Setelah sebelumnya lebih banyak berkiprah sebagai produser lini dan manajer produksi dalam beberapa film, Asad Amar kali ini menjajal kursi sutradara sekaligus produser untuk film Sang Pialang. Padahal, pada awalnya ia tidak terpikir untuk mengerjakan dua tugas tersebut. “Sempat kesulitan mau menunjuk siapa untuk jadi sutradara dan produser film ini. Namun, teman-teman banyak yang bilang, saya saja yang menyutradarai karena menurut mereka saya sudah bisa. Untuk produser juga begitu. Jadi, sekalian saja.” ujarnya ketika ditemui pada konferensi pers Sang Pialang di Epicentrum Walk, Kuningan (15/1).
Pria kelahiran 24 April ini mengakui bahwa referensi cerita Sang Pialang, yang menggambarkan dunia para pialang, sudah ia kumpulkan sejak tahun 2004. Referensi tersebut muncul dari teman-temannya, yang bekerja di dalam industri saham. Salah satunya adalah Saidu Solihin, yang menjadi Produser Eksekutif film ini. “Saya mau mewujudkan impian lama teman-teman, yakni membuat film bertema ini.” Asad juga bercerita bahwa film ini terinspirasi dari film bergaya Wall Street. “Di Amerika, jenis film seperti ini sudah ada. Sampai bisa disebut Wall Street kind of movie. Di Hongkong sudah ada, di Korea juga, di indonesia belum ada. Kenapa bukan saya yang bikin pertama? Saya buat yang rasa Indonesia asli.” ujarnya sambil tertawa. Ia juga menambahkan bahwa tidak hanya film Wall Street yang menjadi referensi pembuatan filmnya, tetapi juga film-film sejenis seperti Margin Call, Too Big to Fail, dan lain-lain.
Ternyata, Asad juga pernah bekerja di pasar modal, tetapi hanya bertahan selama empat bulan. “Namun, justru itu yang bikin saya punya bahan, soal trading dan sebagainya. Saya punya pengetahuan, di samping hampir setahun saya nongkrong sama Saidu dan teman-teman lainnya. Setiap hari yang saya dengar adalah soal saham dan seputar itu. Semua jadi bahan untuk saya dan Titien, sehingga waktu riset itu tidak dimulai dari nol.” jelasnya. Ia sendiri sempat menempuh jenjang kuliah S1 dan S2 di Universitas Trisakti, bidang Ekonomi jurusan Manajemen Marketing, sebelum akhirnya bekerja di bidang broadcast dan kemudian film.
Untuk kebutuhan film, Asad juga mengajak para pemainnya untuk mengakrabkan diri dengan industri saham dan dunia para pialang pasar modal. Ia mengajak mereka bertemu dengan tokoh-tokoh pasar modal dan juga keliling dari satu sekuritas ke sekuritas lainnya. Beberapa pemeran bahkan mencoba melakukan trading sendiri. “Tema film ini kan tidak seperti tema-tema yang biasa diangkat. Saya juga mau pemain-pemain itu sudah luwes di depan kamera. Saya percaya bahwa film itu 100% arsitektur. Semua dibikin di atas meja, di pre-production. Jadi, di lokasi syuting ya tinggal syuting saja. Improvisasi tidak terlalu banyak.” ujarnya. Pilihan tersebut ia ambil karena lebih aman baginya, yang baru pertama kali menyutradarai.
Menurut Asad, ia lebih banyak menemukan kesulitan ketika membuat cerita di awal dibandingkan ketika syuting. Bahkan ia mengakui bahwa proses paling lama adalah di tahap penulisan skenario. “Tidak mudah membuat cerita baru, konflik, dan drama di sektor keuangan.” ujarnya. Namun, ia juga menemukan kesulitan seputar teknis, yakni ketika menyiapkan grafik-grafik saham yang harus muncul di layar sebagai pendukung cerita. Ia mengatakan bahwa ada tim IT tersendiri yang menyesuaikan wujud grafik tersebut sesuai kepentingan cerita, menggunakan software yang memang digunakan para pialang untuk membaca naik turun saham dan sebagainya. “Kami buat angka saham pura-pura, tapi benar-benar disimulasikan.” Walaupun begitu, ia merasa sangat beruntung karena mendapat bantuan dari banyak pihak. “Budget film ini sekitar 4 miliyar. Namun, kalau dilihat nilai produksi filmnya, itu bisa lebih dari 4 M. Untungnya, banyak yang membantu film ini.”
Tanpa latar belakang sekolah film, Asad justru banyak belajar film dari pengalaman produksi bersama kenalannya. “Saya setiap berteman sama siapapun, ilmunya menempel ke saya. Saya main sama Rudi Soedjarwo, sama Monty Tiwa, sama Pak Zairin Zain, saya seperti sekolah film.” Ia sendiri mulai terjun ke dunia film pada 2006 dan banyak bekerja dengan Monty Tiwa, yang adalah teman dekatnya. “Waktu Monty sudah pindah ke film, akhirnya saya juga ikutan karena merasa sudah waktunya pindah dari televisi.” Baru kemudian dua tahun terakhir, untuk kebutuhan membuat film Sang Pialang, ia dan Saidu membuat rumah produksi yang dinamakan Garuda Nusantara Sinema. Namanya diambil dari perusahaan sekuritas Saidu bernama Garuda Nusantara Capital.
Ke depannya, ia akan membuat film berlatar belakang ekonomi lagi. Ia merasa bahwa tema tersebut adalah satu tema yang tidak banyak dikuasai, sehingga ia harus bisa mewakili dengan membuat lagi film-film bertema serupa. Juga untuk mengisi ragam tema dalam film-film Indonesia. Ia memiliki rencana, film selanjutnya akan berjenis drama kejahatan cyber. “Ya, belum tahu lah. Cuma, saya ingin filmnya tetap punya nilai keterbaruan seperti Sang Pialang ini.”