Januari 2013 Mouly Surya membuka lembaran sejarah baru. Film keduanya, What They Don’t Talk About When They Talk About Love, merupakan film Indonesia pertama yang masuk kompetisi Sundance. Beberapa minggu setelahnya, film tersebut menang NETPAC Award di International Film Festival Rotterdam, penghargaan untuk film panjang Asia terbaik. Lagi-lagi, Don’t Talk Love menjadi film Indonesia pertama yang meraih penghargaan tersebut.
Perempuan kelahiran 10 September 1980 ini sendiri tidak asing dengan penghargaan. Film pertamanya, Fiksi, dapat sepuluh nominasi di Festival Film Indonesia 2008. Empat di antaranya berbuah Piala Citra: penata musik, penulis skenario, sutradara, dan film terbaik.
Mouly Surya bercerita tentang proses kreatif Don’t Talk Love, mulai dari pengembangan cerita, pemahaman komunitas tuna netra, penerjemahan ruang SLB Rawinala, hingga penyusunan gambar di layar. Mouly juga bercerita tentang perkembangan dirinya sebagai pembuat film dan peredaran film-filmnya.
Yang Tidak Dibicarakan
FI: Film kedua Anda awalnya berjudul Extraordinary Me. Kenapa kemudian memutuskan untuk memakai judul What They Don’t Talk About When They Talk About Love? Saya jadi teringat judul buku Raymond Carver: What We Talk About When We Talk About Love.
MS: Memang dari situ inspirasinya. Naskah Don’t Talk Love ini panjang perkembangannya. Ketika masih berjudul Extraordinary Me, bentuk ceritanya beda lagi. Ketika naskahnya berkembang jadi bentuk cerita yang kamu lihat sekarang, saya merasa judulnya itu kurang sesuai, jadilah saya mencari yang lebih pas. Saya sendiri suka dengan buku Raymond Carver itu, suka sekali. Dalam buku itu kan ada beberapa orang ngobrol di meja tentang cinta. Saya pikir cerita Don’t Talk Love bisa jadi salah satu obrolan orang-orang di meja itu. Anggaplah cerita Don’t Talk Love ini sebagai jawaban untuk cerita Raymond Carver itu, tapi dari sisi orang tuna netra.
FI: Dari segala macam kemungkinan cerita tentang orang-orang difabel, kenapa Anda memilih untuk mengangkat cerita cinta?
MS: Secara tema, cinta itu yang paling universal, yang paling mudah juga untuk membuat orang-orang merasa dekat. Cinta sendiri kan macam-macam perwujudannya. Konsep awalnya, saya mau bikin chick flick: cerita cinta SMA, terus di belakangnya ada pesta dansa. Bedanya, ini chick flick di sekolah luar biasa, tuna netra yang main. Saya ingin memainkan genre ini, agak memutarbalikkannya.
Tadinya memang cerita yang mau diangkat lebih banyak, tidak hanya cerita cinta saja. Setelah ngobrol-ngobrol lagi sama Rama (Adi—produser sekaligus suami Mouly), sudahlah bikin cerita cinta saja. Untuk bicara yang lain, mungkin belum. Saya sebagai manusia belum punya cukup pengetahuan soal kehidupan, apalagi soal cinta. Pengetahuan saya sekarang ya baru sampai cinta anak muda, jadi itulah yang saya coba susun jadi film. Terus saya nonton Amour (film Michael Haneke). Saya kalah jauh lah. (Tertawa)
Tapi serius juga lho ini. Bagi saya, pengalaman hidup itu penting, umur jadinya penting juga. Kalau pengalaman hidup saya sekarang dibuat film, hasilnya akan sangat membosankan. Dan ini pun jadi keresahan tersendiri buat saya. Sebelum Don’t Talk Love, ada Fiksi. Itu juga soal cinta anak muda.Saat ini baru sampai segitu. Saya sendiri terus mendapat pengalaman-pengalaman baru tentang cinta, cinta pada suami saya, pada anak saya, orangtua saya. Ternyata masih ada bab-bab lain tentang cinta. Film berikutnya mungkin akan bicara hal beda lagi.
FI: Di setiap konferensi pers, Anda selalu bilang kalau cerita Don’t Talk Love terinspirasi dari saudara Anda yang tuna netra, tapi punya akun Facebook yang lengkap. Bahkan rajin update status Facebook.
MS: Itu memang jawaban standar saya. (Tertawa) Soal saudara itu sebenarnya ada cerita lebih lagi. Ayah saya dulu sempat pulang kampung, bukan kampung dia waktu kecil sebenarnya, tapi kampung orangtuanya. Bisa dibayangkan ya kalau kampung ini banyak saudaranya ayah saya juga. Dia sedang main ke rumah salah satu saudaranya, lihat ada anak tuna netra. Ayah saya tanya “Itu anak siapa?” “Oh itu anak saya, dia buta, dia senang nyanyi...” dan sebagainya. Ayah saya senang dengan anak ini. Dibawa ke Jakarta kemudian jadi anak asuh.
FI: Dalam Don’t Talk Love,saya menangkap ada satu lapisan cerita yang menarik. Anda seperti punya keinginan untuk memberi kesempatan bagi mereka yang difabel untuk merasa lebih beruntung dari orang-orang “normal”. Dalam film, ada beberapa alternate reality yang membayangkan kalau tokoh-tokoh difabel ini tidak buta, yang ternyata kehidupannya tidak lebih menyenangkan dibanding saat mereka tuna netra.
MS: Kurang lebih iya. Sederhananya, saya ingin mereka dilihat sebagai manusia. Saudara saya ini memang inspirasi utamanya; pribadi dia sendiri menarik bagi saya. Tapi ada pula cerita lain yang saya temukan dan tak kalah menariknya. Contohnya, saya pernah main ke satu sekolah tuna netra. Ada satu cowok, dia anak musik, bilangnya pernah main sama ST12. Dia bangga banget tuh. Waktu tahu lagi ada orang film berkunjung, dia langsung berlagak main drum di meja. (Tertawa) Ada juga saudara saya cerita, soal temannya yang matanya jatuh. Anak itu lagi ketawa, terus matanya jatuh, satu kelas cari-cari. Dan saudara saya ceritanya sambil ketawa.
Cerita-cerita kecil itu yang mendorong saya untuk membuat film ini. Mereka yang difabel juga manusia. Cerita-cerita kecil itu juga yang menjadi tantangan buat saya. Momen-momen ini sebenarnya acak, dan saya harus menjahit semua ini dalam skenario. Semacam puzzle yang harus saya susun.
Jadi, ya, benar banget kalau Don’t Talk Love ingin menjadikan orang-orang difabel ini sebagai pihak yang lebih beruntung. Kata kuncinya di sini adalah superfisialitas. Kita punya istilah “cinta dalam pandangan pertama”, bagaimana kalau tidak bisa melihat? Waktu kamu SMA, pasti pernah cinta monyet kan, pasti pernah naksir cewek cantik. Bagaimana dengan yang tuna netra? Dan saya membayangkan ada kemungkinan-kemungkinan lain dari cara orang-orang difabel ini berkomunikasi, kemungkinan-kemungkinan yang menarik untuk dijelajahi. Bisa jadi komunikasi yang Edo (diperankan Nicholas Saputra) dan Fitri (Ayushita Nugraha) lakukan sewaktu “normal”, mengobrol dan tatap-tatapan segala macam, itu overrated. Karena bisa melihat dan mendengar, mereka bisa jadi sudah kehilangan momen-momen magis mereka.
FI: Terkait soal superfisialitas, apakah atas alasan itu Anda memilih aktor-aktris yang secara fisik terbilang menawan sebagai pemeran tokoh-tokoh utama Don’t Talk Love? Nicholas Saputra, Karina Salim, dan Ayushita Nugraha.
MS: Memang ada ironi yang ingin ditunjukkan dengan memakai aktor-aktris ini. Edo, misalnya, itu harus ganteng. Sejak awal direncanakan begitu. Dia ganteng tapi nggak ada yang bisa lihat dia ganteng, jadi apa perlunya dia ganteng? (Tertawa) Di naskah, tokoh dia itu saya deskripsikan “bermuka rupawan, bisa lolos audisi model foto”. Pokoknya dia punya wajah yang bisa jadi artis. Memang saat menulis naskah saya sudah memasukkan personifikasi Nicholas Saputra dalam tokoh Edo, karena sudah ada bayangan kalau dia yang akan memerankan, dan di titik itu sudah ada kesepakatan kalau Nico yang akan memerankan Edo.
Dalam proses pemilihan pemain, Nico dan Ayushita memang tidak ikut audisi. Saya langsung tunjuk mereka. Mereka sempat test screen, untuk melihat mereka cocok atau tidak di kamera. Ternyata cocok. Anggun Priambodo (pemeran Andhika) juga saya tunjuk langsung. Awalnya saya tidak tahu siapa yang cocok jadi pemeran Andhika. Di naskah, saya membayangkan dia sebagai tokoh yang misterius, kalem, punya aura itulah. Di film, terlepas dari momen alternate reality, dia cuma sekali lepas kacamata.
Kebetulan, saya sempat syuting FTV bareng Anggun. Wah, canggih juga aktingnya. Saya tawarkan peran Andhika ke Anggun; dia langsung mau, padahal belum baca naskah sama sekali. Anggun ini menarik sebagai aktor. Saya beberapa kali melihat akting dia di film-film pendek teman. Pemeranannya sangat intuitif. Seakan-akan lepas saja, spontan, tapi kok ya jadi dan dipikirin. Kadang ada aktor yang juga main insting tapi hasilnya nggak kena. Anggun tidak seperti itu. Dan itu yang saya cari: aktor yang bisa mikir, tapi juga aktingnya beres.
Menyutradarai Aktor
FI: Sejak awal memang berencana menggunakan aktor profesional? Apakah pernah ada wacana menggunakan aktor difabel?
MS: Tadinya sempat mau pakai aktor difabel. Tapi kemudian setelah ngobrol sama Rama (Parama Wirasmo, produser, ed.), kami memutuskan untuk pakai aktor profesional. Ada tanggungjawab moral yang harus kami penuhi. Maksudnya begini, cerita Don’t Talk Love kan ada adegan ciuman, pelukan, dan sejenisnya. Bagi aktor profesional, ini murni urusan kerjaan. Bagi aktor-aktor difabel, dan kebanyakan tidak profesional, adegan-adegan semacam ini kan bisa mengarah ke mana-mana. Akan sangat tidak enak kalau setelah film ini selesai, mereka tidak bisa lepas dari peran mereka dalam film. Tanggungjawab moral semacam itu.
FI: Berapa lama membiasakan para aktor ini dengan orang-orang difabel?
MS: Syuting kan tahun 2012. Setahun sebelum itu, Nico (Saputra), Anggun (Priambodo), dan Karina (Salim) sudah mulai riset dan mempelajari tentang pola hidup orang difabel. Di waktu itu juga, saya buat teaser untuk film ini. Posisinya waktu itu adalah kami masih sama-sama mencari, terutama saya. Apa saja yang kita bisa masukkan dalam film ini. Dari situ kan mulai terpetakan kira-kira film ini bentuknya akan seperti apa. Saya perhatikan lagi bentuknya itu, beda banget dengan yang sekarang. Beberapa hal yang saya pertahankan, beberapa lainnya saya lepas.
Di skenario draft kedua, tidak lama setelah itu, Ayushita mulai masuk. Mulai masuk juga pelatih aktor; Mas Aji namanya. Mas Aji melatih mereka kira-kira sekitar dua bulan.
FI: Apakah waktu dua bulan itu ideal?
MS: Menurut saya, ideal. Sebelum para pemain dilatih, saya bilang ke Mas Aji, “Jangan masukin skenario dulu ya. Latih akting saja.” Saya tipe sutradara yang tidak mau aktor saya disentuh orang lain. Teknik boleh orang lain yang urus, tapi rasa dan segala macam harus saya. Harapannya, saat mulai syuting, para pemain saya sudah tidak terjebak lagi di soal reka-percaya, karena gestur mereka sudah meyakinkan. Menyutradarai aktor itu kan rumit. Harus bisa nilai mereka sespesfik mungkin. Oke, aktingnya bisa buat saya percaya sama perannya, terus apa? Pas nggak geraknya? Pas nggak waktunya? Hal-hal seperti itu. Itu pula yang saya ajarkan ke murid-murid saya di kampus. Harus bisa nilai akting dulu, karena semuanya mulai dari situ.
Makanya saya minta cukup latihan akting saja: bagaimana cara mengisi ruang, bagaimana cara merespons lawan main, bagaimana orang tuna netra biasanya bergerak, dan sebagainya. Latihan akting ini juga perlu karena ada beberapa pemain yang baru sekali ini main film: Karina (Salim) dan Lupita (Jennifer). Dan mereka ini saya dapat lewat open casting.Kalau seperti Nico dan Ayushita kan sudah pernah main film, jadi bisa lebih santai prosesnya.
Dua bulan saya tinggal mereka latihan dengan Mas Aji. Saya waktu itu ke Cannes kalau tidak salah. Jadilah mereka latihan dan riset segala macam dengan Mas Aji. Pas saya balik, Mas Aji telepon, “Mol, yuk lihat anak-anak latihan.” Saya datanglah ke tempat latihan, saya perhatikan betul-betul. Ketika mereka mulai baca naskah,saya bilang, “Rasanya langsung mau syuting besok!” [Tertawa] Tapi saya harus kasih kredit mereka untuk penampilan mereka di Don’t Talk Love, dan kredit yang besar juga untuk Mas Aji. Dia benar-benar mengisi para aktor, dan para aktor juga membuka diri untuk berproses bersama.
FI: Anda tadi bilang semuanya mulai dari akting. Bisakah saya bilang Anda sutradara yang lebih mengutamakan aktor?
MS: Hmm, iya dan tidak. Iya, karena iya saya menganggap tokoh adalah elemen terpenting dalam film, dan penokohan tidak bisa tidak lepas dari akting. Memang saya punya perhatian yang cukup besar dalam pembentukan tokoh dalam cerita. Tokoh-tokoh ini yang menjadikan suatu film, bahkan sinetron dan serial televisi, menarik bagi penonton. Mau sebiasa apapun dunia ceritanya, kalau tokohnya menarik bagi penonton, pasti akan diikuti. Contohnya, saya senang sekali nonton serial Glee karena tokoh Finn Hudson di situ. Kita semua tahu bagaimana dunia dalam Glee itu: SMA, nyanyi-nyanyi, cinta monyet, biasa bangetlah. Tapi tokoh Finn Hudson di situ terlalu menarik perhatian saya. (Tertawa)
Tapi ini bukan artinya saya tidak memberi perhatian pada hal-hal di luar tokoh, terutama dalam menulis cerita. Bagaimanapun cerita juga tidak soal tokoh saja. Ada dunia mereka juga yang harus kita urusi, ada sebab-akibat cerita yang harus diperhatikan, ada alasan-alasan kenapa para tokoh ini bertindak seperti itu dalam cerita. Harus ada konsep yang merekatkan tokoh-tokoh ini, dan saya perhatikan itu juga dengan ketat.
Bicara soal tokoh, ada proses yang menarik dalam Don’t Talk Love. Kalau dalam Fiksi, film pertama saya, tokoh-tokohnya sudah jadi di naskah dan kemudian diisi oleh para pemain. Di Don’t Talk Love, ceritanya terus berproses. Skenario draft satu dan dua itu beda banget bentuk ceritanya. Di antara draft satu dan dua, kami sudah dapat nama-nama yang akan main. Dan saya pun semakin kenal mereka sebagai seorang pribadi. Saya kenal Nico seperti apa, Anggun orangnya kayak bagaimana, Karina hobinya apa. Sadar tak sadar, saya masukkan itu ke dalam tokoh-tokoh saya di draft kedua. Personifikasi mereka menyatu dengan tokoh-tokoh yang mereka perankan.
Contohnya: tokoh Diana tadinya tidak ada adegan baletnya. Pas saya makin kenal dengan Karina, saya baru tahu kalau dia bisa balet. Jadilah saya buatkan adegan balet untuk tokoh yang dia perankan. Saya sangat suka dengan rasa-rasa yang muncul dari penyatuan ini. Tokohnya terasa lebih utuh buat saya. Di Fiksi, hal seperti ini tidak terjadi, dan saya kepikiran untuk mengulanginya di film-film berikutnya.
FI: Dari tadi Anda menyebutkan soal perubahan yang signifikan dari draft pertama dan kedua. Apa yang sebenarnya terjadi?
MS: Perubahan paradigma saja sebenarnya, yang kemudian berpengaruh ke bentuk cerita. Sebagai pembuat film, saya senang mendramatisir. Sebagai orang, saya mungkin drama queen. (Tertawa) Ada satu lokakarya yang saya ikuti sewaktu saya mengembangkan naskah Don’t Talk Love. Namanya Tokyo Next Masters, sekarang namanya Tokyo Talent Campus. Ada dua puluh peserta. Mentornya Hou Hsiao-Hsien. Kita pun presentasi soal film kita, penuh detail, serius. Dia dengan asyiknya bilang, “Don’t take cinema too seriously!”
Saya senang betul dengan paradigma itu. Film adalah kebebasan. Film memungkinkan kita untuk main-main, mencoba-coba banyak hal, melakukan hal-hal yang tidak mungkin kita lakukan dalam hidup kita.
Menerjemahkan Ruang
FI: Sekolah luar biasa dalam Don’t Talk Love itu di mana ya?
MS: Di Condet, Jakarta Timur sana. Nama sekolahnya Rawinala. Itu sebenarnya sekolah dwituna, bukan cuma buat tuna netra saja. Jadinya saya terpaksa impor murid dari sekolah lain sebagai figuran.
FI: Ketika Anda datang ke Rawinala, dengan cerita Don’t Talk Love dan keinginan untuk syuting di sana, bagaimana tanggapan pihak sekolah?
MS: Di luar dugaan saya, mereka sangat terbuka, sangat menerima. Saya kaget karena cerita Don’t Talk Love kan ada adegan seks di kolam renang. Saya tidak menutup-nutupi itu dari mereka, kecuali pas syuting ya, lokasinya harus kami tutup untuk menjaga privasi para pemain. Dan mereka oke-oke saja. Bahkan sebelum syuting, saya sempat bertanya-tanya pada mereka, kejadian-kejadian dalam cerita Don’t Talk Love ini mungkin terjadi nggak di sekolah luar biasa. Pernah terjadi nggak. Dan mereka bilang iya dan cerita soal kejadian-kejadian di sekolah itu.
Orang tuna netra itu kan sensitif sama sentuhan. Karena tidak bisa melihat, tidak bisa bertatapan seperti ini kalau lagi ngobrol, mereka banyak mengandalkan sentuhan. Kalau jalan, harus digandeng, atau menyentuh hal-hal di sekitar mereka. Pihak sekolah bilang kalau yang perempuan harus dijagain, supaya tidak kelepasan karena sensitifnya sama sentuhan. Dan sekolah ini tidak cuma tuna netra saja. Ada yang tuna rungu, ada yang down syndrome, dan lainnya. Akhirnya, banyak yang melakukan itu-itu, ngapa-ngapain sama tiang. Itu terjadi, tapi tidak pernah dibicarakan saja.
Ini sama seperti dulu ada wartawan yang tanya saya, “Mbak Mouly, nggak takut akan diprotes karena filmnya ada adegan senggama?” Ya, saya mau jujur, ini potret kultural masyarakat. Seks sebelum nikah, misalnya, saya berani jamin kalau di satu Jakarta ini banyak yang melakukan, tapi tidak pernah dibicarakan. Tidak usah satu Jakarta deh, satu daerah Kemang saja coba, pasti banyak juga. Dan sekolah ini, yayasan ini, terbuka dengan kami karena film ini menyampaikan sesuatu yang penting tentang komunitas mereka. Mungkin.
FI: Banyak ditemukan dalam Don’t Talk Love pergerakan kamera yang mengikuti tokoh berjalan menyusuri ruang-ruang dalam sekolah. Kebanyakan diambil dalam long take, jadinya saya sebagai penonton memperhatikan betul gerakan mereka. Saya ingin tahu, seberapa akurat gestur tokoh-tokoh tuna netra dalam film dengan kenyataan? Atau, ada tidak yang Anda modifikasi untuk kebutuhan film?
MS: Kalau gestur atau gerak tubuh, cukup akurat ya. Saya berani bilang begitu karena film ini sudah saya tontonkan ke murid-murid tuna netra; mereka menontonnya sambil diceritakan. Pas adegan suara orang tuna netra jalan, suaranya akurat, kata mereka. Jadi kalau orang tuna netra jalan pakai tongkat, suara ketukan tongkatnya itu bukan tuk-tuk-tuk, tapi geser-geser.
Orang tuna netra sendiri kan ada pelatihannya. Cara jalan, cara mengindera ruang pakai sentuhan, huruf Braille. Semua itu diajarkan dan ada pelatihannya. Anggun ikut pelatihan itu. Saya berani bilang gestur-gestur dia sebagai orang tuna netra dalam film itu akurat. Dan ada juga orang-orang tuna netra yang jadi figuran. Kami sering tanya mereka juga, benar atau tidak para aktor memerankan mereka.
Low vision yang dialami tokoh Diana memang tidak umum di Indonesia. Informasi soal itu saya dapat di internet. Kacamata teropong yang dipakai Diana itu juga benar ada, tapi memang tidak banyak dipakai kaum low vision di sini karena harganya mahal. Kebanyakan yang di panti juga orang tidak mampu, dan justru karena tidak mampu itulah kebanyakan dari mereka jadi tuna netra, rungu, dan segala macam. Kalau yang mampu, dari yang saya dengar, kebanyakan sekolah di luar. Rawinala sendiri ini sering sekali dijadikan sebagai tempat taruh anak. Banyak sekali anak di sana yang tidak diketahui siapa dan di mana orangtuanya.
Memang ada beberapa elemen dalam film yang terpaksa saya kompromikan. Orang buta itu, misalnya, matanya tidak ‘setenang’ Andhika atau Fitri di Don’t Talk Love. Matanya agak goyang-goyang. Figuran, misalnya, saya pilih orang-orang yang tidak terlalu, bagaimana ya bahasanya, mencolok. Saya tidak mau penonton terfokus pada itu. Misi film ini kan untuk melupakan batasan-batasan fisik itu dan melihat mereka sebagai manusia. Di kamera, mungkin ini tidak enak terdengarnya, terlalu menarik perhatian. Penonton pasti memperhatikan, dan saya tidak bisa menyalahkan penonton karena itu sifat dasar manusia.
Waktu masih merencanakan film ini, saya tidak terpikirkan ini. Dan apa yang saya temukan di lapangan ada beberapa yang terpaksa saya kurang tekankan. Tapi mari kembali ke misi film Don’t Talk Love. Salah satu cerita kecil yang menginspirasi saya adalah melihat seorang anak tuna rungu, yang lari dari ujung koridor ke ujung lainnya dan langsung belok kiri ke koridor lainnya. Ini adalah orang-orang yang ada di tempat nyaman mereka, sama seperti kita kalau sedang berada di tempat nyaman kita.
FI: Satu elemen yang cukup menonjol dalam Don’t Talk Love adalah musik. Film dibuka dengan lagu Burung Camar-nya Vina Panduwinata. Lalu, musik jadi motif tersendiri dalam film: murid-murid main gitar, lagu Nurleila dari radio kantin, dan beberapa adegan menyanyi. Apa yang membuat Anda begitu menekankan musik dalam Don’t Talk Love? Kenapa Anda mengaitkan sekolah luar biasa ini dengan musik?
MS: Memang sih Don’t Talk Love itu banyak adegan musikal, tapi filmnya bukan musikal. (Tertawa) Rencana awal film ini malah lebih ekstrem: tidak mau ada scoring, semua musik dan lagu muncul di lokasi. Tapi kemudian Rama kasih masukan, “Pakai scoring saja!” Dan masuk akal masukannya, karena musik yang saya rencanakan memang tidak sebanyak itu. Itu kalau dari sisi teknis film.
Dari sisi sekolah luar biasanya, lebih menarik lagi. Kalau kita ketik ‘tuna netra’ di Youtube, yang keluar itu mereka lagi main band. Semua sekolah tuna netra pasti punya band. Setiap saya ke sekolah tuna netra, mereka sering lagi denger radio, lagi main gitar. Ibaratnya, film buat saya itu musik buat mereka. Penting. Walau mereka punya batasan fisik, mereka tidak kehilangan hubungan dengan seni. Mereka tetap bisa menikmatinya, dan malah lebih sensitif. Saya mau menangkap esensi itu.
Tadi saya cerita ada anak yang senang banget sama ST12; itu bisa terjadi karena mereka sesenang itu sama musik. Hal itu yang saya coba suntikkan dalam Don’t Talk Love dalam sejumlah adegan semi-musikal. Pakai lagu Burung Camar karena musik pop. Kalau pakai lagu ST12, kok nggak enak ya didengarnya, makanya pakai lagu lawas. (Tertawa)
Menyusun Gambar
FI: Berapa besar bujet produksi Don’t Talk Love?
MS: Hampir dua milliar. Ditambah promosi dan segala macam, mungkin bisa sampai dua miliar, setidaknya nilainya.
FI: Untuk cerita semacam ini, apakah bujet sebesar itu ideal?
MS: Kalau kita bicara ideal, tentunya bisa lebih lagi ya. (Tertawa) Saya pun tidak memungkiri kalau film ini bisa terwujud karena kerelaan teman-teman, karena mereka juga sadar kalau film ini dikerjakan dengan bujet di bawah standar. Fiksi itu lebih besar bujetnya, tapi proses pengerjaan Don’t Talk Love lebih teratur, lebih optimal. Fiksi itu lebih gila lagi. Setiap ditanya soal bujet, saya tentunya mau lebih. (Tertawa) Tapi, kalau bujetnya ditambah dan itu mungkin, ada sejumlah aspek kreatif yang harus dikompromikan. Film harus beginilah, harus begitulah.
Perihal production value, saya berprinsip, “Kalau bikin film seharga sepuluh ribu, buatlah film yang terlihat seharga sepuluh juta. Kalau seratus ribu, buatlah yang terlihat seperti seratus juta.” Memang harus ada usaha lebih. Untungnya teman-teman yang bekerja di film ini punya semangat yang sama. Kami sedang membuat karya yang umurnya panjang, yang umurnya akan lebih panjang dari saya dan teman-teman lainnya. Ini batu nisan kami. Saya menyikapi film seperti itu.
Ada bujet yang perlu ditambah: bujet artistik. Tadinya kami sudah mematok bujet artistik segini, tapi harus ditambah karena saya meminta untuk mengecat ulang satu sekolah. Pokoknya penambahan bujet yang terjadi harus terlihat di layar. Kalau tidak, sebaiknya jangan dilakukan. Mobil jemputan untuk saya dan Rama, misalnya, itu tidak ada dalam produksi Don’t Talk Love. Cukup mobil jemputan untuk kru saja, saya dan Rama bisa bawa mobil sendiri.
Hal ini dimungkinkan oleh kerjasama sutradara dengan produser, dan ini diperlukan sekali. Saya selalu mengkomunikasikan kebutuhan saya, dan Rama sebagai produser biasanya memperbolehkan dengan catatan ada kontribusi yang signifikan bagi tampilan filmnya. Rama bahkan mengeluarkan uang untuk menanam bunga di taman sekolah, karena tadinya gersang. Itu keputusan Rama, yang saya akui turut berkontribusi bagi tampilan film ini. Kalau kita mau pelit-pelitan tidak mau keluar sepuluh juta lebih, misalnya, ya sayang filmnya. Kasihan filmnya juga kalau terlalu dibatasi.
FI: Kenapa sekolahnya harus dicat ulang?
MS: Dinding sekolah itu tadinya warna kuning mencolok. Saya tidak mau tone color seperti itu, dan cat dinding sekolah itu ternyata besar pengaruhnya. Jadinya, kami cat putih semua dindingnya. Kusen di sekeliling sekolah juga saya cat ulang. Tadinya coklat tua, dicat ulang jadi abu-abu. Kami memang mau tone color film ini mendekati putih, dan ada beberapa warna yang tak boleh muncul dalam film.
Itu penting banget buat filmnya. Film Indonesia sering banget kan kelihatannya coklat, dan saya bosan dengan tampilan macam itu. Waktu Fiksi, saya komentar ke Yunus (Pasolang, ed.), penata kamera waktu itu, “Ini nggak bisa ya nggak coklat?” Tadinya mau lebih ekstrem lagi di Don’t Talk Love. Tapi harus ada kompromi yang kami lakukan. Setiap syuting malam, misalnya, lampu-lampu di sekolah itu tungsten (lampu pijar yang berwarna kuning) dan sebenarnya itu berlawanan dengan konsep warna yang kami siapkan. Tapi itu tidak bisa diapa-apain lagi, kecuali kami ganti semua lampu di Jakarta. (Tertawa)
FI: Seperti yang saya sempat bilang, kosa gambar Don’t Talk Love banyak diisi long take, adegan-adegan yang durasinya panjang. Apa pemikiran di balik penyusunan gambar macam ini?
MS: Memang ada kesenangan pribadi dengan long take. Saya tidak suka bikin pecahan gambar. Saya juga tidak suka buat sekuens master shot-medium shot-close up. Atau kalau yang sering terjadi di film Indonesia, untuk adegan dua orang ngobrol misalnya, pasti ada master shot, terus gantike close up satu wajah, terus ganti lagi ke close up wajah lainnya. Terlalu mudah ditebak saja. Ini film. Cara berceritanya harus beda.
Karena itu saya menyenangi adegan panjang. Jarak antara action dan cut jauh. Aktor punya kesempatan untuk mengeluarkan momen-momen spontan yang bahkan sutradara tak instruksikan sebelumnya. Ini jadi permainan psikologis tersendiri bagi para aktor. Saya tentunya tidak asal bikin adegan panjang. Durasi ditentukan sedemikian rupa untuk menunjang kekuatan si aktor.
Saya juga senang dengan shot-shot yang padat. Komposisinya diatur sedemikian rupa, sehingga satu shot bisa bercerita banyak. Film jadinya tidak perlu bertele-tele dengan banyak shot. Cukup satu tapi berkontribusi banyak bagi cerita.
Saya juga memperlakukan gambar film seperti arsitektur. Keponakan saya, arsitek betulan, bilang, “Tante, menurut saya arsitektur seperti film. Denah bangunan itu tidak bisa cuma kotak-kotak nempel tapi tidak ada transisinya. Kalau kaya begitu, nggak perlu arsitek yang bikin.” Kalau sebuah bangunan itu arsitekturnya keren, bakal terasa kan ceritanya. Dari ruang ini, masuk ke lorong ini, terus pindah ke ruang lain lagi.
Don’t Talk Love kurang lebih saya desain seperti itu. Bisa dilihat contohnya pas Edo di warung, jalan ke depan kamar Fitri, terus mengintip di lubang pintu. Terasa ada transisinya. Konsep ruang dalam Don’t Talk Love penting. Film ini terjadi dalam sekolah luar biasa ini saja dan tidak pindah ke mana-mana. Saya harus mengakrabkan penonton dengan ruang sekolah ini, dan setiap tokoh punya ruangnya masing-masing. Perlakuan ruang semacam ini saya baru sadari di Fiksi; Pak Yunus dan Pak Eros (Eflin—penata artistik, ed.) yang mengajari saya.
Long take juga jadi penting buat saya karena dalam film ini saya ingin menunjukkan tempo kehidupan orang-orang tuna netra ini. Saya tidak mau memberlakukan banyak cut, karena bagi orang tuna netra untuk jalan dari titik A ke B itu makan waktu. Sebegini kecepatan hidup mereka, yang pastinya berbeda dengan kecepatan hidup orang lain. Saya ingin penonton merasakan hal itu.
Lebih Spontan
FI: Film pertama Anda sukses besar. Di FFI 2008, Fiksi dapat enam nominasi dan empat Piala Citra, termasuk sutradara, penulis naskah, dan film terbaik. Bagaimana dampaknya ke Anda? Apakah menjadi tekanan saat Anda membuat film kedua ini? Atau malah tidak sama sekali?
MS: Pasti ada dampaknya. Tadinya menang Piala Citra saya anggap untuk menyenangkan orangtua saja. Menyenangkan orangtua kan pahala, begitu juga menyenangkan orang banyak. (Tertawa) Tapi, gara-gara menang Piala Citra, saya mendapatkan banyak kemudahan. Bahkan terasa sampai sekarang saya membuat film kedua ini.
Tapi, iya, saya awalnya berhati-hati dengan film kedua saya. Orang kan jadi punya ekspektasi sama saya. Waktu buat Fiksi, saya nothing to lose. Mau film itu jelek, mau bagus, pokoknya nothing to lose. Kalau memang jelek, ya berarti berikutnya bikin lebih bagus lagi. Waktu selesai diproduksi, hasil akhir Fiksi sebenarnya di luar dugaan saya. Ibaratnya, kalau di kepala saya 100%, dalam Fiksi munculnya cuma 60%. Saya mengakui ada ketidakstabilan dalam diri saya sebagai sutradara debutan. Kalau saya nonton lagi sekarang, saya bakal banyak komentar, “Mestinya kayak begini? Bisa nggak syuting ulang?” (Tertawa) Tapi pertanyaan-pertanyaan ini sudah jadi bagian dari diri saya. Fiksi tidak akan jadi begitu kalau saya waktu itu tidak begitu.
Joko Anwar bilang ke saya, “Film kedua itu susah. Gampangan film ketiga.” Dan saya jujur merasakan tekanan itu. Tapi saya coba untuk tidak mengindahkannya sama sekali. Justru di saat saya meremasa “bodo amat lah”, saya baru bisa mulai bergerak. Pokoknya, bagaimanapun juga, film kedua ini harus menantang ulang diri saya. Pokoknya film kedua tidak boleh mengulang Fiksi.Itu yang saya terus ulang di pikiran saya. Pas mau bikin Don’t Talk Love,saya bilang sama Rama, sama Nico, “Gue nggak yakin film ini jadinya bisa bagus.” Dan waktu itu naskahnya sudah jadi. “Gue nggak yakin cerita kaya gini bisa jalan, tapi justru karena gue nggak yakin, film ini harus dibuat.”
Saya merasa saya harus keluar dari zona nyaman saya. Awalnya jelas susah, tapi pas produksi Don’t Talk Love jalan, perasaan itu malah saya coba bangun terus.
FI: Kalau dihitung dari tahun edarnya, ada jeda yang cukup lama antara antara Fiksi (2008) dan Don’t Talk Love (2013). Lima tahun.
MS: Kalau dihitung dari waktu syuting, lima tahun juga sih. Fiksi syutingnya 2007, Don’t Talk Love 2012. Bisa ada jeda yang lama karena saya bukan tipe sutradara yang punya bank sinopsis. Sebelum bikin Fiksi, saya empat sampai lima tahun banyak jadi asisten sutradara. Selama kerja-kerja itu, kepala saya isinya cuma Fiksi. Saya tidak punya bank sinopsis, tidak seperti kebanyakan sutradara lain. Jadi tidak ada ceritanya kalau saya tidak bisa bikin film A, saya bikin film B; kalau film B tidak bisa juga, film C. Saya cuma punya Fiksi. Pokoknya film ini yang mau saya buat. Begitu jadi, antiklimaks. Bingung, bikin apa lagi ya. (Tertawa)
Tapi memang begitu kejadiannya. Dan itu lama. Terus saya hamil. Pas terima Piala Citra, saya sedang mengandung. Pas lahir, terjadilah drama layaknya perempuan-perempuan yang baru melahirkan. Drama ASI lah, ini lah, itu lah. Dan saya bukan tipe perempuan feminin, jadi jelas kaget pas punya anak pertama ini. Susah ya mengurus anak, lebih gampang buat film. (Tertawa)
Jadi saya memutuskan untuk mengurus anak dulu selama setahun. Waktu itu jelas tak mungkin berkonsentrasi ke karya, atau rencana bikin karya apa selanjutnya. Setelah agak tenang sedikit, saya sempat coba tulis-tulis sinopsis, dua-tiga kali, tapi nggak ada yang benar-benar bikin saya jatuh cinta. Oh, sama belum ada yang bisa kasih duit. Standar ya. (Tertawa)
FI: Dengan jeda lima tahun dan segala yang dialami antara film pertama dan kedua, apakah ada perbedaan pola produksi dalam Fiksi dan Don’t Talk Love?
MS: Nah, di situ menariknya. Fiksi kan saya sangat lepas, nothing to lose, tapi banyak pengamannya. Textbook banget deh. Pakai storyboard. Di Don’t Talk Love malah tidak begitu. Saya tidak pakai storyboard sama sekali.
Dulu saya adalah orang yang sulit berkomunikasi dengan orang. Jadinya, saya menggunakan metode-metode yang saya pelajari di sekolah untuk melakukan itu. Bisa dibilang saya tidak percaya diri, tidak percaya diri menghadapi kru saya, tidak percaya diri menghadapi aktor-aktor saya. Jadinya saya mempersiapkan sebanyak-banyaknya, sedetail-detailnya, supaya film ini sesuai dengan yang saya bayangkan. Waktu produksi, saya masih ragu apakah Fiksi akan jadi oke atau nggak. Disiapkanlah pengaman sebanyak mungkin. Minimal, saya bisa jawab kalau ditanya orang.
Dulu itu parah banget susah komunikasinya. Di festival-festival pertama saya, saya harus menghafal isi pidato saya terlebih dahulu, baru saya bisa bicara depan banyak orang. Konferensi pers juga begitu. Sekarang udah mendingan, nggak harus hafal naskah lagi.
Waktu bikin Fiksi, saya masih insecure dengan apa yang saya buat. Sekarang kalau nonton Fiksi lagi, saya merasa ada kekakuan dalam film itu. Bagaimanapun juga saya bangga sama Fiksi ya,tapi saya tidak bisa bohong kalau saya merasa film itu tidak luwes. Kaku, rasanya semua terlalu direncanakan, kurang loose dikit. Memang akhirnya itu jadi style filmnya sih dan cocok sama ceritanya, tapi saya sadar kekakuan Fiksi karena memang cara produksinya juga begitu. Itu sudah menyatu di film itu, tapi saya tidak mau begitu lagi. Makanya saya tidak pakai storyboard pas bikin Don’t Talk Love.
Saya juga sekarang sudah merasa lebih secure. Di film pertama, orang tidak tahu kamu siapa. “Siapa sih lo? Anak baru. Dari lo masih orok, gue udah mulai syuting kali.” (Tertawa) Saya kira itu yang semua orang rasakan ketika pertama kali menyutradarai. Ada rasa orang tidak percaya sama kamu; bukan tidak percaya dalam arti jelek ya. Mereka belum tahu saja, belum kenal, dan memang belum ada pembuktian apa-apa kan. Saya juga bukan pembuat film yang mulai dengan bikin seratus film pendek dan semuanya masuk festival mana-mana. Saya benar-benar orang baru. Sebelumnya saya kuliah film di Melbourne, dan sebelum kuliah itu saya benar-benar tidak bersentuhan dengan industri film Indonesia.
Makanya, ketika bikin film kedua ini, saya bisa lebih loose. Karena itu saya berani tidak pakai storyboard.Saya juga memakai DOP yang sama: Bang Yunus (Pasolang). Saya sudah menemukan cara komunikasi yang enak dengan dia, dia pun begitu. Dia sudah kenal cara pikir saya, saya pun begitu. Kita sama-sama bisa mengamini kalau produksi kali ini lebih loose. Tidak hanya saya saja yang bisa memasukkan sesuatu dalam film, dia juga bisa, dan saya pun membuka kesempatan untuk itu. Saya tidak mengharuskan semua kontrol ada di tangan saya.
FI: Jadi, kalau boleh saya simpulkan, dalam produksi Don’t Talk Love Anda membuka kesempatan untuk hal-hal yang random, ekspresi-ekspresi yang lebih spontan.
MS: Iya, bisa dibilang begitu. Salah satu contohnya itu tokoh Diana (diperankan Karina Salim) pas menyisir rambut. Dia menghitung kan tuh berapa kali dia menyisir. Itu sebenarnya tidak ada di naskah. Yang ada cuma dia menyisir rambut. Itu baru ketemu di lokasi syuting.
Kesinambungan Karya
FI: Don’t Talk Love dibiayai oleh Hubert Bals Fund, Goteborg International Film Festival Fund, Asian Project Market, dan Busan International Film Festival.
MS: Kalau yang membiayai sebenarnya Hubert Bals dan Goteborg. Asian Project Market dan Busan sebenarnya hanya menempatkan film saya dalam sebuah forum pendanaan, tapi duitnya dari Goteborg. Tahun 2010, Goteborg punya hibah dana di Asian Project Market, yang di dalamnya juga ada hibah lain dari sumber-sumber dana lainnya. Logo ketiganya harus dipasang, karena saya dapatnya di Busan International Film Festival.
FI: Nah, nama-nama ini kan sumber dana luar. Berapa persen yang dari dalam negeri?
MS: Lumayan. 70 sampai 75 persen. Ada tiga investor dalam negeri.
FI: Saya penasaran, apakah film-film semacam Don’t Talk Love hanya bisa didanai dengan funding dari luar? Saya dulu pernah wawancara Edwin soal Postcards from the Zoo, yang ia jabarkan lebih banyak mendapat dana dari luar ketimbang dalam negeri.
MS: Kasusnya beda-beda, dan tidak bisa dipukul rata juga sebenarnya. Edwin mendapat funding yang cukup besar dari Torino (Film Fund), dan itu salah satu yang terbesar sepanjang sejarah Torino. Dua sampai empat miliar kalau tidak salah, bisa konfirmasi ke Mbak Dede (Meiske Taurisia—produser Postcard). Dana yang saya dapat kecil-kecil dan spesifik untuk proses produksi tertentu. Hubert Bals, misalnya, untuk membiayai pengerjaan pasca-produksi saja. Memang, pada titik itu, saya belum punya dana untuk pasca-produksi.
Soal funding ini, saya teringat kata-kata Mbak Nan (Achnas–sutradara), “Film pertama dan kedua bisa funding, tapi seterusnya tidak mungkin bisa dapat dua kali. Atau, tidak mungkin dapat tiga kali, kalau sudah pernah dua kali.” Tidak mungkin memang. Donor-donor ini diadakan untuk membantu sineas yang baru mulai untuk memantik kariernya. Kalau terus-terusan minta, kapan mandirinya? Tidak sehat jadinya, dan tidak adil juga buat sineas-sineas lainnya. Jadi ke depannya harus mengusahakan cari dana sendiri. Atau minta pemerintah, kalau mereka mau kasih. (Tertawa) Tapi juga minta pemerintah, mau sampai berapa film?
Sebagai pembuat film, kita harus mandiri. Bagaimanapun juga film adalah sebuah produk. Mau film dibilang kultur, mau dibilang arthouse gila-gilaan, tetaplah ini sebuah produk. Ia harus bertemu dengan pasarnya dan kalau bisa menghidupi dirinya sendiri.
Saya sendiri belum tahu Don’t Talk Love ini ke depannya bagaimana. Saya cukup positif orang-orang yang suka Fiksi akan kembali untuk menonton Don’t Talk Love.
FI: Rencana Anda untuk produksi film berikutnya bagaimana?
MS: Saya sendiri belum tahu. Dan jujur saya belum punya rencana yang pasti. Tapi pastinya saya tidak pernah menolak meeting. Film apapun yang ditawarkan, saya pasti terbuka untuk berdiskusi. Setiap film pasti saya baca ide ceritanya, naskahnya bagaimana, dan kemudian berpikir bagaimana caranya film ini bisa jadi lebih baik. Kalau visi dan misinya sama dengan punya saya, saya pasti kerjakan, walau sampai sekarang belum ketemu ya. Tapi saya terbuka untuk cerita apa saja. Saya tidak mengharuskan diri saya untuk buat film ini, film itu.
FI: Termasuk menyutradarai cerita yang bukan Anda sendiri yang menulis?
MS: Iya, terbuka. Tapi saya belum terbuka untuk menulis cerita untuk orang lain.
FI: Kenapa?
MS: Karena usaha yang dikeluarkan terlalu besar. Bagaimana ya menjelaskannya. Saya pernah merasakannya sekali (Kambing Jantan). Idenya bukan dari saya; saya hanya direkrut untuk mengerjakan penulisan naskah. Saya tidak bilang pengalaman itu tidak ada hikmahnya. Bagaimanapun juga pengalaman itu yang menyiapkan saya untuk mengerjakan Fiksi. Pengalaman itu juga yang memungkinkan saya untuk belajar banyak dari Mas Aris (Salman Aristo, ed.). Tapi menulis untuk orang lain saat ini belum menjadi konsep pembuatan film yang saya suka. Saya masih butuh waktu untuk itu lagi.
FI: Setahu saya, Don’t Talk Love tadinya disiapkan untuk 30 layar. Kemudian, film ini hanya dapat setengahnya. Bagaimana Anda menyikapi ini?
MS: Memang awalnya mau 30 layar. Tapi di hari film ini beredar ada dua film Indonesia baru lainnya, jadi harus berbagi layar. Saya sendiri tidak apa-apa. Jumlah layar bioskop di Indonesia memang sedikit. Lagi pula hak edar film ini di Indonesia kami yang pegang, di wilayah dunia lainnya sudah ada sales agent. Ini yang kami punya untuk penonton sini, dan tentunya kami akan mengusahakan agar film ini tetap punya kehidupan setelah beredar di bioskop.
Saya yakin film ini akan ada penontonnya, dan saya pernah mengalami hal serupa sebelumnya. Dulu Fiksi di hari keempat juga banyak yang turun. Bioskop kelas satu sudah pada tidak putar. Saya tahu persis film yang saya buat, dan mau bagaimana lagi pilihan kita di sini tidak banyak. Mau nonton film di luar Hollywood dan film-film Indonesia jenis lain, tidak ada tempatnya. Mau ke mana penonton kita?
Saya tahu film saya ini materi arthouse, tapi saya tidak pernah membuat film dengan bayangan akan masuk festival apa. Itu bakal ganggu proses kreatifnya. Kasihan filmnya. Saya membuat apa yang saya rasa perlu dibuat. Yang artinya juga saya tidak pernah mengkotak-kotakkan film saya untuk ditonton penonton tertentu saja. Tidak begitu.
Saya mengusahakan agar orang-orang sadar kalau ada film ini beredar di bioskop. Bayangkan, jumlah pemotretan dan wawancara sebulan ini lebih banyak dari jumlah layar. (Tertawa) Pastinya kami mengusahakan film ini beredar untuk khalayak luas, walau dengan jumlah layar yang tidak banyak. Menonton film ini butuh pengorbanan, harus mengeluarkan usaha lebih, karena film ini mungkin tidak akan diputar di bioskop dekat rumah. Yang di Tangerang, misalnya, harus jalan lagi ke Jakarta. Penonton harus berjalan sedikit lebih jauh, dan saya berharap penonton melakukan pengorbanan itu.