Optatissimusmenandai pertama kalinya kemunculan nama Dirmawan Hatta sebagai sutradara layar lebar. Sebelumnya, alumni Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada ini lebih dikenal sebagai penulis naskah. Dua kali namanya diunggulkan sebagai senulis skenario terbaik di Festival Film Indonesia: 2008 untuk May dan 2011 dan The Mirror Never Lies. Dua film lain yang turut menjadi buah karyanya: King (2008)dan Keumala (2009).
Dalam Optatissimus, Mas Hatta, begitu ia akrab dipanggil, juga menulis naskahnya sendiri. Film ini bercerita tentang pengalaman spiritual Alex Tanuseputra, pendeta ternama dan pendiri Gereja Bethany Indonesia, gereja dengan umat terbanyak kedua di Indonesia. Pada tahun 1963, tak lama setelah menikahi Yenny Oentari, Alex mengalami cobaan berat. Ia menabrak orang hingga luka parah: limpanya pecah, paru-parunya bocor. Dokter memvonis korban tinggal menunggu ajal, dan menyarankan Alex segera lari untuk menyelamatkan diri dari ancaman keluarga korban. Alex menolak. Ia memilih untuk pergi ke sebuah gereja kecil dan berdoa memohon pertolongan.
“Secara pribadi, saya merasa pengalaman beliau harus diceritakan. Cerita beliau menyapa sesuatu dalam diri saya. Apalagi, belakangan ini, kita banyak mendengar berita kekerasan atas nama agama. Saya merasa saya harus ikut bicara,” tutur Mas Hatta, “Saya membuat Optatissimus karena tema hubungan manusia dengan Tuhan selalu menarik bagi saya. Selain itu, cerita ini memberi keleluasaan sekaligus tantangan bagi saya. Maksudnya, tidak ada keharusan saya harus bercerita dengan adegan seperti ini atau seperti itu. Saya terlibat dengan tema itu, dan saya punya kebebasan untuk menerjemahkannya dengan cara saya sendiri.”
Peristiwa yang dialami Alex lima puluh tahun lalu menjadi ilham Optatissimus. Mas Hatta memilih untuk tidak menyusun filmnya sebagai kisah biografis. Konteks historis diminimalisir sedemikian rupa dalam isi film. Terlihat dari pemilihan kedua nama tokoh utama: Andreas (diperankan Rio Dewanto) dan Yunita (Nadhira Suryadi), bukan Alex dan Yenny sebagaimana aslinya. Optatissimus murni menjadi tafsir Mas Hatta akan pengalaman spiritual Alex, dan film hanya berkutat di satu peristiwa itu sepanjang durasi 108 menit. Pergumulan batin ini ditunjukkan lewat adegan-adegan setengah-nyata-setengah-fana dalam garis cerita yang non-linear.
“Saya memilih cara bercerita seperti itu karena begitu itu saya melihat pengalaman spiritual. Saya malah tidak bisa membayangkan cerita ini disampaikan secara linear. Satu, sebagai tontonan akan sangat membosankan. Dua, bakal jadi seperti tutorial, panduan ibadah, mimbar agama Kristen. Saya tidak mau begitu,” jelas Mas Hatta, “Pengalaman spiritual itu punya sensualitas sendiri. Saya membayangkannya seperti musings: renungan yang berputar-putar, berbentuk fragmen-fragmen, dan punya logikanya sendiri.”
Berpikir ulang
Syuting Optatissimus berlangsung selama 18 hari, bertempat di Malang dan Batu. Laki-laki kelahiran 19 Januari 1975 ini mengakui perannya sebagai sutradara kali ini mendorongnya untuk berpikir ulang perihal penuturan film. “Selama ini saya lebih banyak menulis naskah, lebih terbiasa menuliskan adegan dengan kata-kata. Ketika berada di balik kamera, saya seperti ditantang untuk tidak banyak berkata-kata. Dalam Optatissimus, ada kan beberapa adegan di telaga. Di atas kertas, saya bisa menulis macam-macam. Di lapangan, wah kok malah beda seperti yang dibayangkan. Saya harus berpikir lagi untuk mencari bentuknya: bagaimana caranya tokoh-tokoh ini, cerita ini, bisa terbangun secara visual.”
Optatissimus sendiri aslinya berjudul Laki-laki yang Memainkan Akordeon. “Itu working title yang saya pakai, dari naskah draft pertama sampai kedua. Karena kepanjangan, teman-teman sering bilangnya Akordeon saja,” cerita Mas Hatta sambil tertawa, “Akhirnya memakai judul Optatissimus, karena dalam perkembangannya saya melihat doa pertama sebagai elemen yang lebih kuat ketimbang akordeon. Doa pertama itu yang menjadi esensi si protagonis.”
Mas Hatta sendiri tidak menutup diri terhadap improvisasi. “Saya sebagai filmmaker memang bekerja dengan desain, tapi tidak bisa sepenuhnya begitu. Kalau di tengah-tengah jalan, ada hal lain yang muncul dan membangun filmnya, kenapa tidak? Pas syuting juga begitu. Ada beberapa adegan yang tata visualnya baru terpikirkan di lapangan.Hasil akhir Optatissimus kira-kira 65-70% dari naskah. Isi cerita tidak ada yang berubah, penuturannya saja.”
Pihak gereja turut terlibat dalam produksi Optatissimus, danAlex Tanuseputra sendiri sudah menonton hasil akhir filmnya.“Beliau nonton waktu pemutaran perdana di Surabaya. Saya deg-degan, beliau bakal suka atau tidak. Pemutaran selesai, saya hampiri dia, tanya-tanya. Beliau bilang suka dan tidak ada komplain sama sekali,” cerita Mas Hatta, “Dan ini menarik. Ini kisah hidup dia yang saya ambil, yang kemudian saya tampilkan dengan kemasan kontemporer. Saya tidak membayangkan film ini ditonton kakek-kakek, katakanlah begitu. Tadinya saya sempat berpikir, apa saya terlalu berani ya bikin filmnya jadi kaya begini? Pas Pak Alex berkomentar begitu, saya malah merasa film ini jadinya kurang berani.”
Optatissimus bukanlah satu-satunya kesempatan Mas Hatta menjelajahi tema hubungan manusia dengan Tuhan. Tema serupa dikunjungi dalam Toilet Blues dan Perkara Anjing, dua proyek film Mas Hatta lainnya. “Toilet Blues itu ceritanya tentang siswa seminari dan siswi yang tinggal di asrama sekolah putri. Bayangannya beginilah, di Jogja kan ada Stella Duce sama De Britto tuh. Ada saja kan yang bandel. Kadang siswi dari Stella Duce suka pacaran sama siswa dari De Britto. Semacam itu nanti filmnya. Dua orang ini minggat dari sekolahnya, jalan-jalan, dan mempertanyakan banyak hal.”
Perkara Anjing masih dalam tahap pengembangan, sementara Toilet Blues sudah selesai dan siap beredar. “Toilet Blues seharusnya jadi film panjang pertama saya, tapi karena satu dan lain hal Optatissimus yang beredar duluan. Filmmaker negara dunia ketiga, beginilah nasibnya,” ujar Mas Hatta sambil tertawa, “Semoga Desember nanti Toilet Blues bisa masuk bioskop.”