Artikel/Sosok Sekilas Mengenang Edward Pesta Sirait (7 Agustus 1942 - 12 Januari 2019)

Setelah dirawat di RS Pondok Indah, Jakarta, karena komplikasi diabetes sejak Kamis 3 Januari 2019, Edward Pesta Sirait, sutradara puluhan film dan ratusan seri sinetron Indonesia, akhirnya meninggal dunia di ruang perawatannya pada hari Sabtu 12 Januari 2019, pukul 17:58 WIB. Sejak malam harinya jenazah disemayamkan di rumahduka RS Dharmais, Jakarta, lalu dimakamkan pada siang hari Senin 14 Januari di Sandiego Hills, Karawang Barat. Edward, yang disebut Edo oleh teman-temannya, meninggalkan 16 orang kesayangan terdekatnya: isterinya, Gottina Tiapul br Tambunan, empat anak dan empat menantu, serta tujuh cucu.

Edo lahir sebagai anak ke-7 dari sembilan bersaudara pada 7 Agustus 1942 di Porsea Tapanuli Utara dari pasangan suami-istri Raja Hendrik Sirait dan Marta br Situmorang. Setamat SMP di kampungnya, Edo bergabung dengan keluarga abangnya di Jakarta pada 1961 dan melanjutkan ke SMA 9 Bulungan. Lulus SMA pada 1963 ia sempat tergoda kuliah extention di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tapi segera keluar dari sana karena sangat menyadari kesukaannya yang besar sejak kecil dengan permainan animasi boneka, semacam wayang golek versi Batak (Sigalegale), dan kegilaannya menonton bioskop di kota kecil Balige, tidak jauh dari Porsea.

2

Sejak 1963 ia bertekun di dunia film sampai akhir hayatnya. Mula-mula ia belajar di ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film Indonesia), Yogya, tapi tidak lama, konon nyaris tak dapat apa-apa di sana. Selama empat tahun sejak 1964 Edo belajar di ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) yang didirikan pada 1955 oleh Usmar Ismail dan kawan-kawannya, seperti Asrul Sani, Djadoeg Djajakusuma, Sitor Situmorang, dengan bantuan dari Rockefeller Foundation.

Meski pun ATNI berada dalam masa sulit karena iklim politik Demokrasi Terpimpin, di sana Edo merasa beruntung dapat berguru kepada tokoh-tokoh kebudayaan dan film Indonesia sekaliber Usmar Ismail dan Asrul Sani. Kakilangit pemahamannya tentang kebudayaan, khususnya teater dan film, terbentang makin luas, antara lain lewat perkenalannya dengan metode dan praktek Sistem Stanislavski yang diakui telah mengubah dunia teater Abad XX, dan yang dianut di ATNI.

Uraian tentang metode dan praktek Sistem Stanislavski pelik, tapi intinya, aktor tampil sealami mungkin dengan mendalami dan menjiwai watak tokoh-tokoh yang diperankan. Mendalami dan menghayati berarti sadar atau tidak sadar aktor bukan berakting, melainkan membangun kehidupan di panggung. Karena hanya alam-lah yang kuasa memberi kehidupan, maka aktor mengolah diri agar bisa merasakan segenap getar-getar kodrat alamiahnya sebagai manusia semata-mata. Dengan perasaan itulah aktor dapat mendalami baik dirinya sendiri mau pun kejiwaan tokoh yang akan diperankan. Itulah sebabnya Stanislavski menyebut metode dan praktek teaternya naturalisme atau realisme spiritual.

3

Kalau tak keliru, Edo dan saya baru berkenalan pada 1980, ketika namanya sudah mulai berkibar sebagai sutradara film layar lebar, seperti Chicha, Dua Kribo, Buah Terlarang, Ira Maya Si Anak Tiri. Sudah lupa saya bagaimana persisnya kami bertemu, tapi kemungkinan besar sambil lalu saja. Maklum, waktu itu saya suka mengekor sohib saya J.B. Kristanto, wartawan film Harian Kompas, untuk menonton film gratis, entah pada pemutaran perdana atau malah saat film sedang ditinjau untuk dinilai di BSF (Badan Sensor Film). Itulah saat-saat sarat peluang ketemu dengan insan-insan perfilman Indonesia, termasuk Edo tentu saja.

Kalau dipikir-pikir sekarang, rangkaian pertemuan awal dengan Edo tidak banyak menimbulkan kesan, bagi saya dan mungkin juga bagi dia. Edo ramah dan ceria, Kris juga ramah tapi agak kikuk, sedang saya cenderung tidak ramah dan sangat kikuk. Terasa oleh saya film bagi Edo dan banyak insan perfilman lain mirip kehidupan, tapi bagi saya mirip busa kehidupan, sedang sama Kris mirip urusan bisnis reportase suratkabar. Cacat bekas aktivis mahasiswa seperti saya adalah kecurigaan bahwa perfilman Indonesia kala itu cuma alat kekuasaan Orde Baru belaka.

Selain itu, waktu itu saya jebolan salah satu perguruan tinggi di Paris. Banyak waktu saya selama hampir dua tahun di sana tercurah untuk menonton film-film yang rada mbeling macam Zorba le Grec yang buat saya berkisah secara kocak dan memukau tentang pertemuan antara daya hidup alami dan daya hidup sekolahan. Lagipula, waktu itu baru tiga tahun berselang saya mulai melihat dari dekat betapa amburadulnya perfilman Indonesia.

Dalam hal ini, Kris menjadi guru saya. Kebetulan pada pertengahan 1976, PT Gramedia Film yang baru dibentuk meminta saya menulis tentang kisah kehidupan Kusni Kasdut, jawara terkondang di Indonesia selama hampir dua dasawarsa, 1950-an dan 1960-an. Setelah hasilnya disiarkan bersambung di Harian Kompas, Gramedia Film meminta saya lagi menulis skenario berdasarkan cerita itu, padahal saya samasekali buta tentang skenario.

Kris menyarankan agar saya melihat contoh-contoh skenario di Sinematek Indonesia, di PPHUI (Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail), Jl. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta. Puluhan, kalau tidak ratusan naskah skenario film Indonesia tersimpan di sana. Ketika saya membaca-baca beberapa, saya kaget dan prihatin, hampir semua yang saya coba baca, menurut saya ditulis serampangan, baik bahasa Indonesianya, apalagi susunannya. Ketika saya tanya Kris, siapa yang dianggap penulis skenario jempolan, dia hanya sebut satu nama: Arifin C. Noer. Sutradara jempolan, hanya tiga nama: almarhum Usmar Ismail, lalu pendiri Sinematek itu sendiri, Misbach Yusa Biran dan Asrul Sani. Tidak disebut nama Edo.

4

Honorarium saya untuk skenario yang saya tulis tentang Kusni Kasdut langsung dibayar oleh PT Gramedia Film, tapi saya menganggap bayarannya kurang menghargai profesi penulis skenario. Berkat informasi tentang siapa penulis skenario yang dianggap jempolan, saya mengembalikan honor itu dan bilang dunia perfilman kita akan makin terpuruk jika orang film sendiri tidak menghargai profesi perfilmannya. Lantas jalan keluar yang saya sarankan diterima dengan sungkan, yakni agar dibuat saja pembayaran honor saya secara tertulis dengan jumlah yang dianggap layak, tapi tidak usah dibayar dengan duit. Jadi secara resmi saya dibayar dengan surat yang menuliskan jumlah lima kali lipat honor penulis skenario paling jempolan waktu itu.

Begitulah rupanya kendali ketat pemerintah atas industri film kita sehingga segala dokumen produksi film, termasuk yang menyangkut pembayaran honorarium, harus diserahkan ke Direktorat Film dan TV, Departemen Penerangan. Sekali waktu saya dikunjungi oleh beberapa orang produser film untuk minta dibuatkan skenario, masing-masing dengan jumlah honor yang pernah mereka baca dalam dokumen di Departemen Penerangan. Rupanya saya keliru dianggap penulis skenario jempolan yang baru, tapi sial bagi saya, entah bagi Gramedia Film, karena pemerintah tidak memberi izin produksi film tentang Kusni Kasdut.

5

Saya tak bisa lupa bagaimana saya tertawa ngakak menceritakan kepada Kris tentang kedatangan para produser film itu. Saya cenderung menolak permintaan mereka, tapi Kris menyarankan agar saya menerima saja. Saya turuti sarannya. Saya pikir ini kesempatan membuat skenario yang agak pantas menurut saya, apa lacur setelah naskah saya serahkan semua produsen seperti sepakat meminta agar skenario itu jangan terlalu serius. "Singkap paha dikit, gak apalaaah", kata mereka. "Oh, begitu?" sahut saya. "Kalau cuma itu, singkap saja sendiri!" Mereka tersentak, tampak salah tingkah. Lalu saya tenangkan hati mereka. Suruh orang lain mengubahnya di mana perlu, saya tak perlu dibayar, tapi jangan pakai nama saya!

Memang itulah yang terjadi. Film-film yang dibuat berdasarkan naskah kasar skenario yang saya tulis itu rasanya sedikit-banyak masih memakai judul-judul yang asli. Saya sebut "rasanya" karena saya segera melupakan semua skenario itu bagai mimpi kacau tengah malam. Namun, dalam suasana itulah Edo muncul dan minta saya menulis skenario berdasarkan novel populer karya Bung Smas, Cinta Seorang Penakluk. Kata Edo novel itu ditulis bagus, artinya gaya penulisannya hidup-hidup: kalimat-kalimatnya lancar, spontan, pendek-pendek, dan cerdas.

Namun menurut dia, kekurangannya, justru kelancaran novel itu, begitu lancar sehingga kurang persoalan, kurang konflik, ketegangan, apalagi latarbelakang sikap dan tingkah-laku pemeran utama. Agnes, pemeran utama itu seorang gadis SMA Kelas III yang sangat badung dan yang berani mencintai gurunya. Di rumahnya hanya ada dia dan ibu-tirinya serta seorang pembantu. Meski pun demikian, ia menganggap ibu tirinya yang tanpa anak hanya angin lalu. Ayahnya, yang lebih banyak tinggal dengan istrinya yang lain, sangat dibencinya. Cerita tentang sikapnya, di rumah dan di luar rumah, itulah yang ditulis lancar dan hidup-hidup menurut Edo. Namun, tanpa konflik dan ketegangan yang jelas latarbelakangnya, cerita itu sulit dijadikan film yang enak ditonton, apalagi film yang mengandung bobot pendidikan.

6

Film yang mengandung bobot pendidikan! Saya agak kaget juga mendengar argumen seperti itu dari Edo. Saya mengira dia tak menganggap penting dalam film hal-hal yang demikian itu mengingat film-filmnya yang sudah disinggung di atas. Nyatanya, film-film besutannya konon sukses secara komersil, malah filmnya, Chicha, selain mencetak untung besar, kabarnya mendapat penghargaan internasional sebagai film terbaik untuk anak-anak. Agaknya Edo sudah menemukan kiat manjur, yakni menunggang nama-nama pemeran utamanya yang sedang kondang: Chicha Koeswoyo dalam Chicha; Ahmad Albar dan Ucok Harahap dalam Duo Kribo; Rano Karno dan Yessi Gusman dalam Buah Terlarang, Ira Maya Sopha dan Ria Irawan dalam Ira Maya Si Anak Tiri.

Karena itu saya tanya, mengapa tidak dimanfaatkan saja popularitas novel Bung Smas itu? Saya belum kenal Bung Smas, apa dia belum sepopuler karyanya itu?

Bukan itu soalnya, jawab Edo, soalnya adalah "saya ingin belajar membuat film tentang pendidikan." Ia lantas cerita sepintas bagaimana dia kecewa beberapa kali dengan sekolah yang sempat dia masuki, seperti yang sudah saya sebutkan di atas, lalu meninggalkannya. Beruntung dia dapat belajar di ATNI. Di sana, dan berkat pergaulan sebagai mahasiswa ATNI, Edo tekun belajar bukan hanya teori-teori, tapi juga teknik-teknik mutakhir produksi film, termasuk dengan menjadi asisten sutradara sejumlah sineas terkemuka Indonesia hingga ke penyuntingan dan seluk-beluk penyelesaian akhir di laboratorium.

7

Senang juga saya mendengar cerita Edo itu tentang semangatnya belajar, semangat yang saya pikir tidak kurang saya rasakan dalam kehidupan saya sendiri. Karena itu saya memutuskan dalam hati untuk menerima tawarannya menulis skenario berdasarkan novel Bung Smas itu. Saya juga penasaran untuk tahu mengapa novel yang begitu hidup-hidup ditulis dan disambut luas, tapi kurang daya tegang menurut Edo.

Keputusan saya secara diam-diam itu saya ungkapkan dengan meminta agar Edo meninggalkan novel Bung Smas untuk coba saya baca. Terus terang Edo benar, sangat menarik novel itu berkat kelancaran ceritanya belaka. Saya sudah lupa rinciannya, tapi kesan kuat yang saya dapat adalah kebersahajaannya. Ah, seandainya Bung Smas tak hanya bersahaja dan lancar tapi menceburkan kebersahajaan dan kelancaran itu ke dalam duka kehidupan.

Saya pikir waktu itu, dan terlebih sekarang, tiada kehidupan tanpa kemelut, tapi kemelut saja akan menjadi derita berlarat-larat alias lancar saja tanpa duka. Duka adalah pergulatan manusia untuk menjawab, memberi makna pada, derita dan kemelut. Itulah sebabnya pengertian yang betul adalah hidup bertanya, manusia menjawab, bukan manusia bertanya hidup menjawab. Kehidupan Agnes dan keluarganya sudah merupakan kemelut, derita, sebagaimana kehidupan setiap orang. Namun tanpa upaya gadis itu menjawab atau memberi makna pada deritanya, tak akan ada duka, hanya kemelut yang berlarat-larat atau cerita yang lancar tentang derita.

Upaya menjawab atau memberi makna pada kemelut itulah sumber ketegangan. Dengan pemikiran itu, saya merasa bisa membantu Edo dengan menulis skenario untuk film yang akan dibuatnya berdasarkan novel Bung Smas, Cinta Seorang Penakluk.

8

Meski pun demikian saya merasa ragu akan mampu melengkapi novel itu dengan duka, apalagi dalam bentuk skenario. Urusannya bukan lagi sekedar susunan kata-kata seperti dalam novel, tapi terlebih harus dengan ide-ide yang jelas dapat dijadikan gambar-gambar dalam film. Terkilas memang dalam benak saya, contoh novel yang menurut saya berhasil menukik ke dalam duka-nestapa kehidupan: Doktor Zhivago karya Boris Pasternak. Novel itu, terjemahan Trisno Sumardjo, merupakan salah satu buku bacaan saya sejak SMA yang sampai kucel gara-gara keseringan saya baca. Detailnya tentu sudah banyak saya lupa, tapi pokok cerita, terlebih patokan dasar penulisan Pasternak tak mungkin saya lupa, karena dirumuskannya secara ekplisit melalui pemikiran tokoh utama novelnya, yaitu Zhivago.

Tentu bukan maksud saya hendak membandingkan Cinta Seorang Penakluk dengan Doktor Zhivago, melainkan sekedar merangsang gagasan untuk menulis skenario buat Edo berdasarkan novel Bung Smas itu. Sayang, buku Doktor Zhivago sudah tidak ada pada saya karena dipinjam oleh seorang teman, seorang penyair semasa di Yogya. Dia tak pernah mengembalikannya hingga sekarang. Di toko buku karya itu sudah lama tidak ada. Semua orang yang saya tanyai karena saya kira layak menyimpannya pada mengaku tak pernah punya. Berburu ke pasar loak atau ke perpustakaan saya tak punya cukup waktu. Karena itu saya pikir, cukuplah saya mengandalkan ingatan saya saja.

Jauh hari kemudian setelah film Gadis Penakluk karya Edo yang skenarionya saya coba tulis berdasarkan novel Bung Smas, Cinta Seorang Penakluk, mendapatkan beberapa piala Citra FFI 1981, termasuk untuk skenario, saya berhasil mengunduh Doktor Zhivago versi Inggris secara gratis berupa dokumen PDF berkat jasa Internet. Sampai sekarang saya masih saban-saban membaca dokumen itu untuk keperluan belajar sampai tua. Karena itu bolehlah saya menukil takaran pokok penulisan Boris Pasternak itu untuk pembaca tulisan ini.

9

Terlebih dulu cobalah kita bayangkan Revolusi Rusia yang menggocang dunia itu. Tentang revolusi itulah Doktor Zhivago berkisah dalam pesona mau pun dukacita yang ditimbulkannya. Mungkin sastrawan lain akan merasa harus memulai novel itu dengan suatu peristiwa penting dalam revolusi tsb., tapi Pasternak tidak. Pasternak mulai dengan peristiwa sepele sehari-hari, yang sepintas tak punya sangkut-paut dengan suatu revolusi, dan terus melanjutkan hal yang sama sampai akhir buku. Dalam Bagian Satu, Bab Satu yang berjudul 'Kereta Ekspres Pukul Lima' (The Five O'Clock Express), alinea pertama hanya berupa satu kalimat saja tentang hal sangat biasa. Saya terjemahkan saja: 'Iring-iringan bergerak maju sambil menyanyikan "Keheningan Abadi", dan setiap kali mereka berhenti menyanyi, kaki-kaki mereka, kuda-kuda, dan deru angin, seperti melanjutkan nyianyian mereka itu.'

Saban-saban Pasternak menegaskan hal-hal biasa itu sebagai pola dasar pemikiran dan penulisan Zhivago, tokoh utama novelnya. Dalam Bab 9, 'Varykino' subjudul 7, misalnya, Pasternak menulis: 'Hanya hal-hal biasa yang diperdalam oleh seorang jenius, yang bisa benar-benar agung. Teladan terbaik dalam hal ini ialah Pushkin.' Salah satu contohnya dipetik dari novel puisi Pushkin, Evgenii Onegin: "Sekarang yang kucita-citakan adalah ibu rumahtangga/ Yang paling kudamba, kehidupan yang hening/ Dan semangkuk gede sup kubis."

Saya pikir, yang coba dijelaskan oleh Pasternak adalah soal adimatwa (originality) karya seni, khususnya sastra. Dalam bab 16 'Return to Varykino', Pasternak menulis lagi tentang Zhivago:

"Yang diimpikannya selama hidup adalah menulis sesuatu yang adima (original), yang begitu tak-kasat-mata, yang terselubung begitu baik, sehingga tak dinyana kesamarannya dalam bentuk sehari-harinya; selama hidupnya dia berupaya setekun-tekunnya untuk mencapai gaya yang begitu tahu batas, begitu polos, sehingga pembaca atau pendengar paham sepenuhnya makna yang disampaikan tanpa menyadari bagaimana hal itu bisa digubahnya."

10

Saya pikir gagasan Pasternak tentang hal-hal biasa yang diperdalam, yang disebutnya adimatwa (originality) seperti yang tergambar dalam petikan di atas tidak jauh-jauh amat dari metode dan praktek teater Stanislavski yang disebut naturalisme atau realisme spiritual. Dalam skenario film Gadis Penakluk saya hanya mampu sedikit memperdalam derita tokoh utama, Agnes, dan satu tokoh pendampingnya, yakni Marni, seorang murid sekelas Agnes, tapi dari keluarga miskin namun pintar sehingga sering diam-diam jadi sasaran iri Agnes.

Derita Marni saya perdalam dengan kesadarannya tentang duka-nestapa manusia sedunia sejak gelombang pertama revolusi industri. Untuk itu Marni saya buat memilih menulis esai tentang duka itu untuk acara peringatan Harpenas (Hari Pendidikan Nasional) di sekolahnya, sementara Agnes saya buat diam-diam harus menyaingi Marni dengan kesadaran tinggi tentang duka yang serupa lewat deklamasi tentang soal biasa yang tak terduga, yakni tentang ludah. Bukankah ludah sebiasa-biasa napas sehingga hanya kita ingat saat merasa jijik atau ketakutan sehingga kerongkongan kekeringan ludah, persis seperti napas teringat hanya setelah kita merasa sesak?

Ada satu adegan lain yang ingin saya perdalam tapi saya tak mampu, yakni ungkapan cinta Agnes pada gurunya, Wing Ganda, berupa keinginan dicium oleh guru itu saat berkunjung ke rumah Agnes atas tuntutan dan siasat Agnes. Saya hanya bisa tegaskan kepada Edo agar ciuman betul-betul diberikan oleh Wing Ganda, tapi ciuman itu tak boleh tergambar di film demi prinsip martabat guru. Bagaiman caranya, terserah saja, begitu kata saya. Saya yakin Edo akan berusaha setengah mati untuk itu. Kalau gagal, baik juga sebagai pelajaran bagi dia karena akan tahu risiko membuat film pendidikan. Kalau berhasil, sama baiknya sebagai pelajaran pula.

Di luar dugaan, ternyata Edo berhasil. Saat Agnes memohon diberi tanda bukti rasa kasih Wing Ganda terhadapnya, sembari mendekatkan bibir ke wajah gurunya dengan memejamkan mata, dengan tenang Wing Ganda mencomot setangkai mawar merah dari dalam vas di atas meja dan menaruhnya tepat di antara bibir mereka.

Mungkin karena itu Edo masih meminta saya menulis skenario lagi atau menemukan ending yang cocok untuk film yang sudah selesai dikerjakannya. Kebetulan saya pernah menyadur naskah drama Marcel Pagnol, Topaze, dan disiarkan bersambung di Harian Kompas. Mengingat perkembangan minatnya tentang pendidikan, saya membuatkan skenario berdasarkan saduran itu yang menghasilkan filmnya, Sang Guru. Untuk filmnya yang sudah jadi, Bukan Istri Pilihan, tapi endingnya kegantung karena dia ragu, Edo juga minta saya carikan jalan keluar. Saya penuhi permintaannya berdasarkan gagasan dasar naskah komedi Bernard Shaw, Candida.

11

Namun yang melela dalam ingatan saya, begitu saya dengar dari J.B. Kristanto pada hari Sabtu malam, 12 Januari 2019, bahwa Edo telah meninggal sore hari itu juga dalam perawatan di RS Pondok Indah, adalah adegan ciuman guru dan murid itu. Buat saya itulah salah satu dayacipta Edo in optima forma, ungkapan dayahidupnya yang akan terus bersama kita dan generasi selanjutnya. Kris mendapatkan berita itu berkat SMS dari Marselli. Saya segera hubungi keluarga Edo lewat telepon rumahnya, dan beruntung telepon itu tepat diangkat oleh putranya Batoan. Dari Toan saya tahu kepastian berita itu dan rencana selanjutnya.

Segera saya membuka Google di Internet, cari berita tentang kematian Edo, dan juga segala bahan yang ada tentang kiprahnya selama hidup. Saya sempat termenung, terharu mengetahui betapa jauhnya dia sudah melangkah. Tekadnya menjadikan film sebagai bahan pendidikan ternyata diwujudkannya dengan gigih. Tidak kurang dari 30 film layar lebar yang telah dihasilkannya, banyak di antaranya dapat nominasi FFI atau hadiah penghargaan, dan ratusan episode sinetron, a.l. Keluarga Cemara yang sangat populer berdasarkan novel Arswendo Atmowiloto yang berjudul sama.

Semua itu saya tidak tahu karena kebanyakan karyanya itu tayang ketika saya belajar di Amsterdam, 1986-1991. Setelah saya kembali ke Indonesia, arah perjalanan kami sudah jauh bersimpangan. Saya tidak berminat lagi dengan dunia film, tapi sibuk dengan penerbitan sains dan teknologi populer di haribaan Kompas Gramedia. Sejak awal 2008, saya malah sudah berhenti menonton TV, mendengar radio, dan membaca suratkabar. Saya tenggelam dalam belajar tentang kegagalan sekolah di seluruh dunia, a.l. berkat ilham Edo, dan tentang dampak revolusi digital pada kehidupan kita.

Hubungan saya dengan Edo tetap berjalan baik, sering bertemu dengan hangat, bahkan saling berkunjung, tapi kami berdua seperti tak tertarik dengan arah perjalanan masing-masing. Hanya sejak Maret 2018 kami sudah tak pernah lagi bertemu akibat kesibukan saya. Ia pernah minta saya menulis treatment untuk film pendidikan, tapi saya hanya tertawa saja. Dia malah ingin pemerintah menjadikan film-film Indonesia yang dianggap baik sebagai sarana pendidikan. Tentang ini saya bilang, itu urusan ribet, lupakan saja.

Namun dia tak pernah kapok dengan sikap saya. Dia beberapa kali menghadiri beberapa acara yang pernah ditaja oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) yang kebetulan saya pimpin. Misalnya saja, seminar buku Batas Nalar: Rasionalitas & Perilaku Manusia, terjemahan saya atas karya neurolog Donald Calne, Human Reason: Rationality and Human Behavior, bahkan seminar internasional tentang Matinya Ilmu Ekonomi, saduran saya atas karya kondang Paul Ormerod, seorang ekonom Inggris, The Death of Economics. Bagi saya, itu pertanda semangat belajarnya tak pernah surut.

Terus terang cukup bagi saya bahwa kami berdua terus belajar dalam kehidupan masing-masing, tanpa coba berbasa-basi, apalagi saling mempengaruhi. Ketika Edo pernah singgung hasratnya untuk membuat film dokumenter tentang ulos Batak sejak mulai dari benang sampai kain sebagai penghormatan terhadap karya ibundanya yang ahli tenun, saya bilang saja apa masih kuat dalam usia setua ini dan sakit gula yang diidapnya nyaris selama separo usianya. Ia hanya tertawa.

Esoknya, Minggu siang saya melayat ke rumahduka RS Dharmais, tempat jenazah Edo disemayamkan. Saya cari-cari orang yang saya kenal dari dunia film tapi tak ketemu. Tiba-tiba muncul justru seorang tokoh penting dunia film, bahkan produser film Gadis Penakluk, Hendrick Gozali, pemilik PT Garuda Film. Saya masih bisa mengenalinya meski sudah jauh lebih tua daripada yang saya lihat terakhir kali, tapi tampak sangat sehat dan ingatan masih jernih. Hendrick ditemani oleh dua anaknya, Charles dan Linda Gozali, yang mengaku biasa dipanggil Ling oleh "Oom Edo", dan suami Linda.

Lama saya dan Hendrick bercakap-cakap tentang Edo dan prestasi kerjanya. Saya senang mendengar dari dia bahwa Edo gigih belajar. Beda dengan alm. Wim Umboh yang bikin film tanpa skenario, atau sutradara lain yang justru terlalu bergantung pada skenario, Edo selalu bekerja dengan skenario, tapi tak pernah ragu memilih intuisinya saban kali timbul urusan sulit di lapangan. Katanya, Edo juga selalu bersikap profesional, terlebih menghadapi mutu pengerjaan film buatannya di laboratorium. Saya kira layak dipercaya penilaiannya, karena ternyata Hendrick juga produk belajar dari kehidupan biasa-biasa. Ayahnya ahli memainkan wayang golek versi Tionghoa, yang disebut potehi, dan hidup sebagai tukang tambal ban sepeda.

Edo sahabatku, kami yang pernah berpapasan denganmu selama hidupmu selalu mengenangmu. Selamat jalan, sampai kita ketemu di dunia lain yang nun dekat di sana.

Kampung Bulak Timur, Cinangka, Sawangan, 20 Januari 2019.

Sumber-sumber lain yang melengkapi tulisan ini: