Film Badai di Ujung Negeri (BdUN) kembali memunculkan nama Agung Sentausa. Ia pertama kali terjun ke industri film pada tahun 1998 dengan Garasi (2005) tentang kehidupan sebuah band. Agung banyak menggarap video klip musik dan juga beberapa film dokumenter. Ia juga terlibat dalam omnibus Belkibolang (2010) lewat film pendeknya Payung. Ia bercerita mengenai pengalaman syuting BdUN, optimismenya, dan industri film Indonesia.
Film Indonesia (FI): Bagaimana awalnya ide membuat film BdUN?
Agung Sentausa (AS): Dari dulu saya ingin membuat film tentang perbatasan. Berawal pada tahun 2004 ketika pertama kali saya datang ke sana. Setiap tahun saya datang ke Kepulauan Riau karena perbatasan ini unik. Satu provinsi tetapi berbatasan dengan banyak negara. Tadinya mau bikin love story. Namun, tahun 2009 akhir saya bertemu Mbak Pingkan (Warouw) dan Pak Andy (RM). Mereka ingin membuat film dan isunya tentang perbatasan, tetapi sudah ada skenarionya. Ide ceritanya dibuat Eddrie S. Dari situ kita kembangkan, dan kemudian skenarionya dilanjutkan oleh Ari M. Syarif. Lalu kita riset ke sana, sampai ke daerah Kepulauan Anambas, kota Tarempa.
Sambil mengembangkan cerita yang sudah jadi, kita elaborasi lagi bareng-bareng. Kita sepakat, kita sudah capek sama yang negatif-negatif, maksudnya yang sinis-sinis, yang saling menuduh, atau saling menyalahkan. Kita capek. Jadi, kita mau film ini bisa menularkan semangat positif atau optimis. Pastinya untuk Indonesia, artinya dalam kerangka Indonesia.
FI: Riset untuk film ini sejauh apa? Apakah termasuk melibatkan langsung TNI Angkatan Laut?
AS: Risetnya seputar banyak hal. Awalnya untuk daerah dulu. Kita mencari perbatasan yang seperti apa sih? Akhirnya lokasi syutingnya dipilih di Pulau Bintan, kota Tanjung Pinang. Ini perbatasan yang unik. Kalau bikin film atau latar cerita di perbatasan, orang biasa mengasosiasikan dengan sepi, tidak ada orang, dusun yang jauh dari mana-mana. Ini uniknya justru hanya dengan satu-dua jam, membayar Rp 60.000, sudah bisa sampai Singapura, tidak pakai visa pula. Kemudian kami juga riset ke TNI. Pertama kali datang ke latihan gabungan Marinir di Situbondo. Awalnya saya masih bingung, mau bikin film dari kaca mata mana. Yang saya tahu, tidak semua orang suka sama tentara, dan cenderung menyalahkan. Kebetulan saja mereka pakai seragam, jadi lebih gampang menunjuk mereka (untuk disalahkan).
Kami kemudian ingin membuat film yang menghibur, bukan film yang berat. Biasanya ketika seseorang membuat film di luar Jakarta, langsung membuat film berat, yang mikir, yang orang tidak mudah mengerti. Sedangkan kita membuat film yang menghibur, film sederhana yang membuat orang terhibur. Film hiburan kan ada action-nya, adventure-nya, enak ditonton, ada drama romantisnya. Ya, dengan ‘pagar-pagar’ itulah. Ada satu pagar lagi, kita juga ingin bercerita tentang pembajakan kapal tanker.
FI: Berapa total waktu yang dihabiskan untuk syuting film ini?
AS: Rencananya 45 hari syuting, tapi akhirnya jadi 65 hari syuting. Seluruhnya hampir tiga bulan: Pulau Bintan dan sekitarnya, Pangandaran, dan Surabaya.
FI: Sebelumnya Anda membuat film tentang musik dan film pendek seputar keseharian, sedangkan di film ini cukup banyak adegan laga. Apakah ada referensi film laga tertentu atau Anda ingin membuat film laga yang seperti apa?
AS: Film ini bisa dibilang film yang banyak maunya. Serba ada. Ada action tembak-tembakan, ada silat, ada tenaga dalam, ada berenang dan menyelam di bawah laut, ada pesawat udara. Saya tidak membuat berdasarkan referensi tertentu, tetapi berdasarkan apa yang ada di kepala saya dan apa yang mau saya bikin. Saya suka sama komik. Jadi, saya menyederhanakan karakter-karakter dan cerita di film ini seperti komik. Bukan komik yang rumit, tapi komik yang begitu menyederhanakan banyak hal. Karakterisasinya disederhanakan, plot ceritanya juga bukan sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang klasik. Ada tentara, ada gadis setempat, terus jatuh cinta, ada persahabatan dengan orang setempat, kemudian ada penemuan mayat. Sesuatu yang mudah dimengerti. Kalau kita mau menghibur pastinya dengan sesuatu yang ringan tanpa mengurangi apa yang mau kita bagi.
Komik menjadi inspirasi, makanya posternya agak comical. Dari awal, saya mau film ini ada rasa komiknya. Kami juga bikin komik tiga seri yang bisa diunduh di situs web. Cerita dalam komiknya berlangsung sebelum cerita dalam film ini dimulai. Menceritakan pertama kali Joko ketemu Badai, pertama kali Badai sama Anisa ketemu. Termasuk 20 episode sandiwara radionya juga bercerita tentang karakter-karakter dalam film ini sebelum film ini dimulai, seperti waktu Joko sama Badai masih di Akademi. Jadi, kita membuat filmnya dulu, tapi setelah membuat filmnya, kita kan mau promosi. Daripada sebatas membuat iklan di radio, kami bikin sandiwara radio. Intinya, kita mau memakai apa yang kita punya. Saya suka audio visual, tapi juga suka audio saja, dan suka visual saja. Saya suka musik, suka sandiwara radio, suka fotografi. Ya, kenapa nggak? Pada film Garasi sebenarnya juga ada rasa komiknya. Entah di posternya atau filmnya.
Kendala
FI: Apa saja kendala saat produksi?
AS: Kendalanya itu badai dari awal sampai akhir (tertawa). Tingkat kesulitannya tinggi. Hampir 90% lokasi kita outdoor dan berhubungan dengan air laut. Menjaga kontinuitas film karena air laut kan pasang surut. Belum lagi syuting di atas kapal tanker yang panjangnya 283 meter dan tingginya kurang lebih 15 meter. Dia nggak merapat ke pelabuhan. Untuk naik ke kapal, perlu semacam tangga yang cuma bisa dinaiki tiga orang. Tingkat kecuramannya tergantung tinggi air laut. Pak Jojon sampai diangkat naik crane. Belum lagi kendala cuaca, setiap hari hujan, di tengah ombak. Lumayan heboh. Hampir semua kru di sini punya pengalaman baru. Di Hollywood saja, jarang sekali orang bikin film yang berhubungan dengan laut. Kalau pun iya, paling banyak ya bikinnya di studio.
FI: Apa yang ingin Anda capai lewat film ini?
AS: Ya ingin menularkan semangat positif itu tadi. Hanya kebetulan sudah ada ide awalnya, saya jadi harus bergerak di area yang sudah ada. Terus terang, belum pernah terbesit sekali pun di kepala saya untuk membuat film seperti ini. Awalnya kan I’m into fantasy or children movie. Namun, di Indonesia belum banyak. Saya suka animasi, penggemar film-filmnya Studio Ghibli. Untuk bikin film animasi yang layak di Indonesia, butuh waktu, dana, dan segala macam. Jadi, kebetulan ada ini, kenapa nggak? Kami mau bikin sesuatu yang, minimal, netral positif. Kadang-kadang ketika mau bawa isu, filmnya jadi serius banget. Ketika nggak serius, jadi terlalu nggak serius. Belum ada film yang di tengah-tengah. Membawakan sebuah isu, iya. Mau mencoba menghibur, iya. Kami coba ke arah film yang masih jarang.
FI: Apakah Anda akan membuat film-film yang berada di wilayah itu?
AS: Nggak harus, sih. Kata kuncinya adalah saya mau berbagi apa yang ada di kepala saya. Apa yang menurut saya baik, akan saya bagi lewat film saya. Baik itu hubungan ibu-anak, kakak-adik, pertemanan. Saya selalu mau, apa yang saya bagi adalah sesuatu yang membuat orang mau hidup seribu tahun lagi. Bukan yang habis ditonton malah bikin ingin bunuh diri. Sudah banyak di kehidupan sehari-hari, yang bikin ingin bunuh diri. Saya ingin, setelah orang nonton film saya, jadi punya semangat hidup. Yang tadinya ragu mau bikin band, jadi bikin band. Yang tadinya males, jadi lebih bisa mengapresiasi. Yang kurang dari orang kita tuh apresiasi. Saya masih belajar. Yang lain juga. Ibarat bayi belajar jalan, pasti jatuh bangun. Yang perlu justru apresiasi.
FI: Lalu, ada keinginan untuk membuat film animasi?
AS: Mau banget. Dari dulu mau banget. Energi untuk bikin film (animasi) pendek sudah ada. Namun, energi dan bujet untuk bikin film panjang kayaknya belum. Durasi pembuatannya jauh lebih panjang meski secara biaya mungkin bisa sama tetapi secara energinya belum. Animator kita banyak yang bagus.
FI: Film ini diproduksi oleh rumah produksi baru. Bagaimana rasanya bekerja dengan Quanta Pictures? Apalagi film ini menjadi produksi pertama mereka.
AS: Seru banget. Produser dan Produser Eksekutifnya juga. Mereka pernah bekerja di media. Mbak Pingkan pernah jadi penyiar, Pak Andi orang komunikasi dan audio visual. Jadi, proses kreatifnya justru sangat dibuka, nggak ditahan-tahan. Kalau kita belum puas (dengan hasilnya), ya jangan bilang puas. Meskipun pasti ada perdebatan, adu argumentasi, ya semuanya dari kaca mata ingin yang terbaik untuk filmnya. Yang menyenangkan itu.
FI: Anda pernah membuat membuat film panjang dan juga film pendek. Apakah ada perbedaannya?
AS: Ada pastinya. Yang satu durasinya 8 menit, yang satu lagi 90 menit. Energi story telling-nya juga berbeda. Film panjang itu seperti kumpulan film pendek yang menjadi satu kesatuan yang utuh. Saya banyak mengerjakan apapun yang berhubungan dengan video klip. Awalnya saya nggak terlalu ingin berkarya lewat film pendek, karena cerita yang keluar dari kepala saya biasanya panjang. Namun, setelah ikutan membuat film di Belkibolang, saya jadi ketagihan membuat film pendek. Cuma, kalau bikin film pendek, ya biasanya siap-siap harus ada kelebihan uang atau dapat funding.
Susah
FI: Bagaimana pandangan Anda mengenai industri film di Indonesia?
AS: Industri film kita masih bayi, kita masih belajar. Tapi yang penting, apa itu industri? Kalau kita bicara industri, industri itu tidak berkolerasi langsung dengan kualitas. Yang harus kita lihat, industri ada ketika ada orang yang bekerja. Begitu pun sebaliknya. Makin besar industrinya, makin banyak orang yang terlibat. Misalnya, yang bikin kopi di tempat syuting. Mau genre-nya apapun, dia harus bisa bikin kopi. Nggak bisa dia menunggu tahun depan dulu untuk bikin kopi.
Jepang, misalnya. Ia penghasil film paling produktif keempat dunia, dengan 70 persen filmnya film porno, tapi tetap ada juga film-film yang bagus. Film berkualitas bisa ada kalau industrinya jalan, kalau investor nggak kapok investasi. Bisnisnya ada. Mungkin nggak semua orang harus seperti itu, setiap orang punya pilihan sendiri-sendiri. Yang penting kontinuitas dan sistem industri yang sehat.
Di sini, kenyamanan dan keamanan bisnisnya masih kurang, terkait banyak pihak termasuk pembuat film, aktor, alat-alat, lokasinya, izin. Jadi, nggak cuma satu hal. Yang terjadi, karena industrinya nggak jalan, semua orang berlomba-lomba produksi dengan memperkecil bujet, memperpendek waktu produksi, yang membuat kualitasnya bukan bertambah, tapi mundur. Saya yakin, setiap orang yang bikin film, ingin filmnya ditonton dan disukai orang, apapun bentuk film itu. Setiap orang berusaha melakukan yang terbaik di posisinya.
FI: Dengan kondisi seperti itu, apa ekspektasi Anda untuk BdUN?
AS: Yang jelas sih dengan kondisi yang ada, saya tidak berharap banyak. Yang bisa saya lakukan optimis saja. Kalau kita selalu takut, ya nggak bikin-bikin. Kalau kita bikin, harus ada niat baik. Film berikutnya bisa meningkatkan apa yang kita punya. Semangat-semangat itu yang justru penting. Yang perlu kita lakukan: saling apresiasi. Kita tahu, bikin film itu nggak gampang. Bikin film di Indonesia itu susah.
FI: Apakah Anda punya target tertentu untuk produksi film tiap tahun, misalnya?
AS: Nggak, sih. Memang saya akhirnya jadi sutradara yang paling tidak produktif (tertawa). Ada kondisi-kondisi lain yang harus saya lihat. Bisa dibilang, tidak semua orang punya ‘kemewahan’ seperti saya. Saya masih bisa makan, nggak cuma dari film. Mungkin kekurangan saya adalah less productive, tapi kelebihan saya adalah keleluasaan bisa memilih apa yang mau saya bikin. Namun, saya juga mau produktif karena terlalu banyak hal di kepala yang mau dijadikan film, yang mau dibagi.