Artikel/Kajian Sejarah dan Produksi Ruang Bioskop

Kajian Elida Tamalagi 17-05-2013

Pengantar FI

Tulisan ini mulanya merupakan draft bab II tesis dengan judul Mengenang yang akan datang: Kajian terhadap konsep bioskop sebagai ruang publik. Tesis yang sedang dikerjakan sebagai tugas akhir pada Program Magister (S2) Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma tersebut hampir rampung ketika penulisnya, Patricia Elida Tamalagi, meninggal dunia pada tanggal 13 September 2011.

Tesis ini merupakan hasil pengamatan Elida, yang mendedikasikan hidupnya sebagai pegiat pemutaran dan apresiasi film. Salah satu bentuk dedikasinya adalah Kinoki, bioskop alternatif di Yogyakarta yang beroperasi dari 2005 sampai 2010. Bersamaan dengan pengerjaan tesis ini, Elida sempat mempersiapkan materi pendamping berupa film dokumenter tentang bioskop di Indonesia. Sampai dengan berpulangnya Elida, dokumenter ini masihlah berupa kumpulan rekaman gambar yang belum disunting.

Karena tulisan Elida dipandang sangat berbobot sehingga pantas dan perlu diterbitkan, Jurnal Retorik menyunting draft bab II tersebut menjadi sebuah artikel, yang terbit di Jurnal Retorik vol. 3, no. 1, Desember 2012. Tulisan ini dipublikasikan ulang di filmindonesia.or.id atas izin dan sepengetahuan pihak Jurnal Retorik.

Dalam publikasi di Jurnal Retorik, Katrin Bandel selaku editor menuliskan, “Saya berusaha untuk sebisa mungkin sekadar merapikan tulisan yang masih berupa draft tersebut tanpa mengubah substansinya, serta menambahkan kesimpulan singkat di akhir tulisan. Meskipun demikian, sangat mungkin tetap terdapat berbagai kekurangan atau ketidakjelasan yang tadinya masih ingin diperbaiki Elida, ataupun kesalahan penyuntingan disebabkan saya kurang memahami apa yang ingin dikatakan Elida. Beberapa bagian tulisan ini pernah diunggah di blog milik Elida yaitu tamalagi.multiply.com.”

***

"A whole history remains to be written of spaces." (Foucault, 1980: 148).

Untuk memulai percakapan tentang ruang bioskop, ada baiknya mengawalinya dengan perkenalan singkat akan sejarah ruang itu sendiri. Sejarah panjang sebuah ruang, baik sebagai ruang fisik maupun ruang interaksi yang menciptakan berbagai dinamika sosial, dimulai dengan pembedaan antara ruang publik dan ruang privat. Setelah itu, tulisan ini akan mengajak pembaca untuk menengok sejarah bioskop, pertama-tama di tempat kelahirannya nun di Eropa sana, untuk kemudian membahas kemunculannya di lingkup mangkuk Asia Tenggara yang mencakup Indonesia, Malaysia, dan Filipina.

Tulisan ini juga akan membicarakan bagaimana sebuah ruang mengemban fungsi konseptual dan wajib berintegrasi dengan kepentingan penghuninya, serta bagaimana hal ini kemudian diaplikasikan secara khusus di wilayah arsitektural bioskop. Benar, kita tidak hanya berbicara tentang ruang proyeksionis atau balkon yang megah, namun juga tentang hal-hal yang terkesan remeh, semacam posisi loket dan revolusi desain kursi bioskop.

Sejarah dan Filsafat Ruang

Berbagai judul buku yang secara rinci menggunakan kata “ruang sosial” dan “ruang publik” rasanya cukup sebagai premis dasar bahwa dunia arsitektural jelas membedakan konsep kedua ruang tersebut. Menurut pandangan Sigfried Giedion (1941) dan Bruno Zevi (1974) dalam masing-masing bukunya, ruang sosial adalah ruang alamiah yang dimodifikasi fungsinya untuk memenuhi kebutuhan dan harapan sebuah kelompok, serta  dilakukan dan disetujui oleh kelompok itu sendiri. Sebaliknya, aktivitas yang berlangsung di dalam sebuah ruang ditentukan oleh ruang itu sendiri, bukan oleh kelompok yang mengambil-alih ruang tersebut. Batasan dan keluasan sebuah ruang yang mendikte aktivitas-aktivitas macam apa yang mungkin terjadi di situ. Interpretasi dan pemahaman manusia hadir sesudah itu. Kesimpulan Henri Lefebvre mengenai hal itu memikat saya:

Ruang (sosial) ini telah diproduksi sebelum (ia) dibaca atau dipahami (oleh masyarakatnya); ia juga tidak diproduksi untuk dibaca atau diraih; melainkan lebih baik dari itu, untuk dijadikan tempat hidup bagi manusia, dengan darah dan daging, hidup dengan penuh gairah dalam konteks urban mereka masing-masing.[i] (Lefebvre, 1991: 143)

Menengok zaman peradaban awal, yang dikenal dengan periode Nomaden dan Semi Nomaden, masyarakat hidup dari bercocok tanam berpindah dan menggembala. Pada masa tersebut, ruang sosial dibedakan berdasarkan fungsinya: sebagai tempat yang sakral atau sebagai tempat untuk menunaikan kebutuhan dasar dan sehari-hari. Kita menemui tempat-tempat upacara di daerah paling tinggi atau paling rendah, tergantung kebudayaan yang berkembang di kelompok masing-masing.

Ruang alamiah yang “diisi” untuk memenuhi kebutuhan dasar biasanya adalah daerah aliran air atau lahan penggembalaan yang subur. Dalam perkembangannya, manusia mulai menetap dan populasi berkembang; lahirlah masa kerajaan. Dibutuhkan pengaturan dan ruang interaksi yang lebih dari sekedar hubungan vertikal dan horizontal yang memenuhi kebutuhan dasar semata. Sifat ekonomis ruang sosial berkembang seiring dengan peradaban barter dan penggunaan keping uang. Alun-alun kota adalah konsep ideal sebuah ruang publik, yang ketika itu berperan sebagai etalase kelimpahan ekonomi negara dan ajang sedekah sang raja. Lompatan raksasa dalam pemahaman teritorial yang terjadi dalam perkembangan sejarah selanjutnya membuahkan sistem negara (dan kota sebagai anak tunggalnya), serta mencanangkan konsep kebangsaan[ii] yang dipegang hingga saat ini. Negara dan sistem kotanya memperkenalkan manusia terhadap jenis produksi ruang oleh kekuatan politik sebagai sebuah proyek dominasi, alih-alih apropriasi, demi mewujudkan tujuan-tujuan ekonomisnya. Kota didefinisikan sebagai sebuah proyek penegasan diri atau gaung yang pantul-memantul dalam imaji tentang dirinya sendiri.[iii] Muncullah lanskap bangunan dan prasasti, kepeduliannya dalam melestarikan “suasana pedesaan,” serta ide penggunaan ruang secara efektif. 

Dalam kehidupan urban, ruang publik dilekatkan dengan sifat latennya: ruang pajang citra diri. Ruang sosial jenis ini dijalankan dengan rasionalisasi dan pelekatan berbagai teori yang berfungsi sebagai pembenaran atas dominasi terhadap ruang sosial yang telah berjalan. Hal ini atas dasar kesetiaan terhadap logika bahwa ruang sosial adalah ruang alamiah (natural space) yang diambil-alih oleh kelompok sosial tersebut; ruangnya yang alamiah, bukan aktivitas sosialnya. Ruang mendikte aktivitas sosial yang mungkin terjadi. Maka dominasi (atau kekerasan, dalam istilah Lefebvre) yang terjadi sejatinya bukan terhadap ruang (yang memang telah ada secara alamiah, diambil-alih keberadaannya oleh masyarakat setempat), melainkan terhadap aktivitas sosial yang mula-mula ditetapkan (dengan persetujuan anggota masyarakat, ditandai dengan aktivitas yang berlangsung di sana pertama kali) atas ruang tersebut. Budaya pajang-memajang dan citra diri yang menjadi urusan negara, mendesak kelompok individu di masyarakat untuk menetapkan batasan yang tegas akan ruang-ruang yang dihuninya ketika beraktivitas. Di titik ini ruang privat menjadi sangat signifikan sebagai pembeda atas ruang sosial yang dikembangkan untuk publik sampai saat ini. Jika mengikuti pandangan para arsitek di atas, kesimpulan yang logis adalah bahwa ruang sosial dikembangkan dalam membentuk aktivitas publik yang diinginkan negara sebagai pemegang hak politis dari teritori spasial di muka bumi ini.

Berbicara tentang modifikasi aktivitas, saya teringat akan kunjungan saya ke sebuah ruang kolektif seniman jalanan di kota Lyon, Le Fric. Pada tahun 1970an, tempat Le Fric beraktivitas adalah sebuah pabrik mobil. Ketika mengalami pailit, gedung tersebut terlantar dan perlahan-lahan ditempati lalu dialihfungsikan untuk berbagai kepentingan. Mula-mula halamannya dipakai sebagai lahan parkir bagi penduduk yang bermukim di daerah tersebut. Saya tidak mendapat keterangan tentang siapa mula-mula yang berinisiatif memakai bagian dalam gedung tersebut sebagai tempat tinggal, dan mungkin memang tidak perlu dipersoalkan lagi siapa yang pertama. Le Fric yang saya saksikan ketika itu sungguh-sungguh mengingatkan pada kehidupan kolektif di bekas kampus ISI Gampingan (kini Jogja National Museum) yang digawangi Taring Padi di akhir 1990an hingga awal 2000an. Ruang berlangit-langit tinggi dan nyaris tanpa sekat di Lyon itu dimanfaatkan bukan hanya sebagai ruang proses berkarya, tapi aktivitas di Le Fric juga mencakup keterampilan merangkai dan mengendarai sepeda, bercocok tanam, dan olahraga Capoeira. Baik dalam kasus Le Fric maupun Gampingan, ruang yang semula berfungsi sebagai ruang bekerja, ruang transaksi ekonomi, bertransformasi menjadi ruang bermain. Perubahan-perubahan yang (mungkin) terjadi dan disaksikan dalam ruang sosial memiliki signifikansi yang besar buat kita, sebab menurut Lefebvre (1991: 167), ia mengajarkan kepekaan baru pada kita, para penyaksi sejarah, tentang produksi ruang-ruang sosial baru.

Konsep Publik dan Privat dalam Ruang Sosial

Dari penelusuran singkat mengenai sejarah ruang di atas, paling tidak ada tiga kesimpulan praktis yang bisa ditarik, yaitu:

  1. Ruang sosial adalah ruang alamiah yang diambil-alih fungsinya oleh sekelompok masyarakat untuk melayani kebutuhan kelompok tersebut.
  2. Meskipun demikian, aktivitas dalam ruang sosial telah ditentukan dan dibatasi oleh ruang itu sendiri.
  3. Aktivitas dalam ruang sosial secara alamiah bergeser dari semata-mata ruang publik sebagai tempat bertemu dan berinteraksi – baik interaksi secara vertikal (bersifat sakral di masa penggembala nomaden), maupun horizontal (pengenalan konsep wilayah teritorial semi-nomaden) – menuju ruang ekonomis (pasar dan alun-alun) di masa kerajaan. Sifat ekonomis ruang sosial mencapai puncaknya di masa negara bangsa. Masyarakat bertumbuh semakin individualis dan memutlakkan kehadiran ruang privat dengan segala batasannya. Pada titik ini, arsitektur mengambil peran maha penting dalam menghadirkan sifat keluasan ruang dalam bangunan fisik.

Walau demikian, pemikiran mengenai hubungan antara bangunan dengan manusia yang menghuni dan menggunakannya bukanlah hal baru. Sekitar abad ke-25 sebelum Masehi, Vitruvius, seorang penulis, arsitek, dan ahli teknologi Romawi, telah merumuskan fungsi bangunan bagi manusia sebagai upaya pemenuhan kebutuhan (utilitas) mereka, dapat diandalkan dari segi ketahanannya (firmitas), dan memenuhi cita rasa pemiliknya (venusitas).[iv] Sejak peletakan dasar oleh Vitruvius inilah, dunia arsitektur lahir dan mengembangkan kepedulian mereka terhadap hubungan dialogis antara bangunan dan manusia yang mendiaminya. Bangunan dianggap memiliki potensi sebagai stimulus gerakan atau aktivitas, baik nyata maupun yang dibayangkan.

Dalam buku Body, Memory andArchitecture karya Kent C. Bloomer dan Charles W. Moore (1977) dipaparkan bagaimana bangunan seharusnya menstimulasi gerak, juga menjadi panggung bagi interaksi, baik intrapersonal maupun dialog antara tubuh dan bangunan itu sendiri. Buku ini menganalogikan rumah (house) sebagai konsep dasar akan pembedaan ruang publik dan privat. Interaksi yang dihasilkan, baik antar anggota keluarga maupun antara mereka bersama dengan ruangan-ruangan dalam rumah (home) mereka, mengikat para penghuni dalam satu cakrawala pengalaman, secara sosial maupun fisik, sebagai satu konsep interaksi dengan bangunan tersebut. Konsep ini dapat kita teruskan dalam melihat bagaimana sebuah bangsa dalam ikatan kultur dan pengalamannya bersikap terhadap sesuatu. Pentingnya kesadaran akan interaksi tubuh dan bangunan ini digemakan dengan lebih lantang dalam tulisan Lefebvre, dan tampaknya seruan Lefebvre tersebut memang didengar oleh para penerusnya.

Konsep Arsitektur Bioskop

I see the task of architecture as the defence of the authenticity of human experience." (Pallasmaa, 2005) 

Berbicara tentang gedung bioskop sebagai ruang publik yang lahir dari budaya perkotaan berarti juga berbicara tentang bagaimana konsep “ruang” dan “urban”  dipahami dan bermanifestasi dalam tatanan masyarakat setempat, sebagaimana pembagian ruang antara yang “publik” dan yang “privat” yang ada kini tidak lain adalah manifestasi fisik dari dinamika hubungan keduanya dalam masyarakat. Hubungan ini bicara banyak hal tentang pola hubungan antara individu dan masyarakat, maupun antara diri dan orang lain.

Sejak masa awal sebuah gedung bioskop dibangun, segregasi sosial yang tegas telah diterapkan kepadanya. Secara arsitektural, balkon yang vertikal menunjukkan garis strata yang jelas antara kelas penonton yang duduk di atas sana, dengan mereka yang masif di bawah sini. Berbicara gedung bioskop, pembagian ruang bioskop mula-mula sebenarnya sangat dipengaruhi oleh penataan sebuah gedung pertunjukan. Hal ini dapat dipahami, mengingat pertunjukan panggung adalah rujukan terdekat masyarakat saat itu dalam menikmati karya film. Sebab lainnya karena pada masa tersebut gagasan tentang pemutaran film, secara teknologi dan penyajiannya, tidak lepas dari tata cara dunia panggung pertunjukan.

Pada masa puncak perayaan film bisu di Amerika, Kanada, dan di beberapa bagian Eropa, berkembang sebuah varian pertunjukan yaitu pemutaran film bisu yang diiringi alat musik berupa sejenis organ pipa yang disebut “organ teater” (theater organ). Organ teater didesain untuk menghasilkan bunyi-bunyian seperti orkestra, sebab dengan ditemani piano saja sebuah film bisu masih terlampau sunyi, sedangkan mendatangkan orkestra di setiap pertunjukan juga bukan hal yang masuk akal. Gerakan pelestarian besar-besaran terhadap kondisi alat musik ini dilakukan oleh American Theater Organ Society dengan sokongan penuh pemerintah kota.[v] Di beberapa gedung pertunjukan tua yang masih tersisa di kota-kota besar di Indonesia (Societeit Militaire di Yogyakarta dan Semarang, serta Gedung Asia Afrika di Bandung), kita masih bisa menemukan panggung lengkap dengan tata lampu di depan layarnya. Saya sempat mengunjungi sebuah bioskop tua di Berlin, Babylon. Bioskop itu tidak saja masih menyimpan dan merawat keberadaan si organ teater, tapi juga mempersembahkan program khusus rutin untuk pertunjukan film ditemani oleh si organ teater ini.[vi]

Tampak dengan jelas betapa ruang bioskop disesuaikan dengan materi tontonan, jenis pertunjukan, dan kelas sosial penontonnya. Pembangunan gedung bioskop dan segala elemen pelengkapnya sepenuhnya bertujuan untuk memenuhi kepuasan penonton yang disasar.

Sejarah Bioskop sebagai Bangunan Citra Budaya Bangsa di Wilayah Mangkuk Asia Tenggara

Melihat pentingnya peran gedung bioskop sebagai pembentuk citra sebuah negara dan tolok ukur cita rasa budaya sebuah bangsa, pembahasan terhadap sejarah bioskop adalah hal yang mutlak dilakukan di sini. Berikut saya akan secara singkat membahas sejarah awal bioskop di Indonesia, Malaysia, dan Filipina, dengan fokus pada kemunculan bioskop di masa kolonial.

Menurut Ali Madanipour dalam bukunya Public and Private Spaces of The City(2003), pembagian antara ruang publik dan ruang privat adalah salah satu elemen kunci dalam melihat bagaimana masyarakat moderen mengorganisir diri mereka. Melanjutkan kutipan Madanipour:
"[H]al ini mempengaruhi pengalaman-pengalaman dan kondisi mental tiap individu, mengatur pola dan kebiasaan mereka serta menunjukkan pengaruh yang panjang dan paling tampak dalam struktur jangka panjang yang terbentuk di kehidupan sosial manusia pada skalanya yang paling besar."

1. Indonesia

Penulisan yang menyeluruh tentang sejarah bioskop di Indonesia telah dilakukan oleh paling tidak dua pihak. Yang pertama adalah Misbach Yusa Biran, pendiri Sinematek Indonesia, dalam bukunya Sejarah Film 1900-1950: Bikin Filmdi Jawa(2009). Upaya historiografi bioskop ini juga terwujud dalam program jangka panjang “Sejarah Adalah Sekarang” (SAS) yang diprakarsai Kineforum, bioskop alternatif di bawah naungan Dewan Kesenian Jakarta. Dalam pameran SAS, antara lain dikutip tulisan Kurniawan Adi Saputro:

Film pertama kali diputar di suatu rumah di kawasan Kebondjae, Tanah Abang, Jakarta Pusat pada tanggal 5 Desember 1900. Harga tiket untuk kelas I f2, kelas II f1, dan kelas III f0,5 […] Film yang diputar adalah film bisu, hitam-putih berisi kedatangan “Sribaginda Maharatoe Olanda bersama-sama jang moelja Hertog Hendrik” ke kota Den Haag, juga peperangan di Transvaal dan berbagai-bagai barang baru.[vii]

Seperti yang Ekky Imanjaya utarakan dalam rangka memperingati Hari Film Nasional 30 Maret 2006, perusahaan-perusahaan bioskop ini tidak punya tempat tetap pada masa awal pertumbuhannya. Umumnya, mereka menyewa rumah besar (seperti Gedung Manege di Kebonjae Tanah Abang) ataupun lapangan besar yang menjadi cikal bakal layar tancap. Masalah lokasi dan tempat pemutaran ini berpengaruh besar terhadap harga karcis yang ditetapkan. Gedung bioskop sungguhan mulai dikembangkan pada tahun 1920-an dengan penegasan terhadap pengelompokkan penonton berdasarkan rasnya. Kisah HM Johan Tjasmadi, ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia periode 1970-1999, dalam bukunya 100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000) menegaskan mengapa urusan ras ini menjadi perihal maha penting di awal kelahiran bioskop Indonesia; bahwa film masuk ke Hindia Belanda (Batavia, sekarang Jakarta) semula hanya lantaran rasa kebanggaan orang kulit putih yang tidak mau kalah dari saudara-saudaranya yang tinggal di tanah airnya.[viii] Maka dibangunlah bioskop khusus untuk orang Eropa, seperti Decca Park di Jakarta dan Concordia di Bandung. Di samping itu, terdapat bioskop untuk kelas bawah, seperti Kramat di Senen dan Rialto yang kini menjadi gedung wayang orang Bharata.

2. Malaysia

Pada mulanya, film-film yang dipertontonkan adalah film bisu era Hollywood awal, terkenal dengan sebutan “wayang gelap.” Setiap pertunjukan dipenuhi oleh “orang-orang Asia yang tampak sangat antusias, tak peduli komedi ataupun tragedi, semua tampak memikat bagi mereka” tulis Phillip C. Coote yang dikutip oleh Mohamad Hatta Azad Khan (1994) dalam The Malay Cinema (1948-1989).

Walau demikian, yang dimaksud dengan “orang Asia” itu tentu saja mereka yang tinggal di daerah perkotaan. Penduduk yang tinggal di desa pada umumnya adalah petani dan nelayan; hiburan mereka adalah berbagai pertunjukan tradisional seperti wayang kulit, Mak Yong dan Rodat. Pergi ke bioskop pada masa itu bukan didominasi oleh orang Melayu sendiri, melainkan oleh orang Eropa dan Cina yang kaya. Upaya yang dilakukan oleh pengusaha bioskop dalam menarik lebih banyak penonton adalah dengan menyebarkan sinopsis dari film yang akan berlangsung beberapa hari sebelumnya yang ditulis dalam berbagai bahasa yang dipakai mayoritas penduduk Malaya (Cina, Melayu, India). Penonton bioskop pada masa itu terbagi atas berbagai kelas sosial yang nyata terlihat dalam segregasi pengaturan kursi, baik ruang maupun tempatnya. Kelas menengah biasanya berada di bawah, diikuti mezanin lantai dua untuk kelas satu dan pesanan khusus serta balkon yang terletak jauh di belakang untuk tamu khusus (VIP).

3. Filipina

Pada tanggal 28 Agustus 1897, sejarah mencatat duet Liebman dan Peritz, pebisnis berkebangsaan Swiss, memutarkan film kepada undangan terbatas di Manila dengan menggunakan peralatan sinematografi milik Lumiere bersaudara. Seorang prajurit Spanyol, Anonio Ramos, membawa serta peralatan tersebut bersama sekitar tiga puluhan judul film. Pemutaran itu berlangsung di Escolta St., salah satu pusat perekonomian yang pertama-tama dikembangkan pada masa kolonialisme Spanyol. Di masa pendudukan Amerika, wilayah ini didandani dengan gedung-gedung besar bergaya art deco. Jalan ini bahkan abadi dalam kenangan banyak orang karena julukannya sebagai “the Fifth Avenue of Manila” atau “the queen of all streets,” bersanding dengan Ermita, Sta. Cruz, Binondo dan Quiapo. Pemutaran film percobaan itu berlangsung di Cinematografo, bioskop pertama di Filipina, di lokasi bekas toko permata Ullman. Dari istilah “cinematografo” yang dipakai sebagai nama bioskop tersebut, lahir prefiks cine- atau sine- yang merujuk pada film sebagai kata benda.

Walau demikian, pengaruh yang sangat berbekas di Filipina hingga saat ini adalah pengaruh kolonialisme Amerika Serikat. Baguio, kota pegunungan yang berjarak enam jam perjalanan dari Manila adalah pintu masuk tentara Amerika ke wilayah pegunungan Cordillera; dikenal sebagai ibu kota country club Asia. Di kota ini, bioskop elit diperkenalkan, bioskop dengan lobi luas dan tempat duduk VIP yang berada dekat dengan kamar kecil. Demikian juga tempat kencan semacam 50’s dinner untuk remaja dengan kemeja flannel kotak-kotak lengkap dengan truk beroda besar, serta mesin-mesin jukebox di toko kelontong merangkap warung kopi dan bir yang memperdengarkan Jim Reeves atau Bonnie Rait.[ix]

Bioskop dan Integrasi Wahana Hiburan yang Mengikuti Zaman

Dalam kisah-kisah yang dirangkum Khan (1994) dari koran lokal Malaysia, suasana dalam bioskop tak ubahnya piknik keluarga. Ada kegiatan makan-minum, percakapan, dan tawa yang meledak sewaktu-waktu dan tidak harus berhubungan dengan plot film yang sedang disajikan, orang hilir-mudik mengunjungi kamar kecil dan bertransaksi – semua yang bisa kita pikirkan sebagai syarat mutlak dalam piknik keluarga. Bedanya, ini terjadi di dalam ruangan.

Ada satu rahasia umum yang masih dipegang oleh para pengusaha bioskop hingga sekarang: usahakan calon penonton menangkap keberadaan mesin pop corn (berondong jagung) ketika pertama kali masuk ke sebuah gedung bioskop. Beberapa negara yang memiliki kepedulian besar terhadap saujana budayanya, menetapkan larangan renovasi struktur utama gedung. Yang dilakukan oleh para pengelola bioskop adalah mempertahankan mesin pop corn lama agar baunya semerbak memenuhi ruangan.

Salah satu ciri yang seringkali saya pakai sebagai penanda bahwa sebuah gedung pernah menjadi bioskop adalah keberadaan rumah makan atau cafe kecil di sudut jalan atau tepat di sampingnya. Alfred “Aped” Santos, seorang pekerja film di Manila yang saya temui, menceritakan bagaimana kultur kencan bagi kaum gay di Manila era 1970-an disimpulkan dalam dua kata: bioskop dan rumah makan. Kami langsung menemukan buktinya: sebuah rumah makan bernama Bamboo Resto masih tegak berdiri di antara bangunan hasil renovasi yang tampak kontras dengan lingkungannya. Di atas Bamboo Restodulunya adalah bioskop kelas dua di Manila. Menurut Aped, proses taksir-taksiran sudah terjadi di lobi saat melihat-lihat poster yang diikuti pembelian karcis di loket. Jika proses awal mulus, pihak yang ditaksir akan ikut mengantri untuk film di loket yang sama. Selama menonton, mereka akan duduk berdampingan, dengan sopan bertukar pendapat dan komentar tentang film yang berlangsung. Jika kecocokan pendapat ini dirasa perlu dipertahankan, kencan pertama resmi dimulai. Mereka akan melanjutkan obrolan itu di Bamboo Resto, dan saling menganggukkan kepala terhadap pasangan-pasangan yang memiliki latar belakang kisah kurang lebih sama dengan mereka. Pasangan-pasangan ini yang memenuhi ruangan makan Bamboo Resto.

Di Indonesia, jurus integrasi wahana hiburan dengan bioskop hampir sama tuanya dengan usia bioskop itu sendiri. Ketika pembangunan gedung bioskop marak di tahun 1920an, gedung bioskop berada di lokasi taman hiburan dan bentuk bangunannya menyesuaikan cita rasa Eropa. Tengok saja sejarah Rialto Bioscope yang berada di area Sirene Park (Jakarta). Berbagai hiburan, pertunjukan dan permainan ada di sana, tak ketinggalan gelaran barang-barang dagangan. Dalam sebuah diskusi tentang bioskop yang digelar ruangrupa, Antariksa menegaskan bagaimana konsep hiburan ini mulai marak kembali setelah tahun 1940an:

Gaya berbagai macam hiburan itu kemudian dilakukan lagi setelah 1940-an. Masa itu film Amerika sulit karena habis perang, lalu film Amerika diboikot, film jadi sedikit, tersisa hanya film Malaysia, India, Filipina. Akhirnya pengusaha bioskop ini membuat hiburan sebelum pemutaran, dari mulai sandiwara, keroncong, di dalam gedung. Itulah mengapa di bioskop yang agak tua biasanya ada panggung di depannya. Dulu yang paling terkenal di Yogyakarta adalah Gedung Indra; singkatan dari Indonesia Raya. Bahkan pernah ada sebelum pemutaran film, digelar pertandingan tinju, sulap, pertunjukan ular, jumpa bintang film atau lomba mirip artis. Itu cara pengusaha bioskop untuk mempertahankan bisnisnya.[x]

Era video game menyerbu hampir semua bioskop di wilayah mangkuk Asia Tenggara ini di tahun 1980an. Saya tidak berhasil membuktikan premis saya bahwa kondisi ini ada hubungannya dengan membanjirnya industri mainan elektronik, dan bahwa perkembangannya sepesat itu akibat kebijakan impor dari masing-masing negara. Poin yang bisa ditandai dari era video game ini pertama adalah desakralisasi citra dari kegiatan “pergi ke bioskop.” Berbagai tulisan yang tersebar di web pribadi (blog) maupun situs pertemanan berbicara tentang perpaduan kegiatan “menonton” dan “bermain game” yang tidak lagi hirarkis. Artinya, bisa jadi seseorang pergi ke lokasi gedung bioskop untuk pertama-tama bermain kemudian tertarik pada film yang sedang tayang, atau sebaliknya, bermain game sambil menunggu jam putar film yang diinginkan. Periode video game ini berbeda dengan periode awal bioskop. Sebelumnya, pengusaha bioskop memegang kontrol atas hiburan yang diterima pengunjung. walaupun bioskop dibanjiri dengan berbagai jenis hiburan lainnya.

Kisah Ernest dan Riptanto yang dibagikan dalam situs pribadinya, bisa menggambarkan rentang waktu video game bertahan sebagai magnet andalan bioskop.

Selama 25 taun hidup, belum pernah saya nemu bangku bioskop sepaten J-8 & J-15 -nya Wijaya 21, dimana kiri kanannya ga ada bangku lain. Asli asik banget. Berkat bangku VIP ini pulak zaman SMP dulu nonton bioskop sendirian terasa begitu menyenangkan. Kalo film-nya masih lama, turun dulu 1 lantai ke tempat maen video games yang gedeeeeeeeeeeeeeeeee banget. Virtua Fighter, Samurai Showdown, sampe Tekken pun ada. Kalo bosen, seberangnya ada Toys City. Kalo ga nontonin orang maen Tamiya (nonton doang, ga mampu beli, secara hobi dengan budget tak terbatas tuh).[xi]

Minggu kemarin, Retno nagih janji nonton Harry Potter episode 6 nya.. Akhirnya kita jalan ke DIENG PLAZA buat nonton.. Selagi nunggu beli tiketnya, di samping bioskop ada beberapa pelajar berseragam yang lagi main DDR (Dance Dance Revolution) dengan mode yang paling Hard lah.. Dan akhirnya mengundang perhatianku sama Retno. Eh tiba2 kok Retno bilang pengen main DDR juga.. Glodak.. Kita kesini kan mau nonton..(cetak miring oleh penulis)[xii]

Perkembangan lain adalah bahwa seiring integrasi gedung bioskop ke dalam pusat perbelanjaan yang dipelopori oleh jaringan Cinema 21, segmentasi penonton di mata pengusaha bioskop telah mulai bergeser, yaitu remaja dan pekerja muda menjadi sasaran utama.

Sebuah inovasi yang agak mengejutkan dibuat oleh bioskop Blitz di Jakarta. Mereka menghadirkan ranjang di depan layar dengan kualitas suara layaknya bioskop. Penontonnya dapat memesan makanan dengan menu makanan internasional dari restoran di bawah satu manajemen. Tiket untuk sekali pertunjukan dihargai Rp. 200.000; segmentasi penonton yang dibidik adalah pasangan eksekutif muda.[xiii]

Tadinya saya menduga Blitz mengalihkan kegiatan bermain video game, yang melekat dalam benak remaja sebagai bagian dari pengalaman pergi ke bioskop, menjadi fasilitas koneksi internet gratis di sebuah ruang transparan yang disponsori sebuah merek komputer. Ketika saya mencoba menggunakan fasilitas tersebut, dugaan saya ternyata keliru. Area tersebut ternyata memang adalah ruang yang digunakan sebagai ajang promosi produk komputer merek tersebut dengan iming-iming koneksi internet gratis yang dibatasi selama 15 menit. Waktu yang diberikan dan dekorasi interior yang sangat pop menarik sejumlah calon penonton remaja untuk beramai-ramai mengakses situs pertemanan, facebook, dan twitter; seperti yang terlihat pada beberapa monitor komputer yang diakses oleh penonton dengan rentang usia tersebut.

Pengalaman saya berinteraksi dengan wahana-wahana hiburan yang ditawarkan oleh bioskop di Indonesia dan di luar Indonesia sangat berbeda. Bioskop di Eropa dan Kanada pada umumnya adalah bioskop tunggal dengan segmentasi penonton yang dibentuk melalui program filmnya. Kebanyakan bioskop berupaya untuk menyediakan dua atau tiga setel bangku dan meja kecil di depan bar cemilan mereka, dilengkapi buku atau majalah film dalam bahasa setempat. Ketika saya berkunjung ke Prancis di akhir tahun 2008, saya berinisiatif bekerja paruh waktu tanpa bayaran di Melies, sebuah bioskop kecil di kota Grenoble. Bioskop Melies temasuk dalam program Cinema d’Art, Recherche et Essai (cinema art, research, and testing)[xiv] yang berada di bawah Centre National Cinematographique (badan perfilman Prancis). Saya tertarik bekerja di sana sejak kunjungan pertama, ketika melihat dinding lobi yang tidak seberapa luasnya itu penuh dengan tempelan ulasan film-film yang sedang tayang. Bioskop ini memberikan tarif tiket khusus untuk anak dan lansia, segmen penonton terbesar mereka. Pekerjaan saya adalah membuat salinan tulisan-tulisan (copy) tersebut dalam ukuran A3.

Saya tidak bisa membayangkan apakah ini strategi umum pihak manajemen bioskop ataukah sebuah penyesuaian program atas musim yang sedang berlangsung. Musim dingin sudah mulai parah pada saat itu, dan lobi bioskop Melies penuh sesak orang-orang tua yang entah serius membaca ulasan film atau semata-mata menghangatkan diri di antara kerumunan.

Pemanfaatan Bekas Gedung Bioskop

"No space ever vanishes utterly, leaving no trace."
(Lefebvre, 1991: 164)

Dalam sebuah kunjungan ke Manila di tahun 2009, saya berkesempatan melakukan perjalanan menelusuri lokasi-lokasi bekas bioskop berdasarkan ingatan tiga orang teman Alfred “Aped” Santos, seorang desainer produksi film dengan latar belakang pendidikan arsitek, Vic Acedillo Jr, sinefil yang tumbuh menjadi sutradara, dan Bong, supir pribadi Vic, yang masing-masing mewakili tiga segmen bioskop dalam sejarah Filipina: bioskop gay, bioskop esek-esek, serta tentu saja, bioskop kelas satu. Perjalanan kami berujung pada kesimpulan bahwa terdapat tiga kemungkinan pemanfaatan ruang setelah sebuah bioskop berhenti beroperasi.

Pertama, sebagian gedung bioskop dimanfaatkan sesuai dengan ciri fisiknya yang khas, yaitu adanya sebuah (atau beberapa buah) ruangan yang mampu menampung banyak orang dan terstruktur menghadap ke satu arah. Maka ruangan itu adalah jawaban yang ideal untuk aktivitas apapun yang membutuhkan paling tidak dua kriteria tersebut: masif dan terfokus pada satu titik. Sebagai bonus yang hadir berbarengan dengan kedua hal tersebut adalah kualitas akustik ruangan yang baik. Masyarakat Manila memanfaatkan bekas gedung-gedung bioskop ini sebagai gereja, sekolah kejuruan (kebanyakan adalah sekolah perawat), dan bar gay dengan memanfaatkan layarnya sebagai latar untuk pertunjukan langsung. Sebuah gereja memajang dekorasi ayat-ayat Alkitab dengan memanfaatkan ruang yang biasanya digunakan sebagai tempat pajang baliho film yang sedang tayang. Loket tiket dimanfaatkan sebagai tempat mengambil berbagai lembar publikasi; lobinya menyediakan sudut untuk kopi dan teh bagi para jemaat yang datang awal, juga sofa nyaman untuk jemaat lansianya. Salah satu teman saya berkomentar, “Coba saja bioskop masih mempertahankan hal-hal itu, pasti kita bisa jadi ‘jemaat’ pesaing yang tangguh!”

Dari hasil pengamatan kami, gereja-gereja yang menyewa gedung bioskop pada hari Minggu, atau bahkan membelinya dan menjadikannya gedung gereja permanen, adalah aliran Protestan. Secara kultural, aliran ini minoritas dibandingkan Katolik yang berkembang di sana sejak masa penjajahan Spanyol.

Tentang sekolah perawat, teman-teman Filipina saya sepakat akan satu hal. Fenomena ini baru berkembang dalam lima tahun terakhir ini, seiring dengan meningkatnya permintaan perawat Filipina di pasar tenaga kerja dunia. Penjelasan tentang fenomena bar gay datang dari Aped. Bioskop-bioskop esek-esek sebenarnya merupakan tipe bioskop yang punya daya tahan hidup paling kuat dan di antaranya termasuk bioskop yang menayangkan film dewasa dengan segmen gay. Posisi layar di bar gay tetap menjadi pusat perhatian karena seringkali dijadikan latar belakang pertunjukan mereka dengan memproyeksikan potongan-potongan video seronok. Bioskop yang diubah menjadi bar gay adalah gedung-gedung yang pada zamannya berkelas. Keberadaan bar-bar tersebut adalah pelengkap dan respon terhadap fenomena sosial penerimaan gay dalam masyarakat Filipina pada umumnya, khususnya di Manila. Festival film tahunan tingkat nasional yang diadakan oleh Cultural Center of the Philippines (CCP), Cinemalaya, sejak tahun 2005 bahkan membuat program khusus untuk gay movie, yang mendapat respon sangat baik dari penonton festival tersebut.

Kemungkinan kedua adalah pemanfaatan ruang atau fungsi ruang secara parsial. Temuan kami hari itu mencakup toko garmen, gudang peralatan kendaraan bermotor, terminal fx (angkutan kota berpendingin), loket penjualan kupon undian “Lotto,” dan warung ayam panggang. Penggunaan sebagai gudang atau terminal hanya memanfaatkan kelebihan bekas gedung bioskop sebagai tempat yang luas. Seluruh dinding bagian dalam dirobohkan; kursi dan layar dipindahkan. Penanda yang kami pakai untuk menemukan kembali gedung-gedung bioskop yang telah beralih rupa tersebut adalah tiga jendela kecil di lantai atas khas ruang proyeksi bioskop dan tangga di salah satu sisi luar gedung.

Sebagian gedung tersebut masih terkunci rapat, sebagian lagi dibiarkan terbuka dan dimanfaatkan sebagai tempat menginap gelandangan di sekitarnya. Beberapa gedung menunjukkan sisa usaha mereka dalam mempertahankan hidup: tangga berjalan ditutupi tripleks, serta pemasangan lampu neon secara serampangan, yang memberi kesan “yang penting cukup terang” sebagai alternatif daripada menggunakan berpuluh bohlam tanam hasil desain arsitek ternama pada masanya.

Kemungkinan ketiga hanya tanah kosong. Gedung-gedung yang terabaikan itu diratakan. Sebelum tahu hendak difungsikan sebagai apa, mereka akan menjelma menjadi lahan parkir. Terlalu terlambat bagi kami berempat untuk menyadari kalau perjalanan ini adalah perjalanan menyongsong patah hati. Setelah terdiam beberapa saat, kami memutuskan mengakhiri perjalanan sepanjang kenangan akan 24 bioskop non-sinepleks di Metro Manila yang dimulai pukul lima pagi.

Alih rupa semacam yang saya amati di Manila sebenarnya juga terjadi di Indonesia. Hanya saja skalanya jauh lebih kecil dan variannya terlampau banyak. Saya menemukan dua mantan gedung bioskop yang menjadi lapangan futsal mini (bioskop Dian di Bandung dan Kencana di Kartasura), bioskop Sobo di Yogyakarta direnovasi menjadi Jogja Gallery, dan gedung bioskop di Sumedang menjadi toko oleh-oleh. Di Cicadas sebuah bioskop menjelma ruang pajang motor produksi Cina, demikian juga di Jalan Mangkubumi, jantung kota Yogyakarta. Sisanya diratakan dengan tanah, yang kemudian terbengkalai menjadi tempat parkir, atau di atasnya dibangun gedung baru.

Lahan tempat gedung bioskop Soboharsono sebenarnya adalah milik kraton. Artinya, baik pihak pengelola bioskop Sobo dahulu maupun Jogja Gallery sekarang sama-sama menyewanya. Semasa beroperasi, Sobo adalah spesialis program film India dan disusul film Indonesia; bertahan selama 23 tahun dan baru ditutup resmi pada tahun 1997. Seorang narasumber bernama Pak Kuat[xv] (mantan staf bioskop Soboharsono yang sekarang bekerja di Jogja Gallery), mengutarakan bahwa Soboharsono ditutup bukan karena bangkrut, melainkan murni karena pertimbangan bisnis. Pengelola memprediksi bahwa keuntungan tidak akan menggembirakan sehingga, sebelum bangkrut, mereka memutuskan untuk menggeluti bisnis lain. Tercatat setelah Soboharsono, mereka berkecimpung dalam bisnis roti, lalu pindah ke bisnis bilyar, lalu sekarang mengelola tempat clubbing, Jogja Jogja. Kenapa Soboharsono bisa mengalami penurunan penonton? Pak Kuat mengatakan bahwa “bioskop pada tahun 1997-an sudah kalah sama TV swasta, main competitor-nya bukanlah VCD dan CD bajakan, tapi TV Swasta. Setiap keluarga notabene punya TV di rumah.” Tentang hal ini, pengamat dan kritikus film JB Kristanto pernah menulis:

Hancurnya bioskop di wilayah kabupaten ke bawah itu dibarengi dengan tumbuhnya raksasa jaringan bioskop yang dikenal dengan sebutan Jaringan 21 (sebenarnya sudah mulai tumbuh di akhir 1980-an dan awal 1990-an), yang berkonsentrasi di kota-kota besar, dalam bentuk multipleks. Lebih khusus lagi, jaringan bioskop ini juga berkonsentrasi di mal-mal yang menjamur di hampir semua ibu kota provinsi. Konsentrasi ini membawa akibat pada perubahan karateristik penonton. Sebagian besar penonton film sekarang adalah remaja. Dalam kategorisasi lama, penonton sekarang adalah penonton kelas atas. Penonton inilah yang harus dihadapi para pembuat film. (Kompas, 2 Juli 2005)

Bioskop Indra di Yogyakarta adalah salah satu potret kejayaan masa lalu yang getir. Dibangun pada tahun 1916 bersamaan dengan bioskop Mascot, Indra (singkatan dari Indonesia Raya) awalnya bernama Al Hambra, didirikan oleh Nederlands Indische Bioscoop Exploitatie Maateschapij untuk segmen penonton yang berbeda. Al Hambra diperuntukkan untuk kelas sosial tinggi (Eropa, pengusaha Tionghoa, bangsawan Kraton) sementara Mascot untuk kelas sosial rendah (pribumi). Sejak 1983, manajemen bioskop Indra dan bioskop Permata yang terletak di Jalan Sultan Agung beralih ke NV. PERFEBI, singkatan dari Peredaran Film dan Eksploitasi Bioskop Indonesia, yang menguasai lima belas bioskop yang tersebar di Yogyakarta, Banjar, Purbalingga, Wonosobo, Temanggung, dan beberapa kota lain di Jawa Tengah (Wilda, 2010).

Saya rutin mengunjungi bioskop Indra hingga rencana penutupannya berhembus kencang di pertengahan September 2010. Terletak berdampingan dengan restoran Cirebon yang menjadi klangenan warga Yogyakarta, lobi bioskop Indra ini memberi kesan yang tak beda dengan interior terminal. Ada penjual makanan, deretan kursi, ubin bercorak kekuning-kuningan, dan tujuh mesin video game yang tampak tak terjamah dalam waktu lama. Atas keterangan Pak Yadi, pengurus Indra, mesin itu dimatikan karena selain tak ada penonton, mesin itu juga hanya bisa dihidupkan dengan menggunakan koin seratus perak lama yang sudah raib dari peredaran. Mesin video game itu sudah mati sejak tahun 2006 (Mubarak, 2010). Bioskop Indra mencapai masa kejayaannya di era antara 1975-1980, sedangkan gedung bioskop Mascot sudah lama difungsikan menjadi gudang. “James Bond semasa Sean Connery selalu tayang pertama kali di Yogyakarta di bioskop ini,” Pak Yadi mengenang,

Bioskop ini dulu selalu ramai, paling ramai adalah ketika film-film seperti Cintaku Di Kampus Biru, Si Buta dari Gua Hantu, dan Ratapan Anak Tiri dirilis. Bioskop sampai kerepotan diserbu penonton. Tapi itu dulu. Sekarang Bioskop Indra sudah menjadi bioskop kelas sekian dengan film-film kelas sekian. AC-nya sudah dijual untuk menggaji karyawan, Mas. Meskipun penonton sepi, kami selalu menggaji karyawan sesuai UMR, kalo hari besar yo dapat tunjangan.

Nasib bioskop Indra berada dalam pertaruhan ketika Sultan Hamengkubuwono X mengusulkan untuk membuat kantung-kantung parkir baru guna mengatasi kemacetan di daerah Malioboro, seperti diberitakan oleh harian Kedaulatan Rakyat(15 September 2010). Pertanyaan seputar nasib bioskop itu terjawab melalui pemberitaan harian Kompas edisi Yogyakarta (22 September 2010) yang memuat berita dengan judul “Lahan Parkir: 18 Miliar Pembebasan Lahan Bioskop Indra.” Jumlah tersebut diajukan melalui perubahan APBD DIY sebagai pesangon warga yang menempati lahan tersebut.[xvi]

Kesimpulan

Seperti yang dipaparkan pada awal tulisan ini, salah satu fokus perhatian dalam penelitian dan teori mengenai ruang adalah interaksi antara ruang dan manusia yang menghuni dan memanfaatkannya. Ruang dibentuk, dibangun, dan dimodifikasi oleh manusia, namun sekaligus juga membatasi dan mengarahkan aktifitas manusia. Apabila dikaji dengan fokus pada perkembangan historisnya, tampak dengan jelas betapa interaksi tersebut terus-menerus bertransformasi dan membawa perubahan, baik pada ruang itu sendiri, maupun pada aktifitas dan pengalaman manusia.

Bioskop sebagai salah satu bentuk ruang publik khas budaya urban mengalami perkembangan menarik yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah kota dan negara, serta dari dinamika global. Dalam konteks Asia Tenggara, bioskop hadir sebagai warisan kolonial, dengan warna yang beragam, tergantung pada sejarah kolonialisme di masing-masing negara (yaitu, pengaruh jajahan Belanda, Amerika Serikat, Spanyol, dan Inggris). Bentuk dan tata ruang bioskop serta aktivitas manusia di dalamnya kemudian berkembang dengan berbagai variasi, berkaitan antara lain dengan perbedaan kelas sosial, dengan perkembangan teknologi, dan dengan budaya hiburan. Sebagai bagian dari dinamika itu pun pada akhirnya banyak gedung bioskop beralih fungsi atau lenyap sama sekali.

Daftar Pustaka

Antariksa (2003) “Ke Bioskop: Yogyakarta, 1916-1960,” Clea, 4, Mei - Juni.

Antariksa (2006) “Diskusi Tigabelasan: Sejarah Bioskop”, Karbon 7, http://karbonjournal.org/karbon/diskusi-tigabelasan-sejarah-bioskop (tanggal akses tidak tertulis, situs web sudah tidak dapat diakses, red.).

Biran, M. Y. (2009) Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu.

Bloomer, K. C. dan C. W. Moore (1977) Body, Memory and Architecture, Connecticut: Yale University Press.

Brinton, C. dan R. W. Winks (1984) A History of Civilization: Prehistory to 1715 (6th ed.), Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall.

Foucault, M. (1980) “The Eye of Power” dalam C. Gordon (ed.) Power/Knowledge: Selected Interviews & other Writings 1972-1977, NewYork: Pantheon, hlm. 146-165.

Giedion, S. (1941) Space, Time, and Architecture,Cambridge, Mass.: Harvard University Press.

Imanjaya, E. (2006) A to Z about Indonesian Film, Bandung: DarMizan.

Khan, M. H. A. (1994) The Malay Cinema (1948-1989): Early History and Development in the Making of a National Cinema, New South Wales: University of New South Wales Press.

Kristanto, J. B. (2005) “Sepuluh Tahun Terakhir Perfilman Indonesia,” Kompas, Sabtu 2 Juli.

Lefebvre, H. (1991) The Production of Space, Oxford: Blackwell.

Madanipour, A. (2003) Public and Private Spaces of the City, New York: Routledge.

Mubarak, M. (2010)  “(Mantan) Bioskop di Jogjakarta”, http://kinokineforum.multiply.com/journal/item/5 (tanggal akses tidak ditulis, situs web sudah tidak dapat diakses, red.)

Pallasmaa, J. (2005) Encounters: Architectural Essays, Helsinki: Rakennustieto.

Schweitzer, A. (1987) The Philosophy of Civilization, Buffalo: Prometheus.

Vitruvius (1960) The Ten Books on Architecture, New York: Dover Publications.

Wilda, A. (2010) “Bioskop Tua di Yogyakarta Tinggal Nama”. https://filmindonesia.or.id/artikel/kajian/bioskop-tua-di-yogyakarta-tinggal-nama (tanggal akses tidak tertulis-red.)

Zevi, B. (1974) Architecture as Space: How to Look at Architecture, New York: Horizon Press.

Catatan Kaki:

[i] Terjemahan ini dan yang selanjutnya oleh penulis.

[ii] Konsep yang dibicarakan di sini merujuk pada istilah  “nation-state,” yaitu suatu istilah politik yang berarti warga negara yang tinggal di suatu negara juga merupakan bangsa yang sama. Jadi suku bangsanya hanya satu. (definisi diambil dari Wikipedia http://id.wikipedia.org/wiki/Nation_state, diakses 21 Juli 2010)

[iii] Disarikan dari berbagai referensi, terutama Brinton (1923).

[iv] Gagasan ini tertuang dalam bukunya De Architectura atau lebih dikenal sebagai The Ten Books on Architecture; berisi prinsip-prinsip arsitektur Romawi sebagai rekomendasi pengarang kepada rajanya, Kaisar Agustus. Buku ini adalah kanon dan menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa arsitektur hingga kini.

[v] Lihat http://www.atos.org/ dan http://theatreorgans.com/

[vi] Kunjungi http://www.babylonberlin.de/

[vii] Catatan editor: Sumber untuk kutipan ini tidak dapat ditemukan, tetapi karena perannya yang penting dalam seluruh argumen tulisan ini, kutipan ini dibiarkan apa adanya.

[viii] Buku tersebut sudah hilang dari peredaran, namun intisarinya dapat diakses melalui situs kantor berita Antara: http://www.antara.co.id/view/?i=1209437258&c=SBH&s=  (situs web sudah tidak dapat diakses, ed.).

[ix] Wawancara dengan Martin Masadao dan Kawayan De Guia di Baguio (15 September 2010).

[x] Transkrip diskusi “Sejarah Bioskop” dalam jurnal Karbon, ed. 7 (2006); juga dipamerkan di “Sejarah Adalah Sekarang” (Jakarta: kineforum, 2008)

[xi] Dikutip dari http://sceptica.multiply.com/journal/item/80/Bioskop_Wijaya_Tinggal_Kenangan (diakses pada tanggal 25 Mei 2010, situs web sudah tidak dapat diakses, ed.).

[xii] http://www.riptanto.com/index.php/category/my-stuff/ (diakses pada tanggal 25 Mei 2010, situs web sudah tidak dapat diakses, ed.).

[xiii]http://koranindonesia.com/2008/01/17/blitz-pp-memboyong-ranjang-ke-depan-layar-bioskop/ (diakses pada tanggal 25 Mei 2010, situs web sudah tidak dapat diakses, ed.).

[xiv] Jaringan bioskop seni, riset dan esai merupakan jaringan bioskop yang berada dibawah kordinasi Pusat Sinematografi Nasional (CNC) yang bertanggung jawab atas peredaran film sebagai produk budaya dan sosial, baik dalam urusan distribusi maupun transfer ilmu pengetahuan yang wajib diselenggarakan oleh bioskop anggota jaringan CDARE.

[xv] Wawancara, 10 Februari 2010, di Jogja Gallery

[xvi] Kisah-kisah kejayaan dua bioskop lainnya yang masih sempat mewarnai kota Yogyakarta di era 2000-an ini, bioskop Mataram (tutup 9 September 2007) dan Permata (tutup 1 Agustus 2010), diulas secara khusus oleh Kabare Jogja edisi November 2007 dan Karbonjournal.org edisi 8 Oktober 2010.