Akting bukanlah suatu yang asing dan bahkan sudah mendarah daging di Keluarga Irawan. Termasuk bagi Dewi Irawan. Aktris kelahiran 13 Juni 1963 ini sudah akrab dengan dunia film sejak ia lahir. Ayahnya, Bambang Irawan, mendirikan rumah produksi Agora di tahun yang sama dengan tahun kelahirannya. Tak heran, jika logo rumah produksi tersebut bergambar patung Dewi Saraswati, yang juga menjadi namanya. “Waktu itu, rumah kami pun bisa jadi set produksi. Saya masih ingat waktu kecil, Ibu saya sudah pakai pakaian dokter dan siap syuting. Tiba-tiba saja, saya juga ikut didandani, dipakaikan baju seperti pasien, yang kemudian saya menangis karena ceritanya mau disuntik.” ujarnya sambil tertawa, mengenang bagaimana dulu kesehariannya selalu bersentuhan dengan dunia film. Ia menambahkan, “Sudah biasa seperti itu. Ayah saya itu seperti petani yang ladangnya adalah ladang perfilman. Jadinya, saya ikut mencangkul di ladang itu juga.”
Tidak hanya itu, ia dan adiknya, Ria Irawan, seringkali bertukar tawaran peran. Salah satunya, untuk peran Ibu di film 9 Summers 10 Autumns. “Mungkin karena setelah Sang Penari kemarin, aku menang di FFI, FFB, dan IMA juga. Jadi, yang lain pada minta aku saja yang jadi Ibunya. Aku juga bilang, pokoknya kalau bukan aku, ya Ria. Kebalikan waktu dulu Sang Penari yang sebenarnya perannya buat Ria, tapi dikasih ke aku. Pokoknya peran-peran itu nggak boleh ‘keluar’ dari Irawan, deh. Kalau bukan saya, ya Ria.” ujarnya lagi diikuti tawa.
Menjadi Penata Peran
Di film yang sama, Dewi Irawan tidak hanya berakting seperti biasanya, tetapi ia juga menentukan siapa yang harus berakting sebagai siapa dan bagaimana. Berawal dari kegelisahannya melihat pemilihan aktor yang cenderung tidak mempertimbangkan penampilan fisik untuk menjaga logika penokohan dalam film, ia kemudian menawarkan diri untuk menjadi Penata Peran atau Casting Director dalam film tersebut. “Misalnya begini, tokoh Ayahnya diperankan Alex Komang, tokoh Ibunya diperankan saya, masa tiba-tiba anaknya agak kebule-bulean? Itu cukup banyak terjadi di pemilihan aktor belakangan ini. Makanya, saya langsung ‘gatal’ mau jadi Penata Peran. Kemudian, saya dan Mas Ifa [Isfansyah] saling menyesuaikan persepsi.” ujarnya pada saat konferensi pers film ini di Kemang Village, 18 April 2013 lalu.
Ia juga bercerita bagaimana ia memperjuangkan Ihsan Tarore untuk berperan sebagai Iwan dalam film ini. Salah satunya dengan pertimbangan kebutuhan fisik tokoh yang digambarkan di skenario. “Dialog film ini ada yang menyatakan, “Itu lho, Iwan yang kecil itu.” dan ada juga dialog Iwan bilang sama temannya, “Kamu nggak malu jalan sama aku?” Jadi, kami memilih aktor yang secara fisik juga sesuai dengan naskahnya. Kalau anak supir angkutan umumnya keren, mana ada yang malu jalan sama dia?” ujarnya tentang pertimbangan-pertimbangan yang ia gunakan dalam memilih aktor. Meskipun waktu casting, ia dan timnya sempat mencari dua kategori Iwan, yang pendek dan yang tinggi.
Dewi juga menambahkan bahwa ia tidak terlalu percaya dengan hasil casting. Baginya, pendalaman akting masih bisa dilakukan pada saat reading dan latihan akting. “Untuk film ini, saya ingin mukanya segaris, baru kemudian aktingnya diasah. Untuk Iwan kecil maupun kakak-kakaknya waktu kecil, kami melakukan casting di Malang dan di Batu, dan ada 400-500 pendaftar. Tadinya sempat casting di Jakarta, tapi yang datang itu anak-anak yang sering main untuk stripping dan cara berbicaranya pun berbeda dengan yang kami butuhkan.”
Selain itu, ia juga mempertimbangkan soal bagaimana aktor-aktor yang ia pilih, bisa mencuri perhatian penonton walaupun tokohnya hanya muncul sebentar dalam film. Termasuk melibatkan adik dan ibunya sendiri. “Saya pilih Ence Bagus, Epi Kusnandar, yang walau mereka muncul sedikit-sedikit, tapi orang akan ingat. Begitu juga dengan Ria, saya minta dia untuk membantu. Lagi pula, syuting adegan dia pun hanya satu hari. Sedangkan peran Ibu, memang sudah saya ajak dari awal dan syuting di Malang.”
Tidak berhenti sebagai casting director, kemampuan beraktingnya membuat ia secara tidak langsung juga terlibat sebagai pelatih akting, khususnya untuk Ihsan. “Ya saya kadang-kadang suka mengingatkan, jadi tim bisik-bisik juga, biar aktingnya bisa terus stabil. Kalau baca novelnya, Iwan itu memang agak feminim dan tidak macho. Makanya, di film ini kan dia membuktikan bahwa caranya menjadi laki-laki ya dengan caranya dia itu. Konflik itu yang saya coba pertahankan untuk tokoh Iwan dalam film ini.” tambahnya lagi.
Untuk produksi film selanjutnya, ia mengaku bahwa ia tidak akan lagi menjabat dua profesi sekaligus. “Kalau saya jadi Penata Peranlagi, saya main jadi cameo saja, deh. Soalnya kalau seperti ini, walaupun bagian peran saya sudah selesai, tapi saya tetap harus selalu ada dan datang ke setiap syuting. Di situ baru terasa beratnya, walau aku tetap senang dengan pekerjaan ini. ”
Dulu dan Sekarang
Setelah lulus menjadi sarjana dari Fakultas Ekonomi, Dewi kemudian ikut suami ke Italia. Pada Juli 2004, ia kembali ke Indonesia karena suaminya lebih banyak bertugas di wilayah Asia. Atas izin suami dan mendapat informasi tawaran casting dari adiknya, akhirnya ia kembali berakting, baik untuk layar lebar maupun sitkom di televisi. Setelah kembali ikut produksi film di Indonesia, apa saja perbedaan-perbedaan yang ia temui dalam produksi?
“Sekarang macam-macam, ya. Kalau mau jadi pembuat film, bisa dari segala lapisan. Namun, kalau pemainyang sekarang, jadwalnya suka lebih ‘sakti’ daripada line producer atau sutradaranya. Kadang-kadang untuk syuting, dia cuma bisa menyediakan waktu tiga sampai empat jam. Lalu, lawan mainnya juga begitu. Nah, kapan ketemunya? Pas ketemu, baru tahu siapa lawan main kita. Makanya, kalau ceritanya jadi satu keluarga, ya mukanya bisa jadi nggak segaris.” ceritanya. Bagi Dewi, menjadi aktor haruslah berkomitmen, salah satunya disiplin dengan jadwal yang sudah ditentukan. Ia juga sedikit berkomentar soal pemain-pemain film yang sering menyebut bahwa mereka bermain film karena iseng saja. “Kadang-kadang saya pengen bilang, “Duh, itu periuk nasi gue, tuh. Jangan dijadikan petualangan saja, dong. Harus berkomitmen.”
Ia pun juga bercerita tentang bagaimana dulu keterlibatan aktor di layar lebar dibatasi, sehingga lebih bisa berkomitmen dalam tiap produksi. “Dulu kan belum banyak serial atau film TV. Kalaupun ada, baru ada fragmen Losmen. Jadi, pemeranan layar lebar pun dibatasi. Tidak boleh merangkap, yang satu sedang syuting, lalu sudah syuting yang lain lagi. Kalau salah satunya sudah masuk proses dubbing, baru dia boleh syuting lagi.”
Walaupun dibatasi, biasanya saat pembuatan naskah, pembuat film sudah membayangkan siapa yang akan memerankan tokoh dalam filmnya. Termasuk untuk Dewi saat bermain di film Guruku Cantik Sekali. “Dulu waktu di Guruku Cantik Sekali, Tante Ida Farida sempat bilang, kalau saat dia menulis naskah film itu, dia sudah ada bayangan kalau cuma saya yang bisa berperan sebagai tokoh itu dalam filmnya. Jadi, sutradara sudah ada bayangan yang main siapa. Buat kami pun jadi lebih enak karena sudah dijanjikan pekerjaan.“ Namun, kebanjiran tawaran yang cenderung sama setelah sukses bermain dalam satu film pun juga ia alami. “Saya dulu memang tidak terlalu terkenal. Setelah sukses di Guruku Cantik Sekali, semua tawaran peran, modelnya seperti itu semua. Makanya, kalau baca kliping-kliping yang dulu, ternyata lebih banyak yang saya tolak daripada yang diterima. Baru akhirnya dapat tawaran di Titian Serambut Dibelah Tujuh.”
Bicara soal Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982) Dewi punya target tersendiri untuk meraih Piala Citra tahun ini, karena ia mendapat unggulan sebagai Aktris Terbaik di FFI tahun 1983. “Tiga puluh tahun yang lalu, saya dapat nominasi di FFI. Waktu itu kalah sama Christine Hakim yang sudah dapat Citra ke-empat. Kalau tahun ini saya bisa dapat Piala Citra, berarti itu kesuksesan yang tertunda 30 tahun, ya.” ujar aktris yang juga akan bermain di film Cinta Brontosaurus ini sambil tertawa.