Setelah 3 Hari untuk Selamanya, Adinia Wirasti, atau yang biasa dipanggil Asti, kembali bermain dalam road movie berjudul Laura & Marsha. Pada film yang beredar 30 Mei tersebut, ia berperan sebagai Marsha, seorang penulis buku traveling yang ceria, spontan, dan menyukai kebebasan. Marsha mengadakan perjalanan ke Eropa bersama sahabatnya, Laura, untuk mengenang kepergian ibunya. “Ini hampir seperti 3 Hari untuk Selamanya, cuma Yusuf-nya perempuan.” candanya ketika konferensi pers film tersebut di Lounge Kemang Village XXI, Kemang, pada 23 Mei 2013 lalu. Di sisi lain, hal itu justru menjadi tantangan tersendiri. “Salah satu tantangannya adalah bagaimana saya memerankan Marsha tanpa ada Ambar di situ.”
Meskipun sama-sama road movie, tetapi Asti mendapat pengalaman berbeda dari Laura & Marsha ini. Tidak hanya karena syuting di luar negeri, tetapi proses produksi filmnya pun berbeda. “Sesantai-santainya film 3 Hari untuk Selamanya, effort-nya besar sekali. Sedangkan Laura & Marsha tidak sedetail 3 Hari untuk Selamanya. Belum ada lokasi yang pasti. Semua masih wilayah abu-abu, and I tend to keep it that way. Jadi, kejutannya memang baru terasa pas syuting. Mudah-mudahan itu terlihat di layar.” cerita Asti tentang pengalamannya.
Pada film Laura & Marsha, sutradara Dinna Jasanti menerapkan syuting dengan tidak hanya berdasarkan naskah, tapi juga mengandalkan spontanitas dan menyesuaikan kondisi di sana. Salah satunya pada adegan Laura dan Marsha mencari alamat yang tertera di kartu pos. Asti dan Pia (Prisia Nasution) benar-benar menanyakan alamat tersebut pada orang-orang asing yang mereka temui di jalan. Lalu, bagaimana pengalaman syuting di bawah arahan Dinna, yang baru pertama kali menyutradarai layar lebar? “Tidak apa-apa,sih. Mau pertama kali jadi sutradara atau sudah film yang ke sekian, ini perkara saya mau berperan menjadi Marsha. Pertimbangan saya memilih peran itu selalu dari naskah dan karakter tokohnya. Sutradara juga jadi pertimbangan, tetapi itu nomor sekian.” jelasnya.
Meskipun di beberapa film ia memerankan tokoh yang berdiri sendiri, tetapi sebelum Laura & Marsha, Asti juga pernah bermain dalam beberapa film yang mengandalkan akting dan interaksi kedua pemain utamanya. Seperti di 3 Hari untuk Selamanya bersama Nicholas Saputra atau Jakarta Maghrib bersama Reza Rahadian – yang kemudian mendapatkan penghargaan Pasangan Terbaik pada ajang Indonesian Movie Awards 2012. Apakah ada formula yang sama untuk bermain dalam film-film tersebut, termasuk untuk Laura & Marsha? “Itu tidak disengaja. Tidak ada ritual tertentu (dengan lawan main). Mungkin lebih ke ritual saya mempersiapkan Marsha saja. Jadi, apapun yang terjadi di sana (lokasi syuting), saya berusaha sebisa mungkin bereaksi sebagai Marsha, bukan sebagai Asti. Kalau soal bermain sama Pia, Pia itu terbuka sekali. Dia nggakribet, jadi komunikasi pun enak.” jelasnya.
Asti juga menambahkan, bahwa ketika produksi film, keterbukaan, kerjasama, dan komunikasi antarpribadi dalam tim, sangat mendukung kerjanya selama ini. Termasuk dari dirinya sendiri. “Bisa dibilang, saya sangat beruntung selama ini bisa dapat sutradara, tim produksi, dan pemain yang kooperatif. Namun, saya juga percaya bahwa saya juga harus mau dan bisa diajak bekerjasama dengan mereka. Jadi, yang penting datang dari sayanya. Saya harus bisa kooperatif, saya harus bisa terbuka, saya mengerjakan ini pakai hati, dan saya percaya semuanya juga akan begitu. It’s law of attraction. Pada saat saya bisa begitu, yang lain juga akan mengikuti.” ujar perempuan kelahiran 19 Januari 1986 ini. Begitu juga soal posisinya sebagai aktor dalam keseluruhan tim produksi. “Kadang, ada beberapa adegan yang buat saya tidak meyakinkankalau Marsha bereaksi seperti itu. Namun, pada saat Dinna maunya seperti itu, ya saya harus kerjakan. Aktor itu cuma empty vessel yang harus diisi sama tim produksi, apalagi sutradara.”
Ruang
Dalam film Laura Marsha, ada satu adegan interaksi antara Laura dan Marsha yang intens dengan emosi yang tinggi. Sebagai aktor, selain harus berakting secara total, Asti juga memperhatikan kebutuhan kamera yang merekam gerak dan emosinya. Apalagi pada adegan itu, ada tiga kamera yang mengelilinginya dan Pia. “Itu memang agak susah, sih. Yang penting adalah saya tahu siapa memegang kamera apa dengan ukuran berapa. Misalnya, Bang Oy (Roy Lolang) yang ambil master shot, Pak Filus yang ambil cover shot. Jadi kalau pertama kali take sudah dapat master, berikutnya saya lebih mengutamakan (kebutuhan kamera) Pak Filus. Saling komunikasi saja.” Ia menambahkan, “Yang juga penting adalah mengenal ruang sebesar apa yang harus kita mainkan. Itu juga bagian dari berproses dalam seni peran. Memang kesannya jadi seperti teater. Namun, kalau di teater harus berbahasa tubuh tinggi dan bersuara keras, kalau di film lebih condensed, supaya semua bisa tertangkap kamera. Tidak serta merta hanya bicara, tapi banyak persiapannya.”
Di luar kisah tentang perjalanan Laura & Marsha sebagai sahabat, film ini juga bercerita tentang konflik masing-masing tokoh. Asti sedikit bercerita bagaimana ia berproses mencari dan menemukan Marsha. “Yang penting dari film ini memang Laura dengan anaknya dan Ryan, hatinya dia. Juga Marsha dengan ibunya, lewat cincin yang dipakai, dan dia kehilangan kemampuan yang bisa dia lakukan di bumi sebagai perempuan. Itu agak susah karena dua-duanya belum pernah saya alami. Sempat ada satu hari di rumah, saya breakdown karena memikirkan Marsha. Kalau saya jadi dia, mungkin nggak akan kuat. Jadi, ada kekuatan tertentu yang saya harus cari pada saat saya mau jadi Marsha, dan itu tidak gampang.” Berapa lama proses pencarian itu berlangsung? “Pelan-pelan. Saya ditetapkan sebagai Marsha sejak Desember 2011. Jadi, secara pelan-pelan, sedikit-sedikit, sampai begitu intens, sehingga ketika saya masuk kantor (Inno Maleo Films) untuk reading, pikiran saya sudah jadi Marsha dengan segala bebannya dia.”
Berdasarkan katalog FI, selalu ada jeda dari tahun rilis satu film Asti ke filmnya yang lain. Apakah hal ini secara sadar dilakukan? “Agak tricky kalau melihatnya dari situ, karena waktu syuting dan waktu beredar kan bisa berbeda jauh. Namun, kalau ditanya apakah saya membatasi, mungkin iya. Saya agak membatasi, satu tahun satu film. Dan terbukti pada tahun lalu ketika saya tanda tangan kontrak untuk tiga film, ternyata dua film batal. Bukan karena saya mengundurkan diri, tapi produksinya yang batal. Nggak tahu, ya. Mungkin belum dikasih sama semesta, berapa peran yang harus saya mainkan dalam satu tahun.” ujarnya sambil tertawa. Ia melanjutkan, “Mungkin secara bawah sadar karena saya belum bisa, belum capable, karena begitu back to back, saya cenderung kesusahan, ya. Sekarang saja, secara tidak sadar, peran-peran saya masih dibilang sama. Apalagi kalau saya main di beberapa film dalam setahun? Masih banyak yang harus saya pelajari sebagai aktor. Saya tidak mau neko-neko juga, karena saya tidak mau arogan.”
Pada tahun 2007, Asti pernah mengikuti sekolah formal untuk penulisan skenario di New York Film Academy, LA, selama setahun. Namun, Asti juga punya keinginan untuk belajar akting lagi. “Mau sih, ikut semacam kursus teater.Buat saya, pada akhirnya, seni peran adalah membuka wawasan lebih luas dan membuka awareness sedemikian peka untuk mau dan bisa menyikapi karakter lain.” Ketika ditanya peran lain apa yang ingin ia mainkan, ia menjawab, “Saya tidak punya hal-hal seperti itu. Ya yang saya suka, yang membuat hati bicara, saya mainkan.” ujarnya.