Artikel Kajian

Ketegangan yang terjadi antara dunia film dan masyarakat sebenarnya lebih tepat dikatakan dengan sebagian masyarakat yang merasa wajib menjadi “penjaga moral keluhuran nilai-nilai subversi-nasionalisme-politik” dan sebagainya.
Agaknya Festival Film Indonesia (FFI) perlu disesuaikan namanya menjadi Festival Film Fiksi/Non-Sejarah Indonesia. Keputusan Komite Seleksi FFI 2010 tidak meluluskan film Sang Pencerah [...] untuk memasuki medan penjurian, seakan menunjukkan tidak adanya ruang bagi film berlatar sejarah atau film yang menampilkan tokoh sejarah, dalam kompetisi film tahunan tersebut.
Bulan Agustus lalu, seorang kawan mengirim pesan pendek pada saya. Ia mengabarkan bahwa ia baru saja membaca pengumuman di depan pintu masuk Bioskop Permata yang menyatakan kalau bioskop itu akan tutup selamanya terhitung 1 Agustus 2010 lalu. Saya sempat tak percaya, namun setelah saya konfirmasi pada pemilik bioskop, ternyata benar, bioskop Permata gulung layar.
Jumlah penonton menurun drastis, hingga tidak ada satu pun produser yang berani menayangkan filmnya selama bulan puasa ini. Peristiwa pertama sepanjang sejarah. Film nasionalis seri Merah Putih yang berjudul Darah Garuda pun memilih penayangan pada tanggal sekitar lebaran mendatang, sebuah tanggal yang sudah menjadi tradisi untuk “panen” penonton.
Ada yang tidak cukup dijelaskan oleh serangkaian laporan Kompas Minggu (26/10, hlm 17-18) tentang peredaran film nasional saat ini, hingga menimbulkan sejumlah pertanyaan. Film nasional menguasai hampir seluruh layar bioskop yang ada di Indonesia, tapi yang dianggap berhasil hanya tiga judul. Kenapa?
Persoalan estetika film Indonesia tahun 2007 ini secara umum tak begitu banyak beranjak dari tahun-tahun sebelumnya di sepanjang era reformasi yang telah berlangsung hampir satu dasawarsa ini. Dari segi jumlah judul maupun jumlah penonton, telah terjadi peningkatan dari tahun ke tahun, sedikit-banyak didorong oleh perkembangan di bidang teknologi yang kian mudah dan murah diperoleh.
Ada pergeseran yang cukup dahsyat dalam perbioskopan Indonesia dalam paruh akhir dekade 80an yang baru lalu ini. Pergeseran itu tidak berjalan dengan serta merta, namun demikian ia berlangsung dengan sangat pesat bila dibanding dengan sejarah bioskop di sini yang 90 tahun.
Departemen Perdagangan maupun Penerangan (1991, red) sampai kemarin masih belum menentukan siapa yang menjadi importir film tambahan di samping kelima importir film Eropa-Amerika yang sudah ada dan tergabung dalam Asosiasi Importir Film Eropa-Amerika. [...] Tapi dengan kata lain bisa juga dikatakan bahwa tanpa terus terang menyatakannya, sebenarnya diakui ada praktek monopoli itu.
Berkembangnya televisi swasta sejak tahun 1990-an bersamaan dengan surutnya produksi film Indonesia. Meski demikian, tidak ada keluhan yang berarti dari orang-orang film, karena mereka bisa mendapat lahan yang memberi penghasilan lebih besar dengan kualitas pekerjaan yang relatif lebih cepat dan lebih mudah.
Kemelut dalam perfilman Indonesia seolah merupakan dosa asal, selalu hadir dalam setiap bidang kegiatannya. Kesannya: film Indonesia ini hampir sama dengan sepakbola Indonesia, lebih banyak dibicarakan daripada ditangani dan ditindaki secara benar, baik oleh yang berkewajiban melakukan pengaturan dan pembinaan maupun oleh para pelaku dunia film sendiri.