Setelah lebih banyak berkarya sebagai aktris, kemudian menjajal kerja sebagai produser, kali ini Marcella Zalianty juga mencoba menyutradarai film terbarunya, Rectoverso. Ia tidak hanya sebagai sutradara, tapi juga sebagai produser dan eksekutif produser. “Terus terang saja, kalau seperti ini memang capek, ya. Semuanya atau kalau ada apa-apa, baliknya ke aku. Mungkin kalau nanti aku produksi lagi, sebaiknya aku pilih salah satu antara menyutradarai atau memproduseri saja.”
Namun demikian, ia tetap merasa bahwa keterlibatannya kali ini menjadi bagian dari pembelajaran dan pengalaman yang luar biasa buatnya. “Ternyata lebih mudah menjadi produser dan pemain daripada jadi produser dan sutradara. Juga lebih mudah membuat satu film panjang daripada membuat lima film pendek menjadi satu. Saya pikir akan lebih mudah, ternyata lebih susah karena rasanya tetap seperti membuat lima film sekaligus.” jelasnya.
Mengapa Rectoverso? “Buat saya, ini salah satu apresiasi kami terhadap karya sastra Indonesia. Waktu karya ini hadir, aku kagum dengan konsep kolaborasi antara ruang dengan ruang baca. Jadinya aku berpikir, kenapa tidak metamorfosiskan lagi dalam ruang visual?” ujarnya saat ditemui di salah satu stasiun TV Nasional dalam rangka promosi film tersebut. Ia mengaku, bentuk film pendek yang berasal dari cerita pendek ini menambah keberanian untuk memproduksi dan menyutradarai proyek ini. “Kebetulan datang dari cerpen, makanya berani. Kalau ini cerita panjang, saya belum tentu berani juga untuk menyutradarai karena membuat film pendek juga susah.”
Meskipun baru pertama kali menjabat sebagai sutradara dan memproduseri para aktris yang sebagian baru pertama kali menyutradarai, sifat perfeksionisnya menuntut ia untuk tidak bekerja asal-asalan. “Menjadi sutradara ya tidak gampang. Namun, meskipun baru pertama kali, aku mau semua berjalan dengan benar. Aku mau, semua langkah-langkah menjadi sutradara kami ikuti dengan benar. Mulai dari membuat treatment, mencari astrada, membuat shotlist bersama astrada. Jadi, masing-masing dari kami memikirkan juga shot-nya, artistiknya, kostum pemainnya seperti apa. Termasuk juga mengobrol dengan penulis, duduk bareng, untuk menentukan ceritanya.”
Terkontrol
Pembuatan film Rectoverso menghabiskan waktu syuting selama enam belas hari. Meskipun untuk sutradara dan pemain tiap cerita dikerjakan orang berbeda, tetapi keseluruhan produksi tetap dalam satu manajemen. “Misalnya, aku menjaga agar tetap menggunakan satu director of photography, agar kualitasnya terkontrol. Begitu juga untuk artistik, kostum, dan departemen lainnya. Jadi, syuting-nya pun satu demi satu, bergantian, tidak paralel.” ceritanya. Kemudian, ia juga memutuskan untuk membuat ulang lagu-lagu yang pernah dinyanyikan Dewi Lestari dalam album Rectoverso, karena ia ingin ini menjadi film Rectoverso yang berdiri sendiri.
Ia menambahkan, bahwa dari keseluruhan proses, ternyata tahap editing yang memakan waktu cukup lama yakni tiga bulan. Ternyata hal ini juga yang membuat film ini batal rilis Oktober 2012 lalu seperti yang direncanakan. Film ini bahkan sampai memiliki tiga versi hasil editing. Awalnya, Marcella sendiri sempat ingin membuat cerita di film ini ditampilkan satu per satu, tapi ia ingin mencoba konsep lain, meski sebenarnya tidak baru. “Semua cerita ini berdiri sendiri, masing-masing punya konteksnya sendiri. Banyak yang bilang, kalau membuat film omnibus, penontonnya sedikit. Apalagi kalau saya bikin editing-nya membuat cerita-cerita ini menjadi satu bangunan film, pasti lebih susah diterima. Namun, kalau tidak mengerjakan seperti itu, film ini tidak jadi tantangan besar buat saya. Soalnya saya ingin membuat ini seperti irama musik. Secara emosi, mulai bersama, berakhir bersama, jadi secara emosi tidak berasa sepotong-sepotong. Maka dari itu, kami seperti menyusun puzzle ulang.”
Di balik kelelahan yang ia rasakan, proyek ini memberikan kesenangan tersendiri. Tidak hanya baginya, tetapi juga yang lain. Ia sendiri merasa bersyukur, banyak dukungan yang ia terima untuk mewujudkan film ini, termasuk dari para pemain. “Dari situ saya merasa bahwa membina hubungan yang baik dengan siapa pun menjadi penting. Jadi, kalau diajak untuk mengerjakan sesuatu, ya bisa saling bantu. Sebagai sesama orang film kan harus kompak juga, lah.”
Untuk film Rectoverso, Marcella juga mencari dukungan sponsor untuk mempromosikan film tersebut. Baginya, dengan anggaran terbatas, timnya harus melakukan promosi secara maksimal. Salah satunya dengan bantuan para sponsor. “Mereka membuat acara nonton bareng, kuis untuk para pelanggan mereka agar bisa mendukung film ini. Saling membantu agar makin banyak penonton yang ke bioskop dan menonton film Indonesia. Apalagi jumlah layar bioskop kan juga tidak banyak. Para sponsor ini biasanya sudah punya sistem ke para pelanggannya dan sistem itu yang kami butuhkan.”
Rumah produksi sendiri
Menjadi produser untuk Rectoverso, Marcella menggunakan bendera rumah produksinya sendiri, Keana Production dan Communication. Ia bercerita bahwa ide membuat rumah produksi sendiri muncul ketika ia hendak memproduksi film Lastri pada akhir 2008. Namun, film tersebut tidak selesai diproduksi karena sempat bermasalah, meski sudah syuting. “Ya, kadang-kadang kalau jalan produksi dengan rumah produksi orang lain, belum tentu bisa sepenuhnya menggunakan idealisme kita. Jadi, saya bikin rumah produksi sendiri untuk bisa merealisasikan film sesuai dengan idealisme saya. Itu saja, sih.” jelasnya.
Walaupun awalnya ia lebih sering berakting, tetapi ia juga suka mempelajari dan memperhatikan tentang hal-hal lain dalam film. Termasuk soal memproduksi film. Pengalamannya terlibat dalam produksi film yang terbilang independen, juga cukup mempengaruhi cara produksinya. “Saya akui, saya besar dari film indie. Walau sekarang ini tidak bisa dibilang indie sepenuhnya, tapi semangatnya tetap indie lah.” Kemudian, pengalamannya sebagai pemain juga membantunya membuat pertimbangan dalam menentukan pilihan. “Selama menjadi pemain, saya jadi terbiasa untuk melihat mana proyek yang komersil dan mana yang harus didukung. Kadang, saya bermain di satu film, lebih untuk kepuasan batin atau karena ada semangat tertentu yang belum tentu saya dapatkan di tempat lain. Tidak semua dapat dinilai dari segi materi.”
Selain memproduksi film panjang dan layar lebar, rumah produksinya juga bergerak di bidang event organizer, dan pernah membuat video promosi untuk pariwisata serta dokumenter. “Saya sangat suka membuat promosi tentang daerah semacam itu, karena ada banyak hal yang belum pernah diangkat. Bisa main ke sana, menemukan, dan membuat sesuatu yang indah dari situ.”
Ia juga menyatakan bahwa ia ingin berkontribusi mengenalkan budaya di Indonesia lewat film, sebagai medium yang ia kenal. “Sedih juga sebenarnya, karena aku ingin kita punya strategi budaya yang benar, termasuk di film-filmnya. Lihat saja di Malaysia. Di bioskop-bioskopnya, film-film Malaysia diutamakan dan orang-orang yang bekerja di film juga diutamakan orang Malaysia. Mereka punya strategi budaya. Kita sendiri punya banyak produk budaya, termasuk film. Film juga bisa jadi bagian dari citra Indonesia juga, dan dibandingkan belajar lewat hal-hal yang terlalu teoritis, film bisa lebih dipercaya, lebih mudah untuk dipahami, dan berpengaruh. Jadi, jangan dianggap tidak penting. Cuma kalau terlalu banyak batasan, ya bagaimana ya.”
Soal batasan, ia bercerita tentang pengalamannya membuat Lastri. Film yang rencananya hendak digarap bersama Eros Djarot itu, merupakan salah satu upaya mewujudkan keinginannya membuat film klasik. “Saya masih patah hati ya kalau membicarakan Lastri. Di hati yang paling dalam masih merasa, “Duh, sayang sekali”. Namun, karena film itu berlatar tahun 1965, banyak pihak merasa bersinggungan, takut ini dan itu. Padahal, kami tidak ada niatan memojokkan pihak manapun pada saat itu. Mungkin karena orang-orang di sini masih melihat film sebagai medium politik. Kenapa ya tidak bisa dilihat saja sebagai produk kebudayaan? Itu kan juga bagian dari sejarah, lalu kenapa? Harusnya bisa jadi pendewasaan dan pembelajaran.” ucapnya.
Untuk rencana ke depan, ia dan adiknya, Olivia Zalianty, punya obsesi yang sudah lama terpendam. Yaitu, membuat film tentang Pulau Komodo. “Kalau itu jadi jalan, saya mungkin mau membantu proyek itu dulu. Yang lainnya, sambil berjalan saja. Saya sendiri tidak mau memaksakan diri untuk bikin sesuatu lagi karena masih terasa capeknya menjadi sutradara sekaligus produser pada film Rectoverso.”