Lola Amaria bersama Fira Sofiana menjadi produser dalam film Sanubari Jakarta yang beredar Kamis 12 April 2012 lalu. Film itu sebuah omnibus yang terdiri dari sepuluh film pendek dari sepuluh film sutradara dengan tema besar LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender). Selain isu yang diangkat dan konsep omnibus yang dipakai, skema produksi film ini bisa dibilang menarik: biaya produksi ditanggung masing-masing tim film, didukung tiga lembaga (Kresna Duta Foundation, Ardhanary Institute, dan Ford Foundation) untuk pasca produksi. Kemudian, film diputar di jaringan bioskop komersial sebelum keliling kota dan diikutkan dalam beberapa festival.
“Begini: begitu skrip selesai, mereka syuting. Syuting memakai uang mereka masing-masing. Peraturannya memang begitu, karena saya tidak memfasilitasi uang. Begitu selesai syuting, kami edit. Karena syuting sudah dengan biaya pribadi, sepertinya tidak mungkin saya minta mereka menanggung biaya pasca produksi juga. Jadi, kami cari dukungan dana untuk membiayai tahap selanjutnya.” jelas perempuan yang lahir di Jakarta, 30 Juli 1977 ini.
Kesempatan memutar film ini di jaringan Cinema 21 dan Blitz Megaplex tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. “Atas saran teman, saya coba bawa film ini ke sana, tanpa ada harapan besar apapun. Kemudian pihak 21 melihat trailer dan memastikan apakah filmnya sudah selesai, lulus sensor, serta melihat jadwal. Lalu, kami diberitahu bahwa ada jadwal kosong pada tanggal 12 April. Buat kami, kalau diambil waktunya cukup mepet, jika tidak diambil sayang sekali kesempatannya. Saya bicara dengan semua sutradara bahwa memang awalnya kita tidak menayangkan di bioskop, tapi ini ada kesempatan. Mau diambil atau tidak? Karena ini berarti masuk ranah komersil dan ada penghasilan.” ceritanya tentang bagaimana awal film ini bisa masuk ke bioskop.
Ia kemudian menjelaskan bahwa semua pendapatan dari hasil penjualan tiket bioskop film ini akan dibagi sama rata ke sepuluh sutradara film, dan diserahkan ke masing-masing sutradara soal pembagiannya kepada masing-masing kru film. “Saya bilang terus terang, saya tidak mencari uang, saya tidak memperkaya diri, saya cuma mau mewujudkan impian mereka: filmnya diputar dan ditonton orang. Sudah, itu sudah cukup untuk saya. Jadi, cara itu saya sampaikan ke mereka dan bagi mereka cukup fair, walau memang biaya produksi film masing-masing berbeda.” jelasnya lagi.
Lola juga tidak memiliki ekspektasi dan target apapun dari segi jumlah penonton. “Wah, tidak ada bayangan sama sekali, tidak ada harapan muluk-muluk. Awalnya cuma mentoringDinda Kanya Dewi (salah satu sutradara sekaligus pemain), tiba-tiba jadi sampai seperti ini. Saya tidak pernah punya bayangan. Ketika masuk bioskop, itu bonus. Jika filmnya ramai ditonton, laku, lebih bonus lagi. Semuanya sambil jalan saja. Film punya nasibnya sendiri.”
Lola menambahkan, bahwa film-film dalam film Sanubari Jakarta sebenarnya milik masing-masing sutradara. Sebagai produser, ia hanya mengambil hak eksklusif selama setahun. “Setelah setahun, kami kembalikan lagi ke masing-masing sutradara.” Selama satu tahun hak eksklusif itu dipegang, rencananya film ini akan dikirim ke berbagai festival di luar dan keliling 11 kota di Indonesia: Aceh, Padang, Medan, Lampung, Bandung, Jogja, Malang, Semarang, Surabaya, Bali, Makassar, dan Manado. Saat ini, 20 copy dibuat dan digunakan untuk tayang di jaringan bioskop komersial tersebut.
Film dan Isu
Setelah film Minggu Pagi di Victoria Park mencoba mengangkat isu tenaga kerja perempuan di Hongkong, Sanubari Jakarta menyisipkan isu LGBT. Ia selalu menekankan pentingnya riset data dan juga pentingnya peran konsultan dalam pembuatan film ini. “Kami mengangkat hal yang memang ada. Semua ceritanya itu berdasarkan kejadian nyata yang memang kita ramu dramanya supaya menjadi suatu film. Sama seperti judulnya, film ini harus dibuat jujur dari dasar hati, dari sanubari. Kami semua, pembuat, harus mengangkat ini dengan jujur dari kita sendiri, jujur dengan realitasnya, jujur terhadap apa yang mau disampaikan. Itu yang penting,” ujarnya.
Lola sendiri mengaku bahwa jika film-film yang ia buat mengangkat realitas dunia sosial tertentu, bukan suatu hal yang disengaja. “Saya membuat film yang dekat dengan diri saya, dengan dunia saya, lingkungan yang saya tahu. Saya bikin film yang saya mengerti, yang saya paham. Setiap hari saya melihat di televisi, membaca koran, ada peristiwa ini, itu, semuanya terngiang-ngiang. Bohong, kalau saya tidak punya empati untuk semua yang diberitakan itu. Kemudian baru tercetus, bikin karakter, bikin cerita, bikin ide yang berhubungan atas peristiwa yang memang terjadi.
Mengapa tidak membuat dokumenter? “Kalau dokumenter, agak susah untuk membuat orang mau menonton. Namun, kalau film dikemas dalam jenis drama tentang kasus yang sama, orang akan lebih banyak ingin menonton. Membuat orang bilang, "Ih, gue banget, sih." Kalau sudah ada yang bilang seperti itu, saya senang mendengarnya karena berarti kami berhasil.”