Jakarta International Film Festival, juga dikenal dengan nama JiFFest, kembali hadir setelah vakum dua tahun. Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia berkolaborasi dengan Muvila.com dalam menyelenggarakan JiFFest ke-13 ini, mengangkat tema “New Chapter”sebagai penanda akan fase baru yang dilalui festival legendaris ini. Total ada 28 film yang akan diputar—14 di antaranya film Indonesia—selama 15-17, 23, dan 29-30 November 2013 di empat lokasi pemutaran di Jakarta.
Bersamaan dengan sejumlah festival lainnya yang tumbuh pada akhir 90an, JiFFest berperan penting dalam membuka ruang baru apresiasi dan ekshibisi bagi penikmat film dan pemangku kepentingan perfilman. Pada perkembangannya, JiFFest menjadi bagian tak terpisahkan dalam kalender kegiatan ibukota. Sayangnya, perjalanan JiFFest tidak mulus, beberapa kali mengalami kesulitan pendanaan. Setelah tanpa putus diselenggarakan dari 1999 hingga 2010, JiFFest rehat selama dua tahun sampai akhirnya digiatkan kembali pada tahun 2013.
“Sebenarnya JiFFest juga tidak pernah bermaksud pergi. Tahun lalu, kami sudah mencoba untuk ada lagi, tetapi JiFFest tidak bisa dijalankan sendirian. Sekarang, industri filmnya sudah berubah, elemennya juga banyak berubah, jadi JiFFest juga beradaptasi. Di tengah jalan ketemu Aoura [Lovenson Chandra] dan Muvila, yang ternyata sejalan. Jadilah tahun ini kami mengerjakan JiFFest bersama,” tutur Shanty Harmayn, direktur festival, dalam konferensi pers pengumuman kembalinya JiFFest pada 9 November 2013, “Tahun ini memang bukan diutamakan to be big, tapi to be back terlebih dahulu. Tahun lalu Pemda DKI sudah sempat menawarkan dukungan dana, tapi ternyata JiFFest-nya yang belum siap. Tahun ini, sudah menemukan rekan kerja yakni bersama Muvila, dan tetap mendapat dukungan dari Pemda. Kalau tahun ini tetap tidak diadakan, mungkin tahun depan belum tentu bisa mendapat dukungan dari Pemda lagi. Dengan mengadakan JiFFest tahun ini, kami berharap festival ini ke depannya bisa terus berkembang dan membaik.”
Ada pun panitia JiFFest menyesuaikan bentuk festival dengan pola menonton warga Jakarta. “Dulu JiFFest bisa sekian hari dan berlangsung berurutan. Sekarang JiFFest beradaptasi, termasuk dengan kota Jakarta yang juga ikut berubah. Hari pemutaran berlangsung pada akhir pekan, sehingga orang bisa merencanakan untuk datang ke JiFFest,” jelas Shanty Harmayn. “Pilihan film di JiFFest kali ini kurang lebih memiliki karakter serupa dengan JiFFest pada tahun-tahun sebelumnya,” tambah Varadila Daood, kepala tim program.
Ada empat program yang ditawarkan dalam JiFFest tahun ini. Ada “Pop Up Festival” yang memutar film-film Indonesia teranyar di Galeri Indonesia Kaya Grand Indonesia dari 15-17 November. Beberapa di antaranya merupakan pemenang sejumlah kompetisi film nasional dan internasional, seperti Halaman Belakang (Yusuf Radjamuda) yang tahun ini didapuk sebagai film pendek terbaik Festival Film Solo dan Apresiasi Film Indonesia, Lawuh Boled (Misyatun) yang menjadi film pelajar terbaik di Festival Film Solo dan juara Festival Film Purbalingga, Bukit Bernyawa (Steve Pillar Setiabudi) yang meraih Best SEA Short Documentary pada ChopShots tahun lalu, serta Nona Kedi yang Tak Pernah Melihat Keajaiban (Yosep Anggi Noen) yang menjadi film pendek terbaik Busan Internasional Film Festival Oktober kemarin. Beberapa lainnya merupakan film yang sudah malang melintang di festival-festival antarnegara, seperti Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya (Yosep Anggi Noen), Mangga Golek Matang di Pohon (Tonny Trimarsanto), dan Toilet Blues (Dirmawan Hatta).
Pada 16-17 November di Blitzmegaplex Grand Indonesia, ada program “Retrospective Bong Joon-Ho” yang menampilkan lima karya sineas ternama asal Korea Selatan itu. Salah satunya adalah Snowpiercer, film teranyar Bong Joon-Ho yang menjadi salah satu film terlaris di Korea Selatan tahun ini dengan 9.3 juta penonton. Juga diputar empat film Bong Joon-Ho lainnya: Barking Dogs Never Bite (2000), Memories of Murder (2003), The Host (2006), dan Mother (2009).
Pada 23 November di Epicentrum XXI, JiFFest menghadirkan program World Cinema yang berisikan lima film mancanegara, dari film populer macam The Perks of Being a Wallflower hingga film langganan festival macam 12 Years a Slave. Minggu depannya, pada 29 dan 30 November, JiFFest mengokupasi pelataran Monas lewat program “Open Air Cinema”. Empat film Asia disajikan lewat pemutaran layar tancap. Program Open Air Cinema sendiri sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah JiFFest—program serupa sempat diadakan pada perhelatan tahun 2002 di Museum Nasional, walau hanya berlangsung sehari saat pembukaan festival.
“Kalau tahun ini Open Air berjalan baik dan berhasil, bukan tidak mungkin di tahun-tahun selanjutnya bentuk pemutaran ini akan bisa terus dikembangkan”, jelas Shanty Harmayn. “Harapannya, JiFFest jadi bisa diterima publik sebanyak-banyaknya. Tidak hanya bisa dinikmati orang-orang yang pergi ke mall, tapi juga bisa untuk yang kangen menonton outdoor,” tambah Aoura Lovenson Chandra, yang pada penyelenggaraan JiFFest kali ini mendampingi Shanty sebagai direktur festival.
Sebagai bagian dari penyelenggaraan JiFFest 2013, turut diselenggarakan forum Indonesia Filmmakers Gathering pada 17 November 2013 di Satin Lounge Blitzmegaplex Grand Indonesia. Akan hadir para pembuat film Killers, Tenggelamnya Kapal Van de Wijk, dan The Raid 2: Berandal, yang akan berbagi pengalaman kerja mereka dalam produksi film-film terkait. Acara ini merupakan hasil kolaborasi JiFFest dengan sembilan asosiasi pekerja film Indonesia.
Jadwal dan informasi selengkapnya dapat dilihat pada situs Jakarta International Film Festival (ed, situs web sudah tidak aktif).