Sekilas, Cinta dari Wamena mengingatkan akan Jangan Menangis Sinar, melodrama lokal yang sempat singgah di bioskop beberapa minggu silam. Prinsip yang dibawa serupa: ceritanya nun jauh di pelosok negeri sana, tapi pengakuannya dari Jakarta. Seakan-akan suatu cerita belum sah sebagai sebuah cerita kalau tidak disangkutpautkan dengan ibukota. Pola ceritanya juga mirip: ada satu polemik yang dialami sejumlah tokoh di suatu daerah (polemik itu sendiri merupakan konsekuensi dari ketertinggalan daerah tersebut), lalu ada penduduk dari pusat yang bersimpati dengan para orang-orang di daerah ini.
Perkara pusat-daerah dalam Cinta dari Wamena terasa problematis di segala lini. Tidak ada hal konkret yang kita bisa dapat, tafsir, maupun diskusikan sebagai penonton. Kisah-kisah orang Jakarta ini, dan segala simpati yang muncul, hadir begitu saja dalam film tanpa alasan yang jelas. Apakah simpati dari orang-orang Jakarta ini menyelesaikan masalah saudara-saudara di Wamena? Tidak, malah Litius (Maximus Itlay), Tembi (Benyamin Lagowan), dan Martha (Madonna Marrey) diceritakan bisa berdikari di tengah kesulitan sosial yang menimpanya. Atau mungkin pembuat film ingin mengkritik orang-orang pusat, spesifiknya kelas menengah Jakarta, yang hanya bisa bersimpati tapi tidak melakukan satu hal pun yang konkret? Tidak juga, karena kalaupun iya, niat itu sama sekali tak ditajamkan dalam penuturan film, bahkan bukan itu permasalahan yang dimunculkan ke hadapan penonton. Sepanjang 90 menit durasi film, kita melihat Daniel (Nicholas Saputra) dan Maya (Susan Bachtiar) pacaran putus-nyambung, sebuah konflik yang benar-benar tidak berkaitan dengan konflik utama cerita.
Penataan cerita yang tak jelas juntrungannya ini sangat disayangkan. Pasalnya, Cinta dari Wamena punya kualitas pengerjaan yang cukup bisa diapresiasi. Lasja Susatyo adalah pembuat film yang cerdas. Ia tidak eksploitatif setiap menangani cerita yang konfliknya terkait pada suatu penyakit. Kualitas ini sempat kita tengok dalam Mika, yang singgah di bioskop kita awal tahun ini. Dalam film yang dibintangi Velove Vexia dan Vino G Bastian itu, AIDS tidak disederhanakan sebagai alasan untuk rangkaian drama mengharu-biru dan adegan tangis-menangis semata. Terlepas dari segala ketidakuratan soal penanganan medis yang muncul dalam film, penyakit ini direspons sebagai alasan bagi para tokoh untuk menjadikan sisa hidup yang ada sebagai pengalaman yang berharga. Dalam film-film yang Lasja tangani, selalu ada kesempatan bagi tokoh-tokohnya untuk memahami indahnya hidup.
Lasja mengulangi apa yang ia lakukan di Mika dalam Cinta dari Wamena. Film bermula pada angan-angan Litius, Tembi, dan Martha untuk melanjutkan sekolah. Tidak ada SMA di kota tempat tinggal mereka; SMA terdekat (dan gratis) ada di Wamena. Jadilah, mereka bertiga pindah kota. Usut punya usut, Wamena tidak hanya menawarkan pendidikan gratis, tapi juga kehidupan anak muda yang begitu permisif. Saking permisifnya kehidupan di Wamena, Tembi terjebak dalam siklus mabuk-mabukan dan senggama tak berkesudahan.
Bisa ditebak kemudian siapa yang terjangkit AIDS, bisa ditebak juga bagaimana Litius dan Martha membantu sahabatnya menjalani hidup pasca AIDS. Sedikit sekali air mata yang tertetes sepanjang proses ini berlangsung. Yang banyak malah pesan dari dokter, tentang para penderita AIDS yang “masih bisa hidup panjang” dan “punya kesempatan akan kehidupan layaknya orang normal”. Segamblang itu memang nuansa advokasi Cinta dari Wamena terkait pengidap AIDS (dan nyatanya film ini memang disponsori sejumlah institusi untuk tujuan tersebut). Advokasi yang terlampau gamblang ini, setidaknya, masih jauh lebih baik ketimbang menjadikan pengidap AIDS sebagai komoditas melodrama semata.
Kita juga perlu mengapresiasi usaha pembuat film membangun suatu konteks sosial untuk dibagikan ke penonton. Cinta dari Wamena tidak jatuh pada stereotip Papua sebagai daerah-yang-tertinggal-pendidkan-kurang-moralitas-buruk semata. Dijelaskan kenapa Wamena bisa tumbuh sebagai kota yang menawarkan gaya hidup yang permisif bagi anak mudanya. Dibawanya penonton ke pasar-pasar, rentetan toko-toko, restoran, serta hotel (yang ramai pengunjung) di Wamena. Ditunjukkan pula satu shot yang cukup mencengangkan: murid-murid bermain di halaman sekolah, lalu dari atas muncul pesawat yang akan mendarat di bandara yang lokasinya tak jauh dari sekolah.
Artinya, Wamena adalah kota yang terhubung ke dunia luar, yang sudah punya pasar dan kultur konsumsinya sendiri, yang bisa menawarkan kesempatan untuk belajar, kerja, maupun hura-hura. Tinggal individu saja yang memilih, mau mengambil jalan mana: pendidikan atau apapun yang ada di luar sana.
Persoalan pilihan ini yang pembuat film bangun dalam dinamika persahabatan Litius, Tembi, dan Martha. Memang penuturan macam ini terasa begitu hitam-putih, tapi pembuat film setidaknya memberi konsekuensi yang logis dan masih tepat takaran. Tidak ada yang sukses besar-besaran karena memilih jalan yang benar, tidak ada juga yang jatuh terpuruk karena memilih jalan maksiat; semuanya punya kesempatan untuk terus berproses. Litius bisa lanjut sekolah, Martha bisa lanjut kerja, dan Tembi bisa lanjut hidup. Kalau semua kisah ini bisa berdiri solid dengan kaki sendiri, lantas buat apa jauh-jauh cari cerita lagi di ibukota?