpa Ria Rago.
Ada tiga film reka-ulang yang dibuat di Flores. Meskipun hanya dua yang saat ini dapat diakses secara publik, terlihat ada upaya untuk perlahan-lahan lebih banyak memperlihatkan peran misi SVD di Flores. Peran misionaris dalam Ria Rago (1930) boleh dibilang sangat kecil, sementara dalam Amorira (1932/3) kisah perintisan misi merupakan separuh porsi kisah film. Dari catatan-catatan arsip, dapat diperkirakan bahwa film ketiga Anak Woda (1933) menceritakan keberhasilan pembangunan komunitas yang dibantu oleh SVD.
Wafatnya Uskup Verstraelen menimbulkan kekosongan kepemimpinan resmi. Sementara itu, Eropa dan Amerika Serikat mulai dicekam depresi ekonomi mendalam sejak 1929. Belanda yang masih bisa mempertahankan ekonominya dari pengaruh krisis selama dua tahun pun mulai merasakan akibatnya sejak awal tahun 1932. Dapat diduga bahwa masa pergantian kepemimpinan dan kondisi ekonomi yang memburuk membuat proyek penggalangan dana lewat Amorira dan Anak Woda tidak segemilang film pertama.
Catatan tertua yang tersedia mengenai pemutaran Amorira berasal dari De Indische courant tentang pertunjukan tanggal 11 Agustus 1932 di Katholieke Sociale Bond Surabaya. Menurut laporan, film ini diputar untuk kalangan umat gereja dan cukup menarik perhatian walaupun tidak sampai menghadirkan penonton berjumlah besar. Film ini lulus sensor dengan rekomendasi baik di Belanda pada akhir April 1933, akan tetapi hanya sedikit sekali kabar mengenainya yang muncul di surat kabar setempat. Beberapa iklan dan berita komunitas gereja mengenai pemutaran Amorira dapat ditemukan di koran lokal antara September 1936 hingga September 1937.
Film ini merupakan reka-ulang suatu kejadian yang dicatat tahun 1917, yakni perang akibat cekcok antar desa soal perkawinan lazim terjadi di Flores pada masa itu. Seorang gadis bernama Keli Kadoe yang sudah punya kekasih bernama Diroe Doka. Sayangnya Diroe berasal dari desa lain. Keli dijodohkan paksa dengan pemuda sekampungnya, Waroe Wesa. Penolakan Keli memicu perang antar desa sampai harus melibatkan campur-tangan militer.
Keterlibatan orang luar atau pendatang dalam kehidupan warga lokal dari cerita ini menarik untuk dikaji. Jika menilik alur cerita, pihak militer didatangkan untuk mengatasi kekerasan antar komunitas yang dilakukan oleh warga setempat. Di sini kita bisa melihat bahwa militer (dan pemerintah kolonial) ditampilkan sebagai solusi atas konflik masyarakat lokal. Akan tetapi, solusi yang bagaimana?
Penampilan militer di dalam film ini terbatas dalam situasi konflik. Pendekatan yang mereka terapkan pun bersifat kekerasan, baik secara fisik (adegan penembakan dan pemukulan warga yang berperang) maupun secara institusional (pemenjaraan). Sementara itu di bagian lain, seorang misionaris sedang berusaha mendekati warga lokal dengan cara halus dan penuh kasih. Meskipun sang misionaris menghadapi ancaman maut, ia tetap menempuh jalan kasih dan memaafkan warga yang bersalah kepadanya. Film ini menempatkan militer/pemerintah kolonial sebagai karakter yang koersif, sementara misionaris/misi sebagai karakter yang persuasif. Film ditutup dengan akhir bahagia, keberhasilan sang misionaris dalam kerjanya di tengah masyarakat setempat.
Jukstaposisi antara cara ‘keras’ yang ditempuh militer dengan cara ‘halus’ yang dipakai gereja dalam film ini terasa jauh lebih menonjol jika dibandingkan dengan subplot kisah cinta Keli-Diroe. Kita tidak menyertai Keli dalam perjuangannya mempertahankan pilihan untuk menolak kawin paksa. Adegan-adegan panjang yang melibatkan masyarakat lokal lebih banyak terdiri dari ritual persiapan perang dan ansambel pemain pendukung atau figuran untuk memperlihatkan beberapa upacara adat. Berbeda dengan dalam Ria Rago, adegan-adegan etnografis dalam film ini berfungsi sebagai persiapan menghadapi konflik, akan tetapi bukan inti dari konflik.
Kisah cinta Keli dibiarkan mengambang tipis sebagai latar belakang, sementara beban dramatik yang lebih besar justru berada di pundak Paroe Meo, ayah Waroe Wesa dan panglima Likowali. Paroe bukan saja memulai peperangan, akan tetapi juga mengalami langsung tindak kekerasan militer kolonial dan konflik dengan pastor di desa. Paroe mempertanyakan akibat invasi kekuatan asing ke wilayahnya dan melawan dengan jalan kekerasan, sementara Keli bertindak lebih pragmatis dengan meminta bantuan pastor membebaskan Diroe dari penjara. Dalam konstelasi lakon warga lokal, Paroe adalah antagonis, sementara Keli adalah protagonis. Sekali lagi jukstaposisi antara kekerasan dan jalan damai.
Pertentangan antara cara paksaan dan bujukan ini anehnya tidak diterapkan oleh Pastor Buis dalam skema warna Amorira. Dalam catatan restorasi film yang tampil pada awal kopi film di dunia maya, tertulis bahwa sumber utama restorasi ini adalah kopi nitrat yang telah hilang sebagian besar intertitelnya. Hanya ada informasi mengenai rekonstruksi intertitel berdasarkan data sensor, sementara informasi mengenai skema warna tidak dinyatakan. Kemungkinan besar versi yang direstorasi ini adalah rangkaian gambar positif dengan warna celupan (tinting) yang disambung-sambung (spliced). Metode ini sangat padat karya (labor-intensive), karena konsekuensinya setiap kopi harus dicelup dan disambung sesuai skema warna yang diinginkan.
Menilik kecanggihan pewarnaan dan bentuk grafis intertitel yang diletakkan di atas gambar dan dirancang khusus dengan logo Soverdi, tampaknya biaya pasca produksi Amorira lebih besar dibandingkan Ria Rago. Ada kemungkinan pihak produser Soverdi merasa sangat bersemangat setelah mendapat tanggapan penonton yang sangat baik ketika meluncurkan Ria Rago dan ingin menawarkan sesuatu yang lebih hebat. Sebetulnya menjelang akhir 1920-an teknik ini jarang digunakan untuk film-film komersial yang didistribusikan dengan jumlah kopi yang banyak. Patut diduga bahwa Amorira dikopi dalam skala kecil sehingga kopi putarnya masih dapat dibuat dengan cara yang sangat padat karya tanpa menghabiskan terlalu banyak dana.
Film ini seluruhnya diwarnai dengan metode celup warna sepia atau kuning kecokelatan, hijau dan biru gelap, serta titel pembukaan berwarna jingga/ungu. Meskipun setiap sutradara dan rumah produksi film mempunyai kebijakan masing-masing tentang arti warna dalam film bisu, ada beberapa hal umum yang disepakati menjelang akhir 1920-an akibat sifat produksi kopi film yang semakin massal. Warna kuning atau kuning kecokelatan lazim dipakai untuk menggambarkan suasana siang di luar ruangan. Sementara warna hijau sering digunakan untuk menggambarkan hutan, kebun atau adegan yang berhubungan dengan keceriaan atau kebahagiaan. Sementara itu warna biru gelap cenderung banyak digunakan untuk adegan malam hari atau menggambarkan kegelapan, kecemasan atau ancaman. Warna jingga/ungu yang digunakan dalam titel pembuka biasanya digunakan untuk menggambarkan otoritas yang agung dan berwibawa. Tentu saja warna yang terdapat dalam kopi nitrat sumber restorasi Amorira sudah mengalami perubahan akibat usianya, sehingga warna yang tampak saat ini belum tentu akurat sesuai warna semula.
Selain fungsi membawa makna estetis yang berkaitan dengan emosi adegan, pewarnaan film juga membuat gambar menjadi lebih gelap. Kita tahu bahwa sejak memulai laboratorium mandirinya di Lembah Ndona, kamerawan Pastor Piet Beltjens sangat kewalahan mengendalikan cahaya pada gambarnya. Bukan saja matahari Flores lebih terik, suhu air pun lebih hangat sehingga gambar di atas film lebih cepat terproses sampai kadang terlalu terang. Pewarnaan gambar Amorira memang sangat membantu melembutkan cahaya gambar kalau dibandingkan dengan gambar Ria Rago.
Dari versi yang dapat kita lihat saat ini, pembubuhan warna khususnya kuning/kecokelatan dan hijau tidak selalu memperlihatkan pola khusus yang menunjang penceritaan. Kode warna-warna ini tampaknya menunjukkan hubungan dengan pembedaan ruang atau waktu, meskipun tidak selalu ajeg. Kadang warna biru dipakai untuk mewarnai adegan malam hari, seperti layaknya konvensi pewarnaan film bisu atau warna hijau digunakan untuk adegan-adegan yang bernuansa emosi positif. Maksud estetik penerapan warna ini sulit disimpulkan dari menilik versi video dunia maya tanpa menyelidiki langsung kopi acuan restorasi.
Meskipun saat ini kita masih belum dapat menonton Anak Woda, akan tetapi dari dua film reka-ulang ini terlihat peta hubungan yang sangat menarik antara warga lokal, pemerintah kolonial dan aktor non-pemerintah (gereja) pada tahun 1930-an. Film-film ini bukan kisah heroik perang melawan penjajah seperti yang lebih banyak kita temui dalam literatur sejarah di sekolah dan karena itu menunjukkan nuansa lain dari percaturan politik lokal pada masanya.
Kopi online film ini dapat diakses di sini
Baca juga:
Lembah Ndona di Dunia Maya: Roman Adat-Relijius ala Flores tahun 1930-an