Dua film yang ia perankan (7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita dan Batas) beredar di Indonesia dalam minggu ini. Hampir empat dasawarsa lalu ia memulai karir peran di Teater Kecil yang dipimpin Arifin C Noer. Jajang kemudian menikah dengan Arifin.
Menjelang usia kepala lima, karir peran Jajang di layar lebar menanjak. Setelah produksi film Indonesia kembali bergairah sejak awal tahun 2000-an, namanya tercatat sebagai pemain dalam dua sampai tiga film setahun. Perannya sebagai Bunda dalam Eliana, Eliana (2002) tak terlupakan. Jajang mendefinisikan tokoh ibu yang keras hati pada dasawarsa awal 2000-an, seperti Tuti Indra Malaon pernah melakukan hal yang sama dalam Ibunda (1986) hampir dua puluh tahun sebelumnya.
FI menemui aktris matang usia yang gemar mengenakan sarung dan bersanggul ini pada Selasa, 26 April 2011 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
filmindonesia.or.id (FI): Bagaimana caranya mempertahankan karir akting yang panjang sementara perfilman Indonesia bolak-balik mati?
Jajang C Noer (JCN): Nggak tahu. Waktu film Indonesia lagi bagus, gue nggak dipakai kan?
FI: Dalam film-film kita tahun 1980-an, memang Mbak Jajang jarang main. Apa waktu itu orang belum melihat kualitas akting Mbak?
JCN: Karena orang taunya gue kru penyutradaraan, Arifin C Noer aja nggak bisa lihat! [tertawa] Memang nggak pas, karena gue nggak feminin, suara gue nggak feminin. Dulu saking suara itu penting, Christine Hakim, di-dub oleh Titi Qadarsih, baru kemudian dia pakai suara sendiri. Roy Marten juga pertama di-dub, biasanya oleh Nugraha atau Torro Margens. Christine dan Roy suaranya dianggap terlalu cempreng.
Waktu itu memang nggak ada peran yang cocok buat gue. Gue orangnya kan nggak feminin, nggak cantik… jadi bukan tipe perempuan yang 'film' begitu. Walaupun kepingin banget main film, tapi gue mulai kerja untuk film sebagai pencatat skrip. Kalaupun dapat, biasanya peran-peran sisa.
Satu-satunya gue dikasih main waktu Bibir Mer (1991). Mas Arifin tadinya mau Titiek Puspa, karena gayanya seperti ’madame’. Tapi dia nggak mau. Lalu Widyawati nggak mau juga. Waktu Mas Arifin akan minta Tatiek Wardiono, gue bilang, "Jajang aja, Mas." Dia tanya, "Kamu mau?" Akhirnya dapat peran itu. Dari situ dapat Piala Citra, hadiahnya Rp 2,5 juta. Setelah itu tetap dapat peran yang kecil-kecil. Sepertinya sebagai peran utama gue kurang qualified.
FI: Tapi ada film seperti Cintaku di Rumah Susun (1987)?
JCN: Pokoknya yang gila-gila gue yang mainin deh. Waktu Cintaku di Rumah Susun itu kebetulan gue ketemu Nya Abbas Akup di Studio 41 di Mampang. Kami lagi mempersiapkan Djakarta 1966 (1982) di sana. Rupanya Nya Abbas Akup juga membangun set di sana. Waktu itu yang aktris harus main mendadak nggak bisa. Shooting mau mulai hari Senin, gue tiba-tiba ditelepon Sabtu malam. Gue langsung mau karena kepingin sekali main.
FI: Memangnya dulu nggak pakai proses casting?
JCN: Dulu itu sutradara yang menentukan. Produser bisa bilang, "Aduh nggak bisa, dia mahal!" atau "Aduh, dia bawa sial!” [menurut perhitungan Tionghoa]. Itu saja. Sekarang sebaliknya, produser menentukan siapa yang main. Seandainya nggak bisa akting, masuk acting coach. Gue nggak ngerti sebetulnya casting director buat apa, ya? Sepertinya mereka cuma harus mengatur jadual dan menegosiasikan harga. Gue dua kali nggak jadi main gara-gara salah paham soal jadual dan harga dengan casting director.
FI: Apa zaman sekarang sutradara nggak ngomong langsung sama aktornya lagi?
JCN: Yah… yang mahasiswa film aja sekarang udah punya casting director. Lagipula seperti kata Mas Arifin, peran yang mencari pemain. Bukan sebaliknya. Sutradara seperti Mas Arifin pun nggak pernah bikin peran untuk pemain tertentu. Dia akan ciptakan dulu karakternya dalam skrip, sesudah itu baru mencari pemain yang cocok.
FI: Film 7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita membuat Mbak Jajang main dua kali, ya?
JCN: Awalnya film ini adalah tugas praktik Robby [Soediskam]. Filmnya pendek, kalau nggak salah lima menit. Film pendek ini dipasang di YouTube. Mahasiswa kita di Australia melihat film ini dan mereka mau putar untuk pembukaan festival mereka. Karena ternyata filmnya pendek, para mahasiswa ini minta dibuatkan versi panjangnya. Ceritanya masih sama, tentang ginekolog dengan banyak pasien yang masing-masing punya persoalan sendiri.
FI: Berarti tidak ada proses casting ya?
JCN: Nggak juga, ketika pemain-pemain awal nggak bisa, baru ada casting. Waktu main film pendek semua pemain nggak dibayar. Waktu mau bikin film panjang, gue minta dibayar.
FI: Kenapa?
JCN: Supaya biarpun mereka masih mahasiswa film tapi nggak seenaknya. Tadinya gue main gratis karena anak gue, Nazyra, masih kuliah. Anak-anak IKJ boleh dapat gratis. Tapi jadi kebanyakan yang minta. Sekarang gue minta mereka bayar biarpun cuma 100 ribu. Setidaknya buat ongkos taksi.
FI: Bagaimana rasanya kerja dengan sutradara muda sekarang?
JCN: Biasa saja, sih. Kadang-kadang memang masih ada kesalahan. Tapi kalau nggak terlalu salah gue nggak akan protes. Gue juga nggak mau sutradara bilang gue sok tahu. Kalaupun misalnya ada yang gawat, biasanya gue tarik aja ke tempat yang nggak terlalu kelihatan orang dan ngomong berdua.
FI: Karakter Kartini dalam 7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita bagaimana?
JCN: Sangat biasa. Gue hanya pendengar pasien, nggak ada ledakan emosi. Karakter ini nggak kasih kesempatan gue untuk mencari. Kalau di Batas, orang bilang gue main bagus. Tapi itu kayaknya karena logat yang memang gue bikin lain.
Kita baru bisa melihat orang main bagus kalau nuansa karakternya banyak, misalnya seperti gue di film Eliana-Eliana. Waktu itu gue bilang sama Riri [Riza], "Ri, gue maunya kayak begini ya." Secara sadar gue memberi bentuk pada empat adegan marah. Ada satu yang gue teriak, satu gue tahan, satu gue dingin… pokoknya empat bentuk yang lain. Dan itu berhasil menurut gue. Kita bisa terpesona dengan karakter orang bila kita bisa melihatnya sebagai manusia utuh. Karena kata Mas Arifin, kalau kita orang baik-baik, bukan berati kita nggak bisa tertawa terbahak-bahak. Kalau kita manusia dingin, bukan berarti kita nggak bisa menangis. Manusia utuh itu warnanya banyak, itu yang mesti gue kasih lihat.
FI: Bagaimana cara mempersiapkan karakter?
JCN: Gue selalu berusaha cari model yang pas dengan karakter yang gue mainin, supaya gue jadi lain. Dalam film gue bukan Jajang, yang terjadi adalah [perpaduan antara] Jajang, peran itu dan si model.
FI: Itu metode yang didapat dari teater?
JCN: Bukan. Kalau di teater kan penontonnya jauh, jadi karakter nggak terlalu menonjol. Tapi di film dan TV karakter harus muncul, terutama dari dalam si aktor. Sutradara kayak Rudi [Soedjarwo] memperhatikan betul. Kalau dia dengar kita hanya mengucapkan kalimat - dalam istilah dia 'nggak berdaging' - dia bakal jelasin bagaimana seharusnya.
FI: Bagaimana cara Rudi menyutradarai?
JCN: Dia tidak mendikte, itu bagusnya. Dia memberitahu dan memberi contoh. Kalimat yang keluar bukan, "Kamu harus begini." Tapi, "Kamu pernah merasa begini nggak?” Jadi orang mencari sendiri.
Nah, begitu juga dengan Mas Arifin, dia nggak pernah mendikte. Itu sebabnya kami selalu punya pegangan sendiri-sendiri. Kalau ada pemain yang kurang bagus, pertama dia kasih bisnis (kesibukan - Red.). Dikasih alat supaya bergerak dan natural. Kalau masih nggak bisa juga, dikasih kaca mata hitam. Masih juga nggak bisa… hanya dikasih tampak punggung.
FI: Apa tantangan terbesar akting?
JCN: Gue susah ingat dialog. Waktu kecil kalau cerita sesuatu juga susah. Karena teater gue lebih bisa bicara dan bercerita. Sampai sekarang kalau main hari pertama gue pasti grogi. Gue bersyukur kalau dikasih scene-scene nggak penting di awal. Di teater juga gue sering lupa dan lompat dialog. Ini sudah sering jadi bahan bercanda, teman-teman sering bilang, ”Hari ini Mbak Jajang lupa apa lagi, ya?”
FI: Dulu sutradara teater rata-rata juga sutradara film, kan? Apa aktor diajar cara membedakan akting di panggung dan di depan kamera?
JCN: Biasanya hanya dibilangin, "Jangan besar-besar.” Kalau di teater semuanya mesti besar. Vokal harus kuat dan jauh, karena waktu itu belum ada mikrofon. Gerakan di teater harus betul-betul kelihatan. Kalau di depan kamera kita cukup menoleh atau kasih gerakan mata. Dibanding akting di panggung sebetulnya di film lebih enak. Cuma kalau di film kita berkeringat dan harus menjaga continuity [antar shot]. Itu nggak gampang karena kru belum tentu memperhatikan continuity.
FI: Apa bedanya film Indonesia dulu dan sekarang?
JCN: Anehnya walaupun sekarang lebih bebas [dibanding masa Orde Baru], tapi skrip kita nggak jadi lebih baik. Gue nggak ngerti kenapa begitu, padahal banyak yang bisa diomongkan. Bukannya orang zaman sekarang nggak kreatif. Tapi mungkin sudah terlalu banyak persoalan dan pers lebih terbuka, jadi dianggap nggak seru lagi.
FI: Kenapa nggak tertarik mengajar akting?
JCN: Nggak pernah kepikir juga. Sempat juga gue beberapa kali mengajar di tempatnya Bu Budiati Abiyoga. Gue nggak tau bagaimana mengajarkan akting. Apalagi kalau di sini [Institut Kesenian Jakarta] mesti bertitel.