Setelah Surat Kecil untuk Tuhan (SKUT), satu kisah karya Agnes Davonar diangkat ke layar lebar lagi. Ayah, Mengapa Aku Berbeda? (AMAB?) mengusung kisah yang serupa dengan cerita Agnes Davonar lainnya dan mendapat respon yang sama pula: kisah sedih dan mengharukan. Hal ini diakui Agnes memang menjadi kecenderungan karya-karyanya. "Ya. Saya selalu melihat segala sesuatu yang pahit bisa mengajarkan kita tentang hal-hal manis. Bukan berarti kisah menyedihkan itu bukanlah hal indah. Kisah sedih adalah contoh terbaik yang mengajarkan kita akan bagaimana hidup itu semestinya." jelasnya. Ia memilih menuliskan kisah seperti ini karena pengalaman hidupnya. "Saya merasa kisah-kisah seperti ini lebih berarti dibanding cinta bahagia tapi hampa ketika dibaca atau ditonton."
AMAB? sudah ditulis tahun 2010 dan awalnya merupakan cerita online di Kompasiana dan situs web www.agnesdavonar.net. Baru kemudian disponsori untuk dibuat kumpulan cerpennya. Cerita ini lalu sempat dibeli oleh Maxima Pictures, tetapi tidak ada kesepakatan. Rapi Films kemudian menawar dan akhirnya bekerja sama membuat film ini. Namun, ia tidak menyerahkan naskah begitu saja tetapi juga terlibat di dalam pembuatannya. "Saya selalu bertanggung jawab pada setiap film yang dibuat. Saya terlibat dalam promosi, naskah, dan pemilihan pemain. Cerita ini juga tidak berbeda jauh dari novel sehingga saya tidak memiliki masalah apapun dan saya puas dengan hasilnya. Namun saya mengerti novel dan film berbeda. Jadi, saya percaya produser dan sutradara pasti mempunyai alasan tertentu bila diubah ceritanya." ujarnya.
Dilihat dari pembaca SKUT yang berjumlah 450.000 orang (dari blog maupun penjualan buku), jumlah penonton SKUT yang mencapai 748.842 penonton, dan pembaca AMAB? di blog yang mencapai satu juta (dari basis web sponsor yang memiliki 1,7 juta pembaca online), maka kisah yang dibuat Agnes Davonar bisa disebut laku di pasaran. Menurutnya, ada kecenderungan orang Indonesia memang menyukai kisah-kisah seperti ini. "Saya merasa masyarakat kita adalah masyarakat sensitif dan peduli terhadap sesuatu yang bernilai. Kita lihat kasus TKW yang dipancung di Arab dan bagaimana masyarakat berbondong-bondong ikut membantu. Saya merasa kurang lebih itulah kehidupan masyarakat kita sesungguhnya. Saya tetap konsisten dengan tema sosial dan kasih sayang. Jarang sekali menulis cerita cinta yang indah. Kalau disuruh membuat cerita indah, itu bukan saya banget. Kalaupun tidak kisah cinta, saya bikin cerita komedi seperti My Blackberry Girlfriends tapi cerita akhirnya juga sedih. Ternyata banyak juga yang baca."
Agnes bercerita tentang awal kisahnya masuk ke dunia film. Semua berawal dari cerita My Blackberry Girlfriends yang sempat banyak dibicarakan di dunia online. Lalu, banyak rumah produksi yang hendak membeli hak cipta cerita tersebut untuk difilmkan. "Mereka yang tidak mendapatkan hak cipta malah mengambil novel-novel lain saya, seperti Gaby dan Lagunya, kemudian Surat Kecil untuk Tuhan yang kemudian menjadi film terlaris tahun ini. Akhirnya mulai banyak rumah produksi yang membeli hak cipta novel-novel saya yang bahkan belum saya rilis pun sudah dipesan." ujarnya.
Ia tetap memiliki pertimbangan tertentu dalam menentukan rumah produksi yang diajak kerja sama. "Saya merasa mereka yang mengambil novel saya harus memiliki komitmen bukan hanya mengejar materi semata tapi sumbangsih bagi orang yang menonton. Intinya saya berkerja sama dengan rumah produksi yang mau melibatkan saya untuk bertanggung jawab terhadap film tersebut, baik pemilihan pemain, promosi, maupun skenario."
Blogger
Agnes Davonar sendiri sebenarnya adalah nama yang dibuat oleh kakak tertua Agnes dan Teddy yang terinspirasi oleh Agnes Monica, idolanya sejak kecil. Ketika kakaknya pindah ke Amerika, Agnes dan adiknya, Teddy, kemudian melanjutkan blognya sampai menjadi seperti saat ini. "Banyak yang menyebut kami novelis tapi kami lebih cocok disebut blogger karena kami memang memulai semua sejarah kami dari blog. Kalau dibilang penulis online, itu lebih baik."
Ini berarti ada dua orang di balik penulisan karya-karya atas nama Agnes Davonar. Biasanya setiap ide mereka kerjakan masing-masing dalam bentuk cerita pendek. Namun, ketika mulai banyak dibaca dan ada peluang untuk dibukukan, mereka saling berdiskusi untuk membuat cerita itu ke bentuk novel.
Agnes sendiri bercerita bahwa ia tidak memiliki latar belakang sastra sama sekali, "Nilai Bahasa Indonesia saya selalu merah dan nyaris tidak lulus SMA karena begitu bencinya saya terhadap pelajaran ini. Ketika saya lulus sekolah dan menganggur, oleh mantan kekasih saya disarankan menggunakan waktu untuk hal berguna. Saya pikir tidak ada salahnya menulis." ujarnya.
Ia kemudian mulai menulis di buletin Friendster. Ceritanya banyak disebarkan, sampai kemudian mendapatkan banyak penghargaan blogger: Penulis Terbaik Pesta Blogger 2009, The Most Influential Blogger 2010, Finalis Microsoft Bloggership 2010, dan terpilih menjadi blogger terbaik Asia Pasifik 2010. "Saya kemudian merilis buku dan ternyata sukses di pasaran. Buku saya juga dijual di Taiwan dan beberapa negara Asia dan mencetak best-seller. Adik saya mengambil Sastra Jepang di Universitas Bina Nusantara tapi kemudian mengambil Hukum di Universitas Tarumanegara. Jadi, bisa dikatakan kami hanya beruntung memanfaatkan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah kami pikirkan menjadi tulang punggung perekonomian keluarga kami: blog." ceritanya.
Ada beberapa referensi tertentu yang kemudian dituangkan Agnes pada karya-karyanya. "Saya menyukai film fiksi tapi tidak suka membaca novel. Saya melihat film Titanic sebagai salah satu referensi hidup saya dan sampai detik ini, cinta tak sampai menjadi tema novel saya. Saya juga menyukai drama Jepang yang sensitif terhadap kehidupan sosial. Bisa jadi dua gambaran itu banyak menjadi cermin karya-karya saya." tambahnya lagi.
Saat ini, Agnes Davonar masih fokus pada novel yang akan dirilis setiap tiga bulan sekali. Sedangkan ada beberapa film yang masih menunggu tanggal rilis seperti, My Blackberry Girlfriends yang direncanakan rilis Desember tahun ini dan My Idiot Brother, My Last Love, dan Sahabat yang akan rilis 2012, serta satu proyek bersama Rapi Films yang belum bisa ia ceritakan.