Film hanya akan bermakna jika bertemu dengan penontonnya! Oleh karena itu kesediaan penonton menyaksikan film Indonesia menjadi hal yang sangat penting. Jika ditilik dari jumlah, penonton sinema nasional merangkak naik. Bila pada tahun 2000 pangsa pasar film nasional hanya 7,46 persen, maka pada 2008 mencapai 50 persen (Servia 2007, dikutip dalam Barker 2011).
Tahun 2008-2009 dapat dikatakan sebagai puncak perolehan penonton karena mencapai 30 juta. Dengan jumlah produksi film yang tak terlalu berbeda, ketertarikan penonton memilih film nasional terus menurun sejak 2010 hingga 2013 (Kristanto dan Pasaribu, 2011). Siapakah penonton di tahun-tahun puncak dan mengapa mereka tidak kembali menonton film nasional?
Mari kita perhatikan catatan film-film terlaris dalam sejak 2008-2012 berturut-turut: Laskar Pelangi (Riri Riza), Ketika Cinta Bertasbih (Chaerul Umam), Sang Pencerah (Hanung Bramantyo), Surat Kecil untuk Tuhan (Harris Nizam), Habibie & Ainun (Faozan Rizal), Cinta Brontosaurus (Fajar Nugros). Jika dicermati ada beberapa kecenderungan film terlaris tersebut. Beberapa di antaranya film berbasis novel laris seperti Laskar Pelangi, Ketika Cinta Bertasbih, Surat Kecil untuk Tuhan, Cinta Brontosaurus. Sedangkan kedua film lainnya yaitu Sang Pencerah dan Habibie & Ainun adalah biografi tokoh terkenal yaitu KH. Ahmad Dahlan (pendiri ormas Islam terbesar Muhammadiyah) dan BJ Habibie (mantan Presiden RI).
Popularitas film-film terlaris Indonesia bersandar pada budaya populer lain yaitu novel dan biografi tokoh. Dapat dikatakan penonton datang ke bioskop bukan karena film itu sendiri tetapi buzz berita yang melingkupi judul film tersebut seperti popularitas novel dan tokoh. Maka dapat disimpulkan pecinta film Indonesia sebetulnya belum terbentuk benar. Selera mereka masih belum dapat diidentifikasi dengan tegas.
Penelitian
Tafsiran kondisi penonton berdasarkan film terlaris tersebut sejalan dengan penelitian yang saya lakukan pada 2012. Studi tersebut bertujuan untuk meneliti faktor-faktor yang memengaruhi keputusan konsumen memilih film di bioskop. Penelitian dilakukan di Yogyakarta, seluruh informan dan responden didapatkan di Studio 21 dan Empire XXI di kota tersebut.
Ada dua tahap yang dilakukan dalam penelitian ini. Tahap pertama, peneliti melakukan tiga kali focus group discussion yang melibatkan 20 informan. Berdasarkan hasil analisis kualitatif, ditemukan lima faktor utama yang terdiri dari 18 faktor pendukung yaitu komunikasi pemasaran (iklan dan publisitas), sumber informasi netral (ulasan film dan komunikasi dari mulut ke mulut), karakteristik film (genre, sutradara, remake, asal negara, pemain, karya saduran, rumah produksi), konten (cerita, objectionable content, teknologi), kemudahan (waktu pemutaran dan judul).
Bersandar pada identifikasi faktor tersebut disusun seperangkat kuesioner yang terdiri dari 45 pernyataan. Kuesioner tersebut berisi pernyataan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi/diperhatikan sebelum menentukan film yang akan ditonton di bioskop. Kuesioner disebarkan pada 225 responden. Data kuantitatif diolah dengan menggunakan analisis faktor, hasilnya, ada 9 faktor yang dianggap signifikan secara statistik yaitu: sinopsis dan ulasan film, sutradara dan aktor, genre, film adaptasi, cerita, sumber informasi netral, jadwal pemutaran, efek visual dan objectionable content.
Dari kesembilan hal tersebut, faktor yang menonjol secara statistik adalah cerita film. Kehadiran dunia maya membuat penonton dengan mudah menemukan sinopsis sebelum memutuskan menonton film di bioskop. Maka pilihan produser film mengangkat cerita novel populer ke layar kaca menjadi strategi yang jitu. Film berbasis novel tersebut kemudian laris di bioskop karena penonton tersebut sejatinya adalah pembaca novel.
Selain cerita, hal penting lain adalah popularitas sutradara dan terutama aktor film menjadi penentu pilihan penonton. Karena konsumen film Indonesia sebagian besar adalah remaja maka tak heran jika pengaruh perbicangan sosial secara langsung maupun melalui media sosial juga sangat berperan dalam penentuan film. Faktor lain yang dijadikan patokan produser adalah waktu penayangan film di bioskop. Banyak produser berebut slot ketika musim liburan sekolah dan lebaran tiba, karena pada masa itu banyak penonton datang ke bioskop mengisi liburan.
Dua segmen
Lebih lanjut, dengan metode serupa dan daftar pertanyaan kuesioner yang sama saya tertarik mengetahui pengelompokan segmen penonton film bioskop. Pada tahun 2013, dilakukan serial diskusi sebanyak 3 kali dan kemudian disebarkan kuesioner pada 454 responden. Data kuantitatif diolah dengan menggunakan analisis kluster. Jika dibagi secara keprilakuan, setidaknya ada dua segmen penonton yang berhasil diidentifikasi yaitu: pengunjung bioskop (movie-goers) dan pecinta film (film-lovers). Keduanya tidak memiliki perbedaan signifikan secara usia dan pendidikan: sebagian besar anak muda berusia 18-23 tahun yang sedang kuliah. Sebagian besar dari mereka, 83,43% pergi ke bioskop 1-2 kali dalam sebulan.
Kelompok pertama adalah pengunjung bioskop (movie-goers). Mereka adalah penonton yang mengunjungi bioskop sebagai aktifitas bersenang-senang mengisi waktu luang. Alasan sosial tersebut dapat mudah tergantikan dengan agenda lain seperti olahraga atau makan bersama. Bagi kelompok ini, faktor yang terpenting adalah referensi dari teman. Semakin ramai pemberitaan dan pembicaraan (di pergaulan sehari-hari dan sosial media) tentang suatu film maka semakin besar minat mereka menonton film tersebut. Jika dilihat secara jumlah, maka ada 292 (64,31%) atau sebagian besar responden berada dalam segmen ini.
Kelompok kedua adalah pencinta film (film-lovers). Penonton jenis ini menonton film bioskop untuk mendapatkan pengalaman baru dan nilai moral kehidupan. Mereka seringkali merenungkan isi film, mencatat kata-kata yang bermakna, dan mengkaitkan dengan hidup sehari-harinya. Responden yang berada dalam kategori ini sejumlah 162 (35,68%).
Perbedaan penting antara pengunjung bioskop (movie-goers) dan pecinta film (film-lovers) berkaitan dengan faktor yang mereka perhatikan dalam memilih film. Kluster film-lovers memberikan perhatian yang lebih besar pada sinopsis koran, majalah, ulasan film di website, koran dan majalah, sutradara, adaptasi serial televisi, rumah produksi. Mereka cenderung memilih waktu pemutaran di malam hari libur daripada waktu-waktu lain.
Perilaku kedua segmen ini setelah menonton film juga cukup berbeda. Jika merasa puas dengan film yang ditonton, para pengunjung bioskop (movie-goers) akan membicarakan film tersebut bersama rekan-rekannya sesaat setelah menonton film. Sedangkan pecinta film (film-lovers), jika merasa puas dengan film yang ditontonnya akan bersedia menjadi komunikator film dengan cara menuliskan pendapat mengenai film di blog pribadi, situs jejaring sosial, forum perbincangan di internet dan komunikasi interpersonal.
Labil
Berdasarkan catatan film terlaris dan dua penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa industri film nasional berada dalam pijakan basis penonton yang labil. Orang-orang yang datang ke bioskop sejatinya bukan penonton film yang loyal tetapi pembaca novel, fans tokoh populer atau anggota ormas agama yang bergerak ke gedung bioskop karena konten film dialihkan dari media cetak (novel, buku biografi, selebaran ormas dll) ke layar lebar.
Peningkatan jumlah penonton dalam beberapa tahun lalu belum menyediakan basis penonton film Indonesia yang loyal terhadap film. Kesediaan penonton memilih sinema nasional sangat dipengaruhi oleh keberhasilan novel dan biografi yang diproyeksikan ke layar perak.
Referensi:
Barker, Thomas CA. 2011. A Cultural Economy of The Contemporary Indonesian Film Industry. Tesis Doktoral National University of Singapore. Tidak dipublikasikan.
Kristanto, JB., Pasaribu, Jonathan, Adrian. 2011. Catatan 2011: Menonton Penonton.
Herlina, Dyna. 2012. Identifying Key Factors Affecting Consumer Decision Making Behavior in Cinema Context: A Mix Method Approach, Proceeding International Conference on Contemporary Business and Management – Chulalangkorn Business School.
Herlina, Dyna. 2013. Cinema Audience Segmentation Analysis: A Mix Method Approach. Penelitian Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta, tidak diterbitkan.