Artikel/Sosok Lukman Sardi: Jangan Sampai Ada Korban Lagi

Sosok Amalia Sekarjati 26-01-2015

Awal tahun 2015 dimulai dengan berbeda oleh aktor Lukman Sardi. Film terbarunya, Di Balik 98, mulai beredar 15 Januari lalu. Namun, nama Lukman bukan berada pada jajaran pemain melainkan sebagai sutradara. Meskipun pernah menjajal peran sutradara untuk film pendek Sang Penjahit, menyutradarai film berlatar peristiwa nyata Mei 1998 tersebut merupakan tantangan baru dalam karirnya di dunia film.

“Beberapa tahun belakangan ini saya memang sempat terpikir untuk menjadi sutradara. Setelah menjadi aktor, apalagi ya yang bisa saya eksplorasi? Sepertinya menjadi sutradara adalah salah satu obsesi saya, karena dia membuat sesuatu dari yang belum ada sampai jadi.” Ia sendiri mendapat tawaran menyutradarai Di Balik 98 dari sang produser, Affandi Abdul Rachman. Pada awalnya, ia sempat ragu karena film tersebut berangkat dari peristiwa yang cukup serius dan sensitif. Namun, Lukman memilih untuk mengangkat sisi humanis dari peristiwa Mei 1998, bukan sekadar sisi politik atau sejarahnya saja.

“Bagi saya sendiri, peristiwa ‘98 itu momen terjadinya perubahan signifikan di negeri kita tapi juga momen kelam. Ada satu perubahan yang yang kita kenal dengan reformasi, tapi korban yang berjatuhan juga banyak. Kan maunya kejadian itu tidak terulang lagi. Kalau mau ada perubahan ke arah yang bagus, ya bagus. Namun, jangan sampai ada korban,” ujarnya. Melalui film ini, ia ingin menggambarkan banyaknya harapan orang yang berantakan akibat peristiwa tersebut. “Berita sudah banyak mengekspos peristiwa tersebut, tapi sisi manusianya jarang terekspos. Apa sebenarnya yang ada di pikiran orang-orang saat itu? Apa yang terjadi pada orang-orang di luar kelompok istana dan elit politk pada saat itu?”

Ia menjelaskan lebih mengutamakan menghadirkan emosi orang-orang pada saat itu. Sekaligus ingin mengingatkan kembali peristiwa tersebut, terutama kepada generasi saat ini. “Mungkin banyak yang belum lahir atau masih sangat kecil pada saat peristiwa itu terjadi. Makanya, saya coba pakai pola yang sangat membumi, yaitu dengan cerita keluarga. Dengan begitu, mungkin mereka bisa tetap merasa terhubung dengan peristiwa tersebut.”

Belakang layar

Lukman juga bercerita bahwa salah satu hal yang membuatnya percaya diri menjadi sutradara adalah dukungan keluarga dan para teman. Selama menjadi aktor, ia menabung pengalaman dengan mengamati kerja para sutradara dan kru lain yang pernah bekerja dengannya. Hal ini membantunya menentukan tim kerja untuk membuat Di Balik 98. “Kebetulan, sekian tahun di dunia film, saya cukup kenal baik orang-orang yang memang sangat kompeten di bidangnya dan yakin mereka mau mendukung film ini. Mereka juga punya komitmen untuk membantu. Jadi, itu yang bikin saya cukup pede.”

Hal yang menarik adalah bagaimana latar belakangnya sebagai aktor mempengaruhi kerjanya sebagai sutradara. Salah satunya adalah perhatian yang cukup besar saat proses casting. “Banyaknya pemain di film ini terlibat melalui casting. Bukannya tidak percaya, tapi saya perlu cari sosok yang tepat untuk masing-masing peran. Saya perlu orang yang berkomitmen penuh di film ini. Saya perlu konsentrasi mereka, totalitas, dan disiplin lebih.”

Di lapangan, Lukman mengaku seringkali memberikan contoh akting pada para pemain. Namun, itu hanya terjadi pada awal-awal syuting. “Sebagai sutradara kan seharusnya cukup ngobrol tentang visi, misi, dan karakter tokoh, lalu menjaga akting para aktor ini supaya tidak ‘lari’. Aktor sendiri kita pilih karena kita sudah yakin pada mereka dan mereka punya PR yang harus dikerjakan. Mereka punya cara sendiri. Kalau saya kasih contoh, itu kan jadi versi Lukman Sardi,” ceritanya. Akhirnya, ia pun mengubah cara kerjanya: lebih banyak mengarahkan dan berdiskusi daripada memberi contoh langsung.

Jika sebagai aktor ia fokus pada naskah dan kemudian berperan, lain halnya sebagai sutradara. Ia banyak terlibat di persiapan, serta mengurus banyak hal bersama produser. “Kadang-kadang ribut juga dengan produser. Maksudnya begini, sutradara kan berpikir secara kreatif, sedangkan produser mempertimbangkan angka-angka dan budget yang harus dikeluarkan. Hal-hal itu yang harus melalui proses negosiasi sampai berimbang. Ada beberapa hal yang bisa disesuaikan, tapi ada beberapa hal yang secara prinsip memang tidak bisa diubah. Hal-hal ini yang sejak awal harus dibicarakan dengan produser,” jelasnya lagi.

Lukman menjelaskan lebih lanjut soal kompromi tersebut. Mulai dari referensi jalan cerita sampai pemilihan pemain. Untuk referensi cerita, Lukman menyampaikan bahwa ia tidak ingin hanya mengambil dari satu buku atau satu narasumber saja. “Saya bilang saya akan wawancara banyak orang, baca banyak buku, karena saya tidak mau film ini dari satu sisi. Dengan banyak sumber, saya jadi paham sisi manusianya. Kalau itu diizinkan, baru saya mau mengerjakan. Atau untuk pertimbangan komersil, saya disarankan melibatkan pemain tertentu karena dianggap menjual. Hal-hal seperti itu yang kadang terjadi, tetapi saya harus kembali pertahankan prinsipnya.”

Hal-hal lain yang ia anggap cukup berat adalah mengkoordinasikan pemain yang banyak untuk adegan keramaian. Belum lagi mempertimbangkan keamanan untuk adegan-adegan kerusuhan. “Kalau tidak dikoordinasikan dengan jelas, akan banyak makan waktu, sedangkan kami melibatkan banyak orang.”

Termasuk juga menyesuaikan koreografi pemain dengan pergerakan kamera. Selain itu, izin pemakaian alat-alat keamanan negara, tank misalnya, juga memakan proses yang cukup lama. Yang mengejutkan justru izin pemakaian gedung DPR/MPR. “Saya pikir akan sulit, tapi ternyata tidak. Mereka sangat terbuka. Untungnya proses syuting berlangsung pada Desember akhir, sehingga mereka juga sedang reses, sehingga kondisi gedung cenderung kosong.”

Karir akting

Menjadi sutradara tidak berarti Lukman akan meninggalkan karirnya sebagai aktor. Saat ini ia masih terlibat dalam beberapa proyek film. Saat ditanya mengenai larisnya ia sebagai aktor, ia turut menyinggung soal regenerasi aktor. “Mungkin saya masih dianggap mampu untuk berada di proyek film tersebut. Namun, hal ini juga menjadi kekhawatiran saya. Saya merasa bahwa regenerasi aktor tidak berjalan maksimal, sedangkan kemajuan sebuah industri film dapat diukur dari berjalannya regenerasi.”

Ia bercerita bahwa teman-teman pegiat film lain merasa kesulitan mencari aktor, baik perempuan maupun laki-laki. “Yang bisa akting bagus tuh banyak. Namun, kalau sudah bicara aktor, bukan hanya akting bagus. Perlu wawasan. Wawasan bukan keilmuan saja tapi juga soal memiliki rasa sensitif, empati, komitmen, totalitas, disiplin, dan sikap.”

Lukman menggarisbawahi pentingnya sikap seorang aktor. “Proses syuting itu kan berhubungan dengan orang banyak. Pada saat attitude aktor mengganggu mereka, syuting pun akan terhambat. Bahayanya, itu bisa memutus karir seorang aktor. Menurut saya, mungkin mereka masih mau saya terlibat karena saya memahami itu kali ya. Namun, tetap ada kekhawatiran saya kalau regenerasi ini harus berjalan. Sekarang juga sudah banyak nama baru sih, tetapi harusnya ada banyak lagi,” tambahnya.

Perihal regenerasi ini juga salah satu hal yang ia perjuangkan bersama teman-teman aktor lain lewat asosiasi Rumah Aktor Indonesia (RAI). “Kami sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengadakan semacam musyawarah besar (mubes). Sebenarnya programnya sudah ada, termasuk poin-poin yang harus dilakukan. Misalnya soal penyeragaman kontrak, itu sudah sempat dibahas sejak awal. Namun, pada mubes nanti baru akan dibicarakan lebih detail,” ujar Lukman yang juga menjadi ketua asosiasi tersebut.

Regulasi dan cerita asli

Menilai kondisi perfilman Indonesia saat ini, Lukman menganggap saat ini industri perfilman masih bersifat industri rumahan. “Kita masih gambling, apakah film kita akan laku atau tidak. Banyak yang masih membuat film hanya karena semangat berkarya. Regulasi pemerintah juga belum cukup kuat untuk melindungi film Indonesia,” ujarnya.

Ia juga menanggapi kabar bahwa perfilman akan dipindah di bawah Komisi I DPR RI. “Menurut saya itu agak ajaib, dan balik lagi seperti waktu zaman Orde Baru, ketika film berada di bawah Menteri Penerangan. Kok malah mundur? Film kan sesuatu yang unik. Seharusnya pemerintah sudah bisa melihat dan tahu bagaimana memperlakukan film. Bagaimana pun semangat tidak akan cukup kalau tidak didukung regulasi dan sebagainya.”

Lukman juga menambahkan kalau saat ini film Indonesia masih kekurangan cerita asli. “Film kita lagi heboh-hebohnya dengan adaptasi buku, cerita biopik, tapi cerita asli malah jarang digarap sehingga kurang berkembang. Menurut saya cerita-cerita asli juga tidak kalah menarik.”