Walau sempat hilang dari layar lebar selama 17 tahun, akting Donny Damara tetap menjadi perhatian, terutama lewat film Lovely Man. Ia berperan sebagai seorang transgender sekaligus sosok ayah yang kembali ditemukan anaknya. Lewat film ini, Donny mendapatkan penghargaan sebagai Aktor Terbaik pada ajang Asian Film Awards 2012, Maret lalu. Ia mengalahkan empat unggulan lainnya yaitu Andy Lau (A Simple Life), Chen Kun (Flying Swords of Dragon Gate), Park Hae Il (War of the Arrows), Yakusho Koji (Chronicle of My Mother). Jauh sebelumnya, ia pernah menjadi unggulan untuk Pemeran Pembantu Pria Terbaik pada Festival Film Indonesia 1991, lewat film Perwira dan Ksatria.
Wajahnya mulai dikenal sejak ia menjadi bintang iklan sebuah produk margarin ketika masih kecil. Hal inilah yang kemudian mengantarnya berkarir sebagai model. Memulai karir di layar lebar pada tahun 1988, ia bermain untuk dua film pada tahun 1989, dan bertambah menjadi empat film pada tahun 1990. Tahun tersebut sekaligus menjadi fase berakhir aktingnya di layar lebar sebelum lebih banyak berakting untuk sinetron maupun film televisi. Ia kembali mengisi peran di layar lebar pada tahun 2007 dengan peran-peran yang berbeda ketika masih remaja dulu. Mengapa sempat hilang selama 17 tahun? Apakah itu mempengaruhi karirnya? Ia bercerita tentang perannya di Lovely Man, perjalanan karirnya, dan arti akting untuknya.
Film Indonesia (FI): Bagaimana awal terlibat dalam produksi Lovely Man?
Donny Damara (DD): Awalnya, ya seperti biasa, layaknya awal-awal yang lain. Teddy Soeriaatmadja, sutradara, mengajak ngobrol dan ketemu, lalu dia menceritakan inti dan jalan ceritanya. Waktu itu saya belum dikasih skenario, tapi Teddy sudah menceritakan secara garis besar, bahwa ia akan membuat Lovely Man. Mungkin saat itu Teddy juga sudah beberapa kali casting ya.
FI: Anda berperan sebagai seorang transgender di film ini. Apakah Anda melakukan riset terlebih dahulu? Kalau tidak salah, sebelumnya Anda juga pernah berperan sebagai transgender di salah satu FTV.
DD: Jadi transgender iya, tapi ceritanya beda. Waktu itu lebih superfisial. Untuk soal riset, teman saya cukup banyak yang transgender. Jadi, untuk mempelajari atau mengobservasi, saya tidak perlu mulai dari nol sekali karena kebetulan juga ketika saya jadi model, jadi peragawan, banyak teman-teman saya yang transgender.
Saya banyak mempelajari bagaimana cara mereka bersikap, tingkah laku, termasuk mendengar cerita mereka tentang pacar, tentang keluarga, tentang bagaimana dia dicemooh, ya mungkin mulai dari situ. Namun, tidak ada satu role model yang saya ambil. Akhirnya saya menerjemahkannya sendiri seperti apa dan ternyata sesuai yang diinginkan oleh Teddy. Kebetulan juga, lawan main saya, Raihaanun, enak sekali diajak bermain.
Sebenarnya kan ceritanya sangat standar dan klasik, pola hubungan antara ayah dan anak. Cuma hubungan di sini adalah hubungan yang absurd, menurut aku. Hubungan yang absurd di mana ayahnya seorang transgender dan anaknya berjilbab, dihamili pula. Terlepas dari norma atau apapun ya, aku bicara pola hubungan dan keterlibatan emosional antara ayah dan anak. Itu saja sih.
Satu yang saya kagum bagaimana Teddy bisa mengemas ide cerita itu menjadi sebuah cerita yang menarik, bahasanya juga sehari-hari. Saya banyak sekali mendapat pesan di situ, seperti kalau ada masalah ya jangan menghindar. Begitu mentok, cari jalan lain. Mungkin intinya, kita nggak pernah tahu 'benar' kalau kita belum pernah berbuat salah.
FI: Bagaimana proses menemukan karakter tokoh di film ini?
DD: Waktu reading, ada tiga warna yang berbeda. Satu, banci kaleng banget. Sepertinya sudah terlalu banyak tokoh transgender yang digambarkan seperti itu. Dua, banci yang agak-agak berwibawa, elegan. Satu lagi, ya terserah aku. Jadi, aku mencampurkan ketiganya. Teddy bilang, “Elo tinggal mainin yang menurut lo. Terserah menerjemahkannya gimana. Nanti gue yang kasih pagar kalau kelebihan, dan nanti gue pompa dikit kalau kurang.”
FI: Apakah ada perbedaan dengan karakter di sini dengan karakter transgender di FTV dulu?
DD: Intinya, peran transgender di FTV itu jadi sebagai salah satu bekal. Waktu di situ, aku lebih banyak ngondek-nya (lebih menonjolkan gerak keperempuanan). Di sini ya udah maskulin saja, karena siangnya jadi kuli. Agak berbeda karena ada stereotype bahwa transgender itu pasti seperti yang ngondek tadi, padahal tidak semua seperti itu. Intinya, di film ini lebih ke pola hubungan yang absurd. Aku tidak mengkaitkan dengan agama, tapi memang absurd saja, dan itu memang banyak terjadi. Sisanya, aku lebih melihat bagaimana mereka bisa survive. Bertahan dari cemoohan, lingkungan dalam, lingkungan sosial, bahkan dari lingkungan mereka sendiri. Itu yang menurutku hebat, walau perih pasti di dalamnya.
FI: Apa adegan tersulit dalam film ini?
DD: Ya salah satunya adegan pemerkosaan itu, ya. Saya lupa, saya take berapa kali untuk melakukan itu. Cukup banyak, kalau tidak salah lebih dari 5-6 kali. Itu pertama kalinya aku melakukan adegan itu. Pertama kali juga aku memakai sepatu high heels, berjalan, lari-lari. Enaknya bekerja dengan Teddy, ia selalu mendiskusikan apapun kepada kita berdua, Haanun dan saya. Dia bilang, “Gue mau ngambil ini, mungkin nggak?” Lalu, ya oke, saya lakukan. Pas pertama kali melakukan adegan yang disodomi itu, rasanya cuma, “Ya udah, gue jalanin.” Namun, hati saya nggak ‘ikut’ waktu itu. Belum blending. Dari mata saya kelihatan, dan ketika kurang ya ditanya kemungkinannya untuk diulang lagi. Ya sudah, jadi beberapa kali take. Untuk adegan lainnya, rata-rata saya sama Haanun melakukan di take pertama. Ketika dirasa sudah ‘dapat’, ya cukup.
FI: Apakah Anda keberatan karena ada adegan yang disensor?
DD: Hmm, mungkin nggak terlalu mengganggu cerita, cuma penekannya jadi kurang. Namun, kalau buatku tidak apa-apa, yang penting tayang dulu. Paling tidak, semua bisa lebih apresiatif, bahwa ini ada film baru, coba lihat yuk. Toh, waktu premiere kemarin aku ajak Ibuku nonton. Ternyata dia nangis juga. Banyak juga teman-temanku pada meneteskan air mata juga (tertawa).
FI: Soal kemenangan di Asian Film Awards, apakah ada ekspektasi soal itu?
DD: Ya, menurutku, kalau ikut pertandingan atau perlombaan pasti berharap ingin menang. Apapun itu lombanya. Jadi, ya ingin menang iya, tapi tidak terlalu berharap sekali. Unggulan lain juga bagus. Siapa yang nggak tau Andy Lau? Dia kan ikonik. Ya, waktu menang, aku cuma bilang, “Ted, kita dapat, Ted.” Jadi, saya nggak bilang saya yang dapat, tetapi tim Lovely Man. Mungkin Tuhan menitipkan lewat saya, tapi buat semua teman-teman. Bisa dibilang, ini salah satu pencapaian terbesar selama saya di bidang ini. Dan memang bangga ya, film Indonesia bisa bicara di dunia Internasional. Kalau bisa malah mudah-mudahan bisa masuk Oscar. Lagipula, banyak kok film-film Indonesia belakangan ini yang sudah diterima di dunia Internasional, banyak banget.
Perjalanan Karir
FI: Bagaimana perjalanan karir sebelum masuk ke dunia film? Anda lebih banyak dikenal sebagai model.
DD: Aku dulu pertama kali jadi bintang iklan untuk Blue Band. Seneng aja, pas waktu lagi liburan, ditawari iklan itu, ya sudah. Sekolah pakai (uang dari) itu, SMP pakai itu, SMA masih pakai itu. SMA mulai dengan foto-foto model, beranjak lagi jadi runaway model, lalu catwalk model. Waktu SMA di Kanisius, aku sudah ikut teater. Beberapa kali ikut pentas di TIM, di Festival SMA Se-Jakarta. Sempat ditawari bermain film waktu SMA, tapi kayaknya agak sulit ya untuk bolos, jadi tidak diambil. Akhirnya, pas kuliah lah, tiga-tiganya jalan. Kuliah jalan, syuting jalan, foto jalan. Memang dasar anak bandel ya dulu. Kalau saya lagi ke lokasi, teman-teman yang ngumpetin saya. Dulu setiap ke lokasi, karena belum ada laptop, saya bawa mesin tik untuk bikin paper (tertawa).
Nah, untuk era di film, kayaknya memang aku tidak terlalu produktif dibanding teman-teman seangkatanku, Adjie Massaid atau Tio Pakusadewo. Waktu itu ada masanya mau main juga sama teman-teman, lebih banyak me-time, ngumpul sama teman-teman, karena pada dasarnya aku memang tukang ngobrol. (Ia tidak mengandalkan agensi untuk mendapat tawaran kerja, sehingga semua keputusan terhadap tawaran kerja berada di tangannya.)
FI: Berarti Anda memang tidak punya latar belakang sekolah akting?
DD: Iya, hanya teater pas SMA saja. Aku tidak ambil akting secara akademis, ya. Sedangkan lewat teater aku belajar olah tubuh, olah vokal, pendalaman karakter, cuma itu saja dapatnya. Pada akhirnya juga kita yang harus menerjemahkan, kan. Misalnya, jadi Romeo di karya Shakespeare, misalnya cara dia jadi womanizer, bisa jadi sesuai versi kita sendiri. Selain itu, saya banyak belajar dengan pelatih akting pada waktu syuting, atau lebih banyak bertanya pada aktor-aktor senior waktu itu, seperti Mas Didi Petet, Mas Slamet Rahardjo.
FI: Anda sempat 17 tahun tidak bermain layar lebar. Ketika itu, Anda lebih banyak mengerjakan apa?
DD: Oh ya? Sampai 17 tahun, ya? Ya, pada saat itu sempat main sinetron. Pada waktu itu kan istilahnya film sempat mati suri dan memang yang lagi booming adalah sinetron. Mulai lah semua di situ. Pada waktu itu, film hampir sama dengan sinetron, masih pakai sistem dubbing.
Jadi, apapun yang kita ucapkan, kita harus bilang ke bagian skrip, tadi kita ngomong apa saja. Pada waktu dubbing kesulitannya adalah menyamakan emosi yang harus kita ingat-ingat lagi, dan harus sama dan sinkronisasi dengan gambar pada waktu itu. Sekarang sudah jarang sinetron yang ada proses reading, bedah skrip, bedah naskah. Bisa dikatakan nggak ada.
FI: Jadi, apa yang menjadi pertimbangan setiap mengambil tawaran peran?
DD: Saya sebenarnya tidak memilih, ya. Seperti yang saya bilang tadi, tergantung me-time dan mood saya saja. Kalau lagi senang, ya saya ambil. Lalu, ketika aku memutuskan untuk mengambil ya, harus siap dengan segala konsekuensinya, yang artinya me-time aku ada yang hilang. Kalau soal beralih ke sinetron, ya bisa dibilang pada masa itu, hampir semua pemain film juga terjun ke situ. Sedangkan kalau aku kurang produktif, ya karena aku harus menyelesaikan kuliah aja. Waktu pertama kali main film itu ketika aku kuliah semester II, karena pada semester I belum bisa bagi waktu, belum bisa titip absen (tertawa). Aku juga sempat kuliah lagi, ambil D3 Sipil, sehingga sempat hilang beberapa lama juga.
FI: Apa yang kemudian membuat tertarik berakting untuk film layar lebar pada saat itu?
DD: Pertama kali syuting, lebih karena saya merasa saya sudah bisa membagi waktu, ya. Kalau soal keinginan, sebenarnya sudah lama sekali. Pertama kali ditawarkan bermain film, ketika saya masih SMA. Mau sih, tapi kan semuanya balik lagi ke saya. Semester I juga belum bisa, baru deh pas semester II itu. Masa sih, saya nggak mau mencoba? Lalu ya, kalau orang bilang syuting jadi candu, menurut saya itu ada benarnya. Di film, ada satu racun, yang saya tidak tahu itu apa, yang membuat kita mau bermain lagi, mau ke situ lagi, saya bisa berekspresi jadi orang lain, seribet apapun proses di dalamnya, ya.
FI: Ada peran tertentu yang Anda inginkan tetapi belum kesampaian?
DD: Hmm, aku ingin jadi psikopat, seperti di film Silence of the Lambs. Nggak usah kejam, tapi ketahuan “Wah, dia psikopat, nih.”
FI: Kalau aktor yang menjadi inspirasi Anda?
DD: Ya, standar sih, Robert de Niro, Dustin Hoffman, Willem Daffoe, dan... Roger Moore, tapi waktu dia bermain di serial The Saints. Wah, asyik banget tuh dia.
FI: Lalu, apakah arti akting bagi Anda sendiri?
DD: Bagi saya, akting seperti katup-katup pelepasan dari rutinitas sehari-hari. Dari rutinitas itu ada fase jenuhnya ya, dan buat saya salah satu katup pelepasannya adalah berakting. Mencoba keluar dari aku, memerankan orang lain, seoptimal mungkin. Pasti setelah itu beda rasanya. Tentunya juga tantangan, ya. Setiap peran yang saya jalani, saya mesti mencari ada apa di balik tokoh tersebut. Misalnya, saya jadi si A, apa yang menarik dari dia, lalu mulai terbayang, bagaimana memerankannya. Baru setelah itu, saya harus berkali-kali baca, mendalami cerita, dan syukur-syukur bisa observasi. Menyamakan persepsi tentang si tokoh antara pemain dengan sutradara juga perlu.
FI: Setelah 17 tahun apakah tawaran perannya juga berbeda?
DD: Yang jelas saya sudah tidak jadi anak SMA atau anak kuliah lagi (tertawa). Awal-awal dulu, saya ceritanya bekerja di satu radio, yang ketika itu lagi hits, kemudian jadi dosen muda, dan terus bergeser. Tentunya saya mencari, ada konflik apa yang menarik dari tokoh itu. Intinya, walaupun peran kecil, tapi tetap harus bermain total dengan porsi akting yang sesuai.
FI: Bagaimana perbedaan pengalaman bermain film dulu dengan sekarang?
DD: Dulu, hari syuting itu bisa sampai kurang lebih 2-3 bulan, belum termasuk dubbing. Namun, sudah termasuk reading dan bedah naskah. Setelah itu, sambil menunggu proses editing offline, membuat rough copy, kita sudah syuting di tempat lain. Begitu masuk ke proses dubbing, kita harus masuk dan ingat-ingat lagi, emosi waktu syuting seperti apa. Ya, lebih berat dulu, karena sekarang teknologinya juga lebih mempermudah. Ya intinya ketika dulu, menjaga emosi itu yang cukup sulit karena rentang waktu yang lama tadi. Terus, kita juga nggak pernah bisa lihat di monitor ya, akting kita seperti apa. Yang tahu cuma kameramen sama Tuhan (tertawa). Kalau sekarang, energi untuk syutingnya bisa lebih banyak. Namun, walaupun teknologi membuat kondisi sekarang tampak lebih mudah, tapi jangan memudahkan juga. Terlepas dari itu, saya pikir orang-orang yang di dalamnya, terutama etos kerjanya masih sama, ya.
FI: Bagaimana interaksi dengan pemain-pemain baru?
DD: Tidak ada kendala. Karena dibantu dengan proses reading, blocking, sampai kita bisa berbaur satu sama lain, jadi bisa dapat chemistry-nya. Menurut aku proses sebelum syuting itu penting, jadi pada saat kita on set, kita sudah tahu mau seperti apa dan mulai membayangkan kejadian sebelum ini apa, kejadian sesudah ini apa. Kadang-kadang juga ada masanya ketika saya bodoh juga ketika harus berakting setelah lama tidak berakting dan bodohnya itu dalam hitungan hari, jadi itu bisa terbantu ketika ada reading.
FI: Apakah akan terlibat produksi dalam waktu dekat?
DD: Sejauh ini ada dua film, tetapi saya baru menyelesaikan satu film berjudul Pintu Harmonika.