Artikel/Kajian Working Girls: Benang Putus Antara Perempuan dan Dunia Kerja

Poster Film Working Girls. Sumber: situs web Kalyana Shira FoundationPenilaian penulis atas Working Girls: 5/10

Seperti yang tersirat dalam judulnya, Working Girls bercerita tentang perempuan dan dunia kerja. Film tersebut merupakan antologi dokumenter kedua yang dirilis Kalyana Shira, setelah Pertaruhan di tahun 2008. Sama seperti Pertaruhan, Working Girls juga merupakan hasil dari Project Change!, program kelas dokumenter yang diprakarsai oleh Kalyana Shira Foundation. Menurut Nia Dinata, produser Working Girls, kelas untuk film tersebut aslinya diikuti 26 sutradara. Melalui sejumlah proses penyaringan, akhirnya terpilihlah lima nama. Mereka adalah Sammaria Simanjuntak, Sally Anom Sari, Yosep Anggi Noen, Daud Sumolang, dan Nazyra C Noer. Working Girls adalah debut mereka menyutradarai film dokumenter, setelah sebelumnya menggarap sejumlah film fiksi.

Menganalisa Working Girls haruslah terlebih dahulu melihat tujuan dari proyek tersebut. Apa yang dianalisa adalah perbedaan dari niat awal dengan hasil akhir. Dari proses tersebut, dapat dipetakan pencapaian Working Girls sebagai sebuah film. Menurut catatan produksinya, serta pernyataan produsernya di sejumlah media, Working Girls ditujukan untuk mengangkat figur-figur perempuan yang bekerja untuk menyiasati kondisi ekonominya. Tujuan tersebut yang kemudian menjadi benang merah keseluruhan film. Sebagai sebuah antologi, konten Working Girls tentunya beragam. Ada tiga cerita di dalamnya, yang dipilih dan direkam dalam medium film oleh kelima sutradara tadi. Masing-masing cerita tentunya punya subyek dan cara penuturannya sendiri.

Perempuan dan Dunia Kerja

Cerita pertama berjudul 5 Menit Lagi Ah.. Ah.. Ah.., yang disutradarai oleh Sammaria Simanjuntak dan Sally Anom Sari. Segmen tersebut bercerita tentang Ayu Riana, bintang cilik mantan pemenang kontes dangdut di salah satu televisi nasional. Penonton diperkenalkan pada subyek melalui sebuah sekuens adegan, yang menceritakan kemenangan Ayu dan kesuksesan finansial yang ia peroleh. Dari serangkaian adegan, yang sepertinya diambil dari rekaman televisi, terlihat bagaimana Ayu naik daun, dapat banyak uang, dan menjadi tumpuan finansial keluarganya. Ada satu sekuens, di mana adegan-adegannya menampilkan Ayu dikelilingi beberapa laki-laki. Terlihat para laki-laki tersebut memberikan uang pada Ayu. Pada titik ini, posisi Ayu sebagai perempuan terjelaskan. Ia adalah seorang perempuan penyanyi dangdut, yang berpotensi dieksploitasi oleh laki-laki di sekitarnya.

Film kemudian meloncat dua tahun ke depan. Terlihat Ayu melanjutkan sekolahnya, sembari menyanyi dari panggung ke panggung, dengan harapan dapat menghidupi keluarganya. Kehidupan Ayu pasca ketenarannya itulah yang menjadi fokus cerita. Kondisi yang Ayu alami adalah suatu kondisi keterjebakan. Dari apa yang digambarkan dalam film, subyek tidak memegang kontrol atas karier finansialnya, sementara siklus industri musik sendiri terus berubah. Susunan gambar yang kedua sutradara sajikan sukses menjelaskan hal tersebut.

Pertama-tama, ada serangkaian adegan dan wawancara sejumlah narasumber, yang menunjukkan dan menjelaskan kalau keluarga Ayu merangkap menjadi pengatur manajemennya. Kemudian, film menyelam lebih dalam, dan menunjukkan adanya tensi antara ibu dan bapak Ayu. Si ibu merasa si bapak hanya menghambur-hamburkan uang, sementara si bapak merasa berhak mendapat kredit atas kesuksesan Ayu. Plot kian kompleks, ketika Tito mulai disorot. Dia punya perhatian khusus pada Ayu. Dia membiayai sekolah dan belanja bulanan Ayu, serta mengurus produksi dan penjualan album musik Ayu. Perhatian Tito menyulut kecurigaan bapak Ayu, yang terekam jelas dalam satu adegan wawancara.

Dalam dua sekuens adegan, Lima Menit Lagi Ah.. Ah.. Ah.. menghubungkan subyeknya dengan lingkungannya. Sekuens pertama adalah ketika Ayu menonton acara dangdut di televisi, di mana ada penyanyi dangdut cilik menyanyikan 5 Menit Lagi, lagu yang kerap Ayu bawakan. Film kemudian menyorot sejumlah penyanyi dangdut cilik menyanyi di atas panggung. Di sekuens lainnya di penghujung film, ada montase yang bolak-balik antara shot wajah Ayu dan seorang penyanyi dangdut dewasa, yang meliuk-liuk nakal di atas panggung, sembari diiringin lagu 5 Menit Lagi. Dari kedua sekuens tersebut, tercipta koneksi antara subyek dan lingkungannya. Ayu merupakan bagian dari sebuah siklus yang berganti nama. Industri dangdutnya sendiri akan terus ada, menyanyikan sejumlah lagu yang terus-menerus didaurulang. Penyanyinya saja yang berbeda.

Kehilangan Fokus

Terlepas dari kelemahan teknis audiovisualnya, Lima Menit Lagi Ah.. Ah.. Ah.. menyajikan sebuah pembahasan yang terfokus. Subyek perempuan di dalamnya secara konsisten dihubungkan dengan konteks pekerjaan yang ia lakoni. Pembahasannya pun terjadi secara menyeluruh, dari level personal hingga sosial. Pembahasan yang terfokus dan menyeluruh itulah yang absen dalam dua cerita lainnya di Working Girls.

Cerita kedua dalam Working Girls, yakni Asal Tak Ada Angin, seperti kehilangan fokus di pertengahan filmnya. Ceritanya sendiri tentang Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya di Bantul, Yogyakarta. Sebenarnya, sutradara Yosep Anggi Noen memulai pembahasannya dimulai dengan cukup informatif. Pertama-tama, penonton dihadapkan pada sejumlah narasumber, yakni ibu-ibu yang sudah berpuluh-puluh tahun terlibat di komunitas ketoprak tobong. Masing-masing narasumber tersebut kemudian diperlihatkan rutinitas sehari-harinya. Ada yang mengurus operasional sehari-hari ketoprak, ada juga yang mencoba menghidupi keluarganya. Sejumlah pengakuan soal kehidupan rumah tangga turut masuk, seperti seorang perempuan yang bercerita tentang suaminya yang berpoligami.

Permasalahannya, Asal Tak Ada Angin kemudian ganti fokus membahas daya hidup kelompok ketoprak itu sendiri. Penonton dihadapkan pada sejumlah fakta, yang semuanya menjelaskan bagaimana kehidupan ketoprak tobong sehari-harinya. Fakta tersebut dimulai dari rata-rata jumlah penonton mereka, cara mereka menyiapkan pertunjukkan, hingga penjelasan perihal pengaruh cuaca pada pekerjaan mereka. Ada satu sekuens yang menunjukkan markas ketoprak tobong banjir ketika sedang hujan deras. Satu adegan wawancara menjelaskan kalau mereka selalu sepi penonton tiap kali hujan. Sejak titik tersebut, pembahasan soal perempuan praktis nihil. Pembahasannya baru sekadar menampilkan adanya sejumlah perempuan dalam ketoprak tobong, namun tidak memperdalamnya lebih lagi.

Kehilangan fokus terjadi juga dalam Ulfie Pulang Kampung, cerita ketiga dalam Working Girls, yang disutradarai oleh Daud Sumolang dan Nazyra C Noer. Sejak awal, penonton diperkenalkan pada Ulfie, seorang transgender pemilik salon, yang punya misi mengangkat wacana soal HIV ke sesama transgender. Cerita bermula di Jakarta, di mana film menjelaskan soal pekerjaan Ulfie di salon, yang sudah bisa menghidupi Ulfie sehari-harinya. Kemudian, cerita pindah ke Aceh, di mana Ulfie mengunjungi ibu, nenek, dan ketiga kakak laki-lakinya. Selama di kampung halamannya, Ulfie turut mengunjungi teman-temannya sesama transgender, sambil berusaha meyakinkan mereka untuk cek darah. Dari situ, Ulfie berharap inisiatifnya bisa membuka keran informasi perihal HIV ke rekan-rekan sejawatnya.

Dalam cerita Ulfie Pulang Kampung, subyek dijelaskan sudah mengatasi kondisi ekonominya. Oleh karena itu, pembahasan kemudian bisa menjelaskan soal aktivismenya di ranah penyadaran soal HIV. Walau beberapa kali diselingi adegan Ulfie reuni dengan keluarganya, pembahasan tersebut secara umum konsisten perihal aktivisme subyeknya. Permasalahannya, ketika ditarik kembali ke niat awal Working Girls, segmen ketiga ini jadi terlihat salah konteks. Tujuan proyek Working Girls adalah mengangkat figur-figur perempuan yang bekerja untuk menyiasati kondisi ekonominya. Namun, subyeknya sendiri diceritakan sudah independen secara finansial. Proses Ulfie untuk mencapai independensi finansial sendiri hanya diceritakan sekilas dalam beberapa adegan. Fokus ceritanya sendiri tidak ada hubungannya tentang itu.

Bergeser dari Niat Awal

Apa yang Working Girls angkat sebenarnya signifikan dalam konteks yang lebih luas. Sebagai sebuah media advokasi, film tersebut mengangkat topik-topik yang selama ini jarang tersentuh oleh media arus utama. Dalam konferensi pers Working Girls pada tanggal 1 Juli 2011 di Metropole XXI, Jakarta, Nia Dinata bercerita tentang suatu kejadian ketika filmnya diputar di Yogyakarta. Sempat terjadi dialog antara pemerintah daerah dengan anggota-anggota ketoprak tobong. Mereka memprotes ketiadaan jadwal pementasan ketoprak tobong di brosur pariwisata Yogyakata, sementara kesenian lokal lainnya tercantum lokasi dan jadwal pementasannya. Kejadian tersebut menunjukkan kalau Working Girls punya potensi sebagai sebuah media advokasi. Isu-isu yang dibahas dalam Working Girls dapat beredar di ranah sosial, di luar filmnya sendiri.

Masalahnya, dalam filmnya sendiri, Working Girls bergeser dari niatan yang mendasarinya. Konsekuensinya, apa yang tampil di layar tidak konsisten dengan tema besarnya, yang seharusnya menjadi benang merah dari segala keberagaman kontennya. Kecuali dalam cerita yang pertama, subyek perempuannya baru sebatas dianggap ada dalam cerita-cerita di Working Girls. Keberadaan perempuan-perempuan tersebut, serta relasi mereka dengan profesinya, hanya dibahas sekilas dan tidak mendalam. Alhasil, ada yang hilang dari niat awal dan produk akhir Working Girls.

Working Girls | 2011 | Durasi: 124 menit | Produksi: Kalyana Shira, Kalyana Shira Foundation | Produser: Nia Dinata | Sutradara dan Penulis: Sammaria Simanjuntak, Sally Anom Sari, Yosep Anggi Noen, Daud Sumolang, Nazyra C Noer