Lebih dari lima tahun Viva Westi merencanakan Rayya, Cahaya di atas Cahaya. Awalnya, proyek tersebut berjudul Rewinding, merujuk pada kamera analog salah satu tokoh dalam cerita. Setiap kali habis mengambil gambar, kamera analog harus diputar tuasnya untuk ganti ke frame baru. Hal serupa dilakukan dua protagonis Rayya, memutar kembali kenangan lama supaya bisa melanjutkan hidup.
Faktanya, memori dan usaha untuk melanjutkan hidup merupakan tema-tema yang mendasari banyak karya Viva Westi. Dua tahun sebelum menyutradarai Pocong Keliling(2010), Viva membuat May. Ceritanya tentang seorang gadis Tionghoa yang mencoba melanjutkan hidup pasca trauma peristiwa 1998. Mundur lagi ke belakang, dua tahun sebelum memproduksi Suster N(2007), Viva adalah satu dari empat sutradara Serambi, yang terdiri dari tiga kisah di Aceh pasca tsunami. Viva Westi menangani cerita seorang anak perempuan yang kehilangan ibu dan adiknya waktu tsunami. Kakinya patah terseret ombak. Setapak demi setapak, ia menjalani hari-hari ke depan bersama teman-temannya.
Redaksi FI berkesempatan mewawancarai Viva Westi pada 20 September 2012. Selama hampir dua jam, perempuan kelahiran Manokwari ini bercerita tentang pemikiran dan pengalaman di balik produksi Rayya dan film-filmnya yang lain.
Film Indonesia (FI): Bisa dibilang Rayya adalah sebuah road movie,sementara road movie sendiri terhitung jarang di sinema Indonesia. Beberapa tahun lalu ada Tiga Hari untuk Selamanya. Sebelumnya lagi ada Cinta dalam Sepotong Roti.Sepengamatan saya, film lain yang sejenis jumlahnya tak banyak. Apa yang menjadi motivasi Anda membuat road movie?
Viva Westi (VW): Saya tergila-gila dengan Le grand voyage [Ismael Ferroukhi, 2004]. Saya juga tergila-gila dengan Before Sunrise [Richard Linklater, 1995] dan Before Sunset [Richard Linklater, 2004]. Saya jadi penasaran. Biasanya road movie tokoh utamanya cuma dua kan. Nggak banyak. Nah, saya penasaran bagaimana caranya membuat film yang isinya cuma dua orang. Bisa nggak menjaga perhatianpenonton dari awal sampai akhir cerita. Beda halnya dengan drama biasa, di mana ada tokoh pendukung, di mana saya juga bisa menaruh konflik demi konflik untuk menjaga cerita. Di road movie, saya tak bisa serta merta melakukan itu dan saya jelas tertantang.
Sebutlah road movie pertama di Indonesia itu Cinta dalam Sepotong Roti. Jarak film Mas Garin [Nugroho] itu ke Tiga Hari untuk Selamanya kan lumayan jauh. Mungkin ada beberapa lagi road movie di sini, tapi bentuknya tidak murni hanya dua orang jalan-jalan ke banyak kota. Saya mau buat yang seperti itu. Kenapa? Saya bisa saja bilang karena saya jatuh cinta dengan Indonesia, tapi sejujurnya tidak senaif itu alasannya.
Road movie identik dengan pencarian jati diri, dan saya beranggapan pencarian jati diri harus dilakukan dengan perjalanan. Bisa saja saya membuat perjalanan Rayya dari Jakarta ke Bogor saja, misalnya, dan sinopsis film Rayya takkan sepanjang sekarang. [Tertawa] Namun, waktu menyusun proposal film Rayya untuk ditawarkan ke calon investor, saya berpikir kalau saya mau membuat film perjalanan dari Jakarta sampai Bali, di mana tokohnya mengenakan baju-baju cantik dan menarik. Tantangannya adalah membuat perhatian penonton tidak lagi peduli pada busana Rayya, tidak juga pada pemandangan sepanjang perjalanan, tapi pada interaksi dua tokoh utama saya: Rayya dan Arya.
Saya tak terlalu ingin orang-orang yang habis nonton Rayya berkomentar, “Wah itu tadi pemandangannya bagus ya.” Saya lebih mau orang mengingat perjalanan Rayya, Arya, dan dialog-dialog yang terjadi di antara mereka. Jujur, sempat ada keinginan untuk centil pas lihat pemandangan bagus. Stok gambar saya banyak sekali dan banyak yang bagus sebenarnya. Tapi, waktu syuting, saya bilang ke Ipung [Rachmat Syaiful] yang pegang kamera, “Kita natural saja. Jangan diapa-apain. Jangan terlalu centil pakai shot lebar. Kita fokus pada Rayya dan Arya.”
FI: Road movie sendiri tidak sekadar kisah perjalanan, tapi bisa juga sebagai potret suatu lingkungan. Saya menangkap hal tersebut dalam Rayya. Orang-orang yang Rayya dan Arya temui sepanjang jalan menjadi semacam cerminan masyarakat kita. Contohnya waktu Rayya dan Arya datang tak diundang ke suatu pernikahan. Si kepala desa langsung “mendedikasikan” desanya untuk Rayya, si selebritis ibukota. Gambaran masyarakat seperti apa yang ada di benak Anda waktu membuat Rayya?
VW: Proses kreatif Rayya sebenarnya begini: kerangka cerita saya yang susun, Cak Nun kemudian memasukkan dialog-dialognya. Waktu menulis naskah, salah satu pemikiran saya adalah orang-orang sekarang tak lagi punya ketulusan. Saya ingin menunjukkan itu lewat impact yang dirasakan Rayya. Paling terasa di adegan itu memang. Ini ada orang-orang yang begitu biasa, tak punya sesuatu yang luar biasa, tapi bisa menyambut dengan sepenuh hati. Boleh makan, boleh minum, boleh mandi. Untuk adegan tersebut, Cak Nun menuliskan, “Kalau Rayya tidak bahagia di sini, kami semua masuk neraka.”
Kalimat itu menurut saya luar biasa. Kita jarang sekali punya perasaan semacam itu ke orang. Orang datang ke rumah, kita kadang nolak-nolak. Jangan-jangan mau menginap nih, jangan-jangan mau numpang makan nih. Nah, kejadian itu adalah satu dari banyak kejadian yang kemudian meruntuhkan pandangan dunia Rayya sebelumnya. Ternyata bersaudara itu indah.
Seratus orang
FI: Proses produksi Rayya sendiri bagaimana? Kota yang dikunjungi cukup banyak dan jarak perjalanan dari Jakarta sampai Bali cukup jauh. Bagaimana cara Anda mengaturnya?
VW: Syuting 29 hari. Di Jakarta lima hari, perjalanan dari Jakarta sampai Bali 24 hari. Tapi jangan bayangkan syuting Rayya itu krunya sedikit. Ada beberapa orang beranggapan film Rayya kurang punya perasaan dokumenter. Mereka pikir syuting film perjalanan haruslah dengan kru sedikit, serba mepet, serba efisien. Saya tidak mau begitu. Rayya harus dibuat dengan jumlah kru yang semestinya. Saya membawa seratus orang.
Produksi road movie itu tidak berjalan semuanya sekaligus. Contohnya begini. Ingat kan adegan photo shoot di Indramayu, waktu Rayya difoto di antara perahu-perahu. Nah, untuk adegan itu, yang datang pertama itu tim artistik, menyiapkan lokasi dan sebagainya. Kemudian saya dan tim lainnya datang untuk ambil gambar, tim yang tadi sudah jalan ke kota berikutnya. Pas tim saya lanjut ke kota berikutnya, tim yang lain datang untuk membereskan lokasi, bayar-bayar, ambil properti syuting kalau ada yang ketinggalan, dan sebagainya. Pola seperti itu yang kami terapkan sepanjang produksi Rayya.
Kalau sistemnya tidak seperti itu, 24 hari takkan cukup untuk syuting Rayya yang memakai banyak tempat. Dan patut diingat kami tidur di mobil. Tidur di perjalanan tepatnya. Ada beberapa tempat yang tidak memungkinkan untuk menginap di hotel, jadi kami memutuskan untuk tidur di mobil. Untuk setiap kota, kami sudah ada catatan lokasi toilet atau pemandian umum dekat tempat syuting. Kru saya yang banyak itu, termasuk para pemain, bergantian mandi.
Beberapa ada sih kami menginap di hotel, karena harus ambil gambar malamnya. Nah, hotel yang kami pilih pun juga sudah direncanakan sebagai lokasi syuting. Contohnya pas Rayya mengusir Kemal. Atau pas Arya cari-cari Rayya dan ternyata Rayya lagi ada di air terjun.
Sepanjang jalan saya cukup deg-degan sebenarnya. Kami itu beriringan empat puluh mobil. Ada truk yang isinya peralatan, ada bus yang isinya kru sama pemain. Saya selalu cek pakai HT dan setiap mobil ada orang pegang HT, “Merapat, merapat, jangan ada yang ketinggalan.” Saya deg-degan kalau ada apa-apa, karena ini perjalanan. Takut ada ban pecah, dan sebagainya. Saya ingin memastikan kru dan pemain nyaman selama syuting.
FI: Tadi Anda sempat bilang stok gambar Anda banyak sekali. Kalau boleh tahu, rough cut film ini durasinya berapa?
VW: Tiga jam. Tiga setengah jam malah. Yang paling banyak kita keluarkan itu adegan-adegan Tim 7 [tim manajemen Rayya]. Ada juga beberapa adegan Rayya sama Arya yang akhirnya tidak jadi masuk, tapi tak banyak. Hanya dengan begitu proprosi film Rayya tetap terjaga, walau ada banyak adegan yang harus kami keluarkan.
Tapi sebenarnya begini, waktu kami syuting Rayya,belum ada yang namanya DCP (digital cinema package). Kami syuting pakai seluloid 35mm. Kalau di seluloid, dengan durasi yang sekarang [118 menit], Rayya bisa mencapai enam reel. Kalau mau tambah jadi tujuh reel, produser saya bisa marah-marah. [Tertawa] Untuk membuat kopian film dengan reel sebanyak itu, biayanya waktu itu 14 juta. Sekarang dengan DCP, hanya 500 ribu. Nah, sayangnya, DCP baru ada setelah kami selesai mixing suara. Harus kompromi jadinya.
Tapi jujur ketakutan saya awalnya film ini terlalu panjang. Isinya cuma orang berdua, ngobrol bolak-balik. Di draft yang sekian, film ini sempat berdurasi seratus menit, karena kami sempat khawatir penonton film Indonesia tak akan cocok dengan film berdurasi lebih dari itu. Tapi setelah kami pikir-pikir lagi, durasi yang sekarang sudah pas. Sudah proporsional dengan niatan saya.
FI: Anda yang menulis cerita Rayya dan Emha Ainun Najib yang mengisi dialognya. Bagaimana awalnya kolaborasi ini bisa terjadi?
VW: Itu Dewi [Umaya Rachman], produser Rayya, yang mengusulkan. Di suatu perjalanan pesawat dari Batam ke Jakarta, saya cerita ke dia kalau saya ada ide buat film. Dia baca naskahnya dan dia bilang, “Kayaknya yang nulis mesti Cak Nun.”
Saya pun setuju. Cerita Rayya tentang pencarian jati diri. Harus ditulis sama orang yang sudah menemukan jati diri, yang paham apa itu artinya hidup. Film ini tidak bisa mengada-ada. Saya pun datang ke Cak Nun dan bilang, “Cak Nun kan biasa memberi nasihat ke orang. Nah, sekarang memberi nasihatnya bisa lewat film nih.” Malam itu juga, Cak Nun bilang oke.
Saya tak ingin film ini pakai bahasa sehari-hari. Tapi saya sendiri merasa belum sanggup menuliskan apa yang akhirnya Cak Nun tulis untuk Rayya. Misalkan saya yang menulis, kalimatnya mungkin akan seperti ini: “Pacarku ternyata sudah punya istri, aku patah hati”. Nah pas Cak Nun yang tulis, kalimatnya jadi: “Kalau kamu mencintai aku, berarti rumah tanggamu palsu”. Saya tidak bisa menulis kalimat sedalam itu, seindah itu. Saya tahunya cuma Cak Nun yang bisa. Makanya saya perlu Cak Nun terlibat dalam penulisan naskah Rayya.
Dari rangkaian kejadian yang sudah saya susun, Cak Nun menyarikannya dan mengolahnya menjadi dialog. Tapi dia tidak menulis tempatnya di mana, saya yang menentukan. Untuk dialog yang ini, bagusnya di air terjun. Untuk dialog yang satunya lagi, bagusnya di sawah. Dari sini saya punya perencanaan yang terkontrol pas syuting. Kalau ada halangan di jalan yang mengharuskan ada perubahan, isi cerita tidak harus sampai berubah. Cukup mencari lokasi yang pas.
Ada satu adegan Rayya dan Arya yang seharusnya terjadi di Madura. Rayya foto di ladang garam. Saya sudah membayangkan kalau gaun Rayya yang berwarna hijau tosca akan terlihat pas di bukit-bukit garam berwarna putih itu. Sayangnya, waktu kami syuting, di Madura lagi sering hujan. Garamnya jadi kurang matang, warnanya tidak sesuai harapan. Adegan pun saya pindahkan ke tempat lain yang sesuai.
FI: Rayya dan Arya adalah dua tokoh dengan karakter yang berlawanan dan dua-duanya bertugas menjaga perhatian penonton dari awal sampai akhir cerita. Atas dasar apa, Anda memilih Titi Sjuman dan Tio Pakusadewo untuk memerankan mereka?
VW: Arya itu kan terlihat seperti laki-laki yang emosinya nyaris tidak ada. Dalam arti, dia tidak meledak-ledak seperti Rayya. Saya percaya Om Tio bisa menjalani peran itu. Dia adalah aktor yang selalu bisa masuk ke dalam karakternya. Saya sudah lihat sendiri buktinya waktu bikin May. Selain itu, umur dia pas dengan tokoh Arya yang ada di bayangan saya. Rayya harus jalan dengan orang yang lebih tua dari dia. Rayya hanya bisa belajar dari orang yang lebih matang dari dia. Om Tio memenuhi semua persyaratan itu.
Titi sendiri saya cukup kenal karakteristiknya. Dari segi fisik, cantiknya dia itu bukan cantik yang glamour. Misalkan saya pakai perempuan keturunan bule atau perempuan yang cantiknya glamour, saya khawatir film Rayya tak akan berakhir sesuai dengan niat saya. Saya tak mau penonton terlalu terpesona dengan kecantikan si perempuan, karena Arya sendiri pun tidak jatuh cinta pada kecantikan Rayya. Cantiknya Titi itu pas, tidak berlebihan, jadinya sesuai dengan karakter Rayya yang saya bayangkan. Dia bisa saya naikkan jadi aktris yang pemarah sekali, bisa juga saya turunkan sebagai perempuan yang kalem.
Titi juga bukan anak kota. Dia besar di daerah dan dia biasa bermain dengan alam. Dia bisa saya suruh naik gunung dan berenang, karena dia tak khawatir kalau kulitnya belang atau badannya baret. Waktu syuting, dia jadinya tidak canggung pas disorot kamera di berbagai lanskap alam. Waktu disyut di Kawah Ijen, dia yang paling pertama sampai atas. Om Tio kalah. [Tertawa]
Membiasakan dua pemain ini untuk Rayya juga butuh usaha sendiri. Syuting dengan perjalanan sepanjang ini memakan emosi. Selain itu, saya tidak ingin ada improvisasi. Tidak boleh ada bahasa yang berubah. Dialog-dialog yang ditulis Cak Nun itu diksinya sudah sangat diperhitungkan. Iramanya juga. Contohnya begini. Ada satu dialog yang isinya, “Jangan pernah sekali-kali kau bilang kebohongan adalah hal yang sepele.” Coba ganti ‘kebohongan’ dengan ‘menipu’. Maksudnya sama, tapi iramanya akan beda, konotasinya berubah, dampaknya pun akan lain. Contoh satu lagi: “Istriku sanggup melihat laki-laki lain, tapi aku tidak sanggup melirik perempuan lain.” Antara ‘melihat’ dan ‘melirik’ kan ada penekanan yang berbeda.
Jadi salah kalau ada orang yang bilang Rayya dan Arya terlihat sangat natural, karena percakapan mereka banyak improvisasinya. Sama sekali tidak ada improvisasi dalam film Rayya. Saya tidak mengijinkan mereka. Bahkan pas Rayya bilang “Cie ileee” ke Arya, itu ada di naskah.
Horror
FI: Sebelum Rayya, Anda menyutradarai Pocong Keliling, satu film yang saya rasa berbeda sendiri di filmografi Anda. Bahkan dengan Suster N sekalipun,yang juga sama-sama film horror.
VW: Begini, seperti Rayya, semua orang punya perjalanannya sendiri. Saya bukan sutradara luar biasa. Saya baru buat lima film. Saya sutradara yang baru dan masih belajar. Saya tak mau mengotak-kotakkan diri saya di genre tertentu.
Jujur, Pocong Keliling benar-benar membuka mata saya. Waktu saya bikin Pocong Keliling, saya merasa orang menghujat saya habis-habisan. “Gila, masa habis bikin May, lo bikin Pocong Keliling.”Ada kan pribahasa “susu sebelanga rusak karena nila setitik”. Berkat Pocong Keliling, saya jadi paham betul apa artinya.Saya pulang ke rumah rasanya seperti ditampar-tampar. Semua orang punya hak menilai, tapi saya kaget orang-orang akan menilai saya sebegitunya karena Pocong Keliling. Waktu saya jadi juri Festival Film Indonesia [tahun 2010], hantaman terbesar saya adalah orang-orang tidak percaya kalau salah satu juri FFI itu sutradara yang pernah bikin Pocong Keliling.
Tapi pengalaman itu juga yang akhirnya mendorong saya untuk terus maju. Mungkin perjalanan saya harus melalui Pocong Keliling. Oleh karena itu saya sangat menghormati Pak Yoen K, produser Pocong Keliling. Dan sampai detik ini setiap ditanya sudah buat film apa saja, saya tidak pernah tidak menyebutkan Pocong Keliling. Film itu membuka mata saya untuk melihat banyak hal. Melihat teman, melihat wartawan, melihat pandangan orang-orang terhadap film, pandangan orang kalau saya buat film seperti Pocong Keliling berarti saya tidak berhak masuk wilayah film yang lain.
FI: Dari segi produksi film, apa yang Anda pelajari dari Pocong Keliling?
VW: Saya belajar membuat film dengan bujet yang terbatas. Beda dengan May, film sebelum Pocong Keliling. Saya belajar mengikuti pasar. Dan jangan salah, bikin orang cipokan [ciuman] di depan kamera itu susah. Saya bingung waktu harus bilang ke pemain, “Itu bajunya kurang turun, dadanya kurang kelihatan.” Wah, saya puyengnya setengah mati. [Tertawa]
Produksi Pocong Keliling membuat saya sadar kalau cara bercerita seperti itu tidak cocok dengan saya. Bukannya saya merendahkan film-film sejenis Pocong Keliling, saya malah kagum dengan orang-orang yang bisa membuat itu terus menerus. Jujur, saya pengagum berat Nayato [Fio Nuala]. Saya berteman dengan dia sejak lama, bahkan jauh sebelum dia berada di wilayahnya sekarang. Saya belajar banyak dari dia. Saya menulis banyak film-film dia. Saya kagum dengan cara dia membuat film dengan cepat, dengan tim yang krunya ia latih sendiri. Itu tidak mudah.
Makanya saya heran ketika ada satu sutradara besar Indonesia yang mau mencoba formula Nayato. Syuting seminggu, selesai syuting gambar diedit di tempat. Padahal dulu dia mencibir film-film Nayato. Maaf-maaf saja, buat saya pribadi, film tak bisa disederhanakan jadi formula seperti itu. Setiap cerita punya cara penuturannya sendiri-sendiri. Nayato sudah tahu apa yang ia mau buat dan dia sudah menemukan cara bertutur yang tepat. Saya dan film-film saya pun begitu. Dalam Serambi, saya belajar bercerita tentang trauma yang dialami seorang anak kecil. Dalam May, saya belajar bercerita tentang seorang perempuan muda dengan tragedi 98. Dalam Pocong Keliling, saya belajar bercerita sesuai dengan kebutuhan pasar. Dalam Rayya, saya belajar bercerita tentang orang-orang yang mencoba memaafkan masa lalu. Dan sekarang ada satu film yang sedang saya edit, mungkin akan rilis Desember nanti, itu beda lagi. Tak ada satu pun yang lebih unggul dari yang lain. Semua punya kebutuhan dan keterampilannya sendiri-sendiri, dan saya akan terus melanjutkan perjalanan saya untuk belajar.