Pemain biolin senior, Idris Sardi, menghembuskan nafas terakhirnya di usia 75 tahun setelah dirawat di Rumah Sakit Meilia Cibubur Senin (28/4). Sang maestro dinyatakan kritis sejak hari Minggu (27/4), kemudian mengalami gagal pernafasan pada pukul 07.25 WIB akibat permasalahan paru-paru, serta diperparah dengan riwayat komplikasi penyakit asam lambung dan liver sejak akhir tahun lalu.
Jenazah dibawa menuju rumah duka di Rumah Kreatif Cimanggis Indah, Pekapuran, Cimanggis, untuk selanjutnya dikebumikan pada pukul 16.00 WIB di areal TPU Menteng Pulo, Casablanca, Jakarta Selatan.
Lahir di Jakarta pada tahun 1938, Idris Sardi mulai mengenal dan menekuni biolin semenjak kanak-kanak. Ia dibimbing langsung oleh sang ayah, Mas Sardi, yang juga merupakan pemain biolin utama dalam orkes RRI Jakarta pimpinan Saiful Bahri.
Ketika berusia 10 tahun, ia mendapat julukan anak ajaib berkat kepiawaiannya memainkan alat musik tersebut. Pendidikan musik formal ditempuhnya di Sekolah Musik Indonesia (SMIND) yang berdiri pada tahun 1952. Di sekolah itu, Idris Sardi yang masih berusia 14 tahun sudah tergabung dalam orkes siswa SMIND pimpinan Nicolai Varvolomejeff, maestro cello asal Rusia, bersama rekan-rekan siswa yang usianya rata-rata 16 tahun.
Kiprah sebagai penata musik di dunia film berawal dari Pesta Musik La Banatahun 1960, terus dan semakin produktif hingga tiga dekade berikutnya. Ia terlibat tak kurang dari 150 produksi film dan berhasil meraih 10 piala Citra. Di film terakhirnya, Hasduk Berpola(2013), Idris memerankan Masnun, veteran perang kemerdekaan yang terlunta-lunta di Surabaya. Bekerja sama dengan penata musik senior Thoersi Argeswara.
“Saya mulai mengidolakan (alm.) Idris Sardi sejak film Cinta Pertama(1973). Terutama karena gaya bermusiknya yang pada era itu mirip dengan Jerry Goldsmith, salah seorang komposer ternama asal Amerika.” ungkap Thoersi lewat telepon. Lebih lanjut, Thoersi juga menyatakan kekagumannya terhadap Idris Sardi, selain karena Idris lekat dengan karakter dan nuansa musik Eropa dalam mayoritas gubahannya, juga karena sifatnya yang sangat teliti, detail dalam mengerjakan komposisi musik. “Pak Idris selera musiknya tinggi. Ia nampak benar-benar memahami apa yang dikerjakannya.”
Kerjasama Idris dengan Thoersi pada film Hasduk Berpola berlangsung terpisah. Idris memainkan musik karya Chopin serta karya gubahannya sendiri di Indonesia, sedangkan Thoersi melengkapinya dengan musik latar bersama tim orkestra di Beijing. “Saya memang belum sempat bertemu Pak Idris secara langsung. Kolaborasi yang terjadi hanya melalui pertukaran data. Namun begitu, ini menjadi sebuah pengalaman yang luar biasa untuk saya.” tutupnya.
Kecuali pada film, Idris juga memberi warna tersendiri pada industri musik pop Indonesia. Lepas dari Orkes Simfoni Jakarta sebagai pemain biolin utama, dia membentuk grup band Eka Sapta bersama Bing Slamet (bongo, konga), Ireng Maulana (gitar), , Itje Kumaunang (gitar), Benny Mustapha (drum), Darmono (vibraphone), dan Kamid (konga) pada awal tahun 60an.
Tidak berlebihan bila Idris juga menjadi pelopor dalam “memasukkan” suara biolin dalam dunia musik pop dengan gesekannya yang dikembangkannya dari gaya gesekan Helmut Zacharias menjadi gaya pribadinya. Idris juga yang mempelopori rekaman musik pop instrumental alias tanpa penyanyi. Biolin selalu menjadi instrumen utama dalam musik pop yang dimainkannya.
Latar belakang musik klasik dari pendidikan yang ditempuhnya, tidak menjadikan Idris tabu dengan musik pop. Bahkan, dari sikap bermusiknya tampak bahwa dia tidak menarik batas antara klasik-serius dan pop. Semua jenis musik dimainkannya dengan sikap sama.
Idris Sardi juga ayah dari aktris dan penyanyi di era 70-80an, Santi Sardi dan aktor Lukman Sardi. Keluarga ini memang turun temurun bergiat di dunia film dan musik. Ayah maupun kakeknya adalah pemain biola. Mas Sardi sudah berperan sebagai penata musik dalam film-film produksi tahun 40an. Ibu Idris Sardi, Hadidjah, adalah aktris film tahun 40an itu juga.